Pages

Saturday, April 21, 2012

Tentang Pilihan


Kita? Kau salah kalau menggunakan kata ganti 'kita' untuk menyatakan kau dan aku. Tidak akan pernah ada kata 'kita'. Hanya ada 'kalian'. Karena memang tidak pernah ada kesepakatan untuk hal ini. Siapa bilang aku mau? Kau yang sepakat, bukan aku.

Dari semua kata-katamu, kau memintaku untuk berhenti menahanmu. Kau memintaku untuk merelakanmu memilih kebahagianmu sendiri. Kau membiarkan aku pergi menjauh. Tidak, memang kau tidak meminta secara langsung, tapi rangkaian abjad kaku yang kau sampaikan semalam itu mengatakannya. Kenapa harus berputar-putar? Aku akan menerima pilihanmu kalau memang kau yang menginginkannya.

Oiya, aku baru sadar. Ternyata selama ini aku hanya berpura-pura kalau aku penting untukmu. Iya aku yang berpura-pura, bukan kau. Aku beranggapan kalau aku mempunyai arti yang penting untukmu. Aku salah. Iya kan? Aku tidak lebih dari seorang anak kecil di matamu. Hanya aku yang menganggap ini semua berarti. Tidak berlaku untukmu. Siapa yang bisa disalahkan atas ini? Tidak juga siapa-siapa. Terima nasib saja, melenggang dengan luka yang menganga lebar.

Dan kalau aku ingat kembali, aku tidak pernah menerima keputusanmu, aku hanya menghindar untuk menghadapinya. Terlalu sakit. Aku kira dengan mengelak dari setiap hal tentang dia akan membuatku merasa lebih baik. Aku bahkan nyaris melupakan keberadaannya. Tapi, aku salah kaprah, menghindar malah membuatku semakin tersiksa. Saat di mana aku teringat kalau masih ada dia malah membuat nafasku tercekat. Aku tidak tau apakah kau menyadarinya atau tidak. Tapi, setiap kali kau mengungkit tentang dia, hanya satu yang kutau. Aku iri. Dan tidak kecil kemungkinan aku membencinya. Bukan tidak jarang rasa bersalah menghantam batinku. Membuatku terus berpikir atas apa yang aku jalani. Atas apa yang aku lakukan. Apakah aku telah melakukan kesalahan besar dengan memilih jalan ini? Apa dengan mengalah akan memperbaiki keadaan? Kalau aku bisa mencoba semua pilihan dan kembali ke keadaan semula saat aku tau bagaimana akhirnya, aku akan mencobanya. Sayangnya hanya bisa menerka-nerka. Benarkah ini? Salahkah ini? Semua pertanyaan yang hanya disambut kebisuan seonggok batu. Semua jawaban ada di tanganmu. Bukan aku, atau dia sekalipun kalau memang harus dilibatkan.

Bunuh diri secara perlahan.

Saturday, April 14, 2012

Tau bolu kukus? Adonannya secara ajaib mengembang begitu dilengkapi dengan baking powder. Menurutku kau mempunyai sentuhan ajaib itu. Kata-kata sederhana yang keluar dari bibirmu seketika mengembangkan senyum di raut wajahku yang penampakannya tidak lebih bagus daripada selembar kertas yang sudah remuk. Kau mampu menerbangkanku dengan mudahnya, sampai-sampai aku terlena berlama-lama di angkasa dan tidak menyadari kau telah melepaskan genggamanmu. Posisi kita sulit. Salah langkah bisa merusak semuanya. Maksudku, benar-benar semuanya. Merasa kalau ini semua terlalu sempurna untuk dilepaskan. Tapi, semua orang juga tau kalau ini benar-benar salah. Jadi, harus bagaimana?

Siapa yang harus mengerti siapa? Menjadi sebuah pertimbangan tidak menjamin seseorang akan menjadi yang dipertahankan. Apakah secara tidak sadar aku menahanmu untuk pergi? Apakah seharusnya aku menendangmu jauh-jauh dari jalan yang kutempuh dari awal? Seperti apa keadaanku kalau aku mengacuhkanmu diawal dulu? Bagaimana kondisiku kalau aku tidak pernah mengizinkanmu mengukir luka? Oke, aku tau, terlalu banyak pertanyaan. Abaikan saja.

Friday, April 6, 2012

Pasca-Ending


Mencoba untuk menjadi seseorang yang siap siaga layaknya tentara perang untuk orang yang kau sayangi walaupun kau tau dia sudah mempunyai orang lain yang jauh lebih pantas untuk tempat dia berlari bukanlah satu hal yang ingin kau coba dan akan kau senangi ketika kau merasakannya. Coba kau pikirkan, itu sama saja dengan upaya membunuh dirimu sendiri secara perlahan-lahan. Bukankah kau juga harus memikirkan ada sosok lain disana, yang bisa saja mencekikmu dengan tuduhan kau merebut pangeran berkuda putihnya? Yang benar saja! Cara bunuh diri yang buruk. Mungkin kau berpikir, kalau seandainya dia tidak bisa bersamamu sepajang waktu yang dia punya, setidaknya kau akan selalu ada untuknya kapanpun dia membutuhkanmu. Tapi, bukannkah itu menyakitkan? Kau hanya bisa bersamanya saat dia berada di masa-masa terburuknya, bukan setiap saat. Sedangkan saat kau terseok-seok mencoba bangkit dan berbalik arah kembali ke kehidupanmu sebelum mengenalnya, dia bahkan tidak menoleh untuk mencegahmu beranjak dari tempat yang kau pijak sekarang. Kau rela menyakiti dirimu sendiri hanya karena kau ingin menjadi orang yang dia cari saat dia jatuh. Kenapa aku berbicara seperti ini? Karena, ya, aku merasakannya. Menjengkelkan saat tau aku harus berjuang sendiri. Kau? Lihat yang ada di sampingmu. Kau tau? Ini tidak mudah. Aku tau pertahananku sangat lemah.

Aku baru sadar, kau menikamku secara perlahan dengan kata-katamu. Aku tidak sedang berusaha untuk menggambarkanmu sebagai orang yang mengenakan setelan hitam bak mafia yang sering muncul di telivisi. Aku tidak sedang membuatmu dipandang sebagai orang yang jahat. Mungkin kau tidak menyadari akan apa yang kau lakukan. Tapi, kau telah mengukir luka baru. Aku tidak bisa membencimu. Kau terlalu...yah, berarti. Aku berusaha untuk mengurangi kemungkinan aku berpapasan denganmu. Ternyata tidak lebih baik. Aku harus berupaya setengah mati untuk tidak berlari menghampirimu dan berbicara seperti dulu. Aku harus menahan rindu yang mencoba mendobrak pertahanan yang sedang kubangun sebelum akhirnya membludak keluar dan membuat keadaan menjadi semakin kacau. Dan kalau memang secara tidak sengaja aku berpapasan atau bahkan bertemu denganmu, aku tetap tidak bisa bersikap seperti apa yang dulu aku lakukan.

Diam-diam aku mencuri kenangan yang mungkin masih bisa kusimpan untuk kukenang selama kau berjalan di jalan yang kau pilih. Aku mencoba memproyeksikannya dengan mata tertutup, mencoba membayangkan aku kembali ke masa saat semuanya berjalan sempurna. Anehnya semua terasa asing. Tidak pernah menyangka akan terlihat buram sedemikian cepatnya. Merasa konyol, merasa sedang mengkhayalkan mimpi yang mustahil bisa terjadi. Semuanya terasa tidak nyata. Atau, memang begitu? Tidak mungkin begitu. Aku yakin kau bukan hanya sekedar potongan mimpi yang melayang entah kemana. Kau benar-benar hadir, kau bahkan meninggalkan jejak yang jelas di jalan setapak yang kutempuh.

Sejauh yang kuingat, semua berawal hanya dari lelucon sederhana. Siapa sangka kata-kata itu melahirkan sesuatu yang bahkan kata-kata pun tak mampu menggambarkannya secara spesifik? Menyedihkan. Aku hanya bisa mengingatnya sekarang, bukan merasakan gejolak yang ditimbulkan dari kata-kata yang keluar dari mulutmu. Berakhir secara tragis bukan hal yang baru yang layak digunakan untuk mengakhiri cerita dalam buku dongengku. Tidak ada yang pernah menduga kalau semuanya bisa menjadi serumit ini. Ibarat kata, kau memasukkan seutas kabel yang telah kau atur sedemikian rupa kedalam sakumu agar memudahkanmu ketika kau ingin memakainya, dan ketika kau mengeluarkannya, yang kau temukan adalah gulungan kabel yang tak beraturan. Aku rasa seperi itu. Tidak ada yang menduga kalau kesempurnaan yang terjadi di garis awal akan berakhir serumit ini. Aku juga tidak mau berada di posisi menyulitkan ini. Semua yang ku pilih seolah tak pernah benar, seolah tak akan pernah berakhir baik. Yang terbaik yang aku rasa untuk saat ini adalah ya seperti yang sedang kau dan aku usahakan. Membuat jarak, membuat jurang securam mungkin sampai tidak ada yang mau mengambil resiko terjatuh dengan melangkah mendekat satu sama lain. Ini sulit, mengingat apa yang kurasakan terhadapmu. Sempat terbesit gagasan di kepalaku, kenapa tidak mengambil peran antagonis saja? Seperti yang ada di film-film itu, yang pengambilan gambarnya di close-up dan suara hati yang bisa didengar oleh seluruh makhluk di muka bumi. Tapi, itu tindakan yang sangat...kekanak-kanakan mungkin. Kau bukan barang yang bisa kurebut sesuka hatiku. Kau menghirup udara yang sama denganku, bahkan untuk saat ini, saat aku melihatmu meniti pilihan yang kau ambil. Kau bergerak di bumi yang sama dengan yang aku pijak, bahkan untuk saat ini, saat kau tidak bergerak mendekat.

Aku merasa nafas yang ku ambil terasa semakin berat di setiap tarikannya saat aku melihatmu tertawa seakan-akan semuanya baik-baik saja. Aku merasa tidak terima. Apa kau tidak merasakan sedikitpun apa yang aku bimbangkan? Apa kau akan diam saja kalau aku memutuskan untuk pergi? Apa kau benar-benar telah memilih? Oke. Itu pertanyaan konyol. Lupakan.

Aku hanya merindukan penyebab aku bangun pagi dan selalu mengecek pesan yang masuk ke telepon genggamku. Kau.

Sunday, April 1, 2012

Hari Berganti, Begitu Pula dengan Keadaan

Jum'at pagi.
Demam, badan nyeri semua, padahal ada mentas. Terpaksa mendem dirumah dulu sementara, gataunya harus nampil pagi itu juga, keter ganti baju pergi kesekolah dengan kepala yang pusingnya gak ketulungan. Selesai nampil, istirahat di aula, ketawa-ketawa kayak biasa. Gak lama, datang juga. Debar gak karuan, apalagi ngingat janji yang udah dibuat beberapa hari sebelumnya. Gak nyangka aja. Ini suaranya. Ini ketawanya. Ini senyumnya. Ini dia. —

Jum'at sore.
Ekskul rutin. Debarnya makin berasa, tapi nyoba buat ngontrol diri. Makin sore langitnya makin gelap, udah mulai turun rintik-rintik transparannya, gaklama, byur! Jebol, ujan deras. Ngungsi ke aula, duduk diem merhatiin materi yang dikasih. Monolog. Ngomong sendiri dengan backsound suara hujan yang beradu sama tanah. Udah  lewat dari batas waktu yang ditentukan untuk tetap ngerem di sekolah. Salam teater dilapangan. Janjinya. Kayak kesetrum kecil. Semuanya terasa sangat nyata. Pengen rasanya nyabut batrai jam yang ada di setiap sudut. Biar jarumnya gak bergerak lagi. Oke, konyol, gak ngaruh sama sekali. Di satu sisi gamau ngelepas pergi, tapi di sisi lain, tau kalo ini salah. Maaf untuk itu.

***

Sabtu siang.
Ada pementasan teater, yang main mantan pelatih dulu. Semua berjalan sempurna. Nyampe sangat tepat pada waktunya, ngumpul dihalaman taman budaya. Jam 3, ngantri masuk, ngasih tiket ke mbak-mbak yang jaga di depan. Jujur, sedikit tersentuh. Mungkin karna memang tidak pernah diperlakukan seperti itu. Tertawalah selagi aku tidak bisa meraih kepalamu. Nyari tempat duduk. Janjinya. Ritme detaknya mulai kacau, harus bisa nahan otot muka yang langsung refleks buat senyum, malu. Kayaknya langit tau kapan situasi yang salah. Hujan deras lagi. Pementasan ditunda beberapa menit nunggu hujan sedikit mereda. Pementasan selesai, masih gerimis, mendung, seolah-olah ngasih pertanda negatif tentang hari ini. Perutpun mulai minta diisi, oke, makan dulu sebelum pulang. Untuk yang kedua kalinya, merasa tersentuh, dan ya, memang ini yang pertama. Sekali lagi, pengen rasanya ngancurin mesin yang ada disetiap jam di muka bumi. Gak rela kalo harus selesai hari itu juga. Tapi, ini udah salah, sangat salah. Matahari bersembuyi di barat, langit udah gelap, waktunya pulang.—

Merasa jadi orang yang teramat sangat jahat. Tau ini salah, tapi tetap kekeuh dijalanin, bukankah itu jahat? Kalo emang mau jadi jahat beneran sebenernya sih bisa aja. Jalanin aja, gausah dipikirinlah, bodo amat, kenal juga nggak. Tapi, aku baru datang sekarang, cuma orang baru. Aku juga masih memakai otak, aku juga punya hati. Kalau diminta jujur, sebelumnya memang sudah timbul niat kalau dua hari kemarin adalah yang terakhir, ibaratnya salam perpisahan. Cukup sampe sini aja, gaboleh lebih jauh lagi, kalo nggak makin sakitlah yang lagi nunggu disana. Ternyata memang beneran sampe sini aja. Sadar kalau memang tidak lebih dari seorang anak kecil. Gimana pun caranya harus bisa nahan diri. Mungkin pertahan yang selama ini dipakai memang lemah. Sangat lemah. Sudah terbiasa dengan ini, menyambut kedatangan dan melepas kepergian. Seharusnya ini bukan jadi hal yang sulit, dan seharusnya tidak ada lagi alasan yang bisa digunakan untuk tetap menahanmu disini. Membiarkanmu memilih jalan yang terbaik untuk dirimu sendiri mungkin yang terbaik untukku dan untuk dia yang menunggumu. Kau menyayanginya. Aku tau. Tidak seharusnya aku mengusik kalian. Tidak mungkin bisa bermanis-manis seperti sebelum kau menceritakan semuanya. Tidak mungkin bisa mengingatkanmu untuk mengisi perutmu dengan makanan. Tidak akan pernah sama lagi. Masalah sakit, jelas sakit. Tapi, itu seharusnya bukan masalah untukmu, dia yang lebih dulu disampingmu. Aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Dia terluka, kau juga turut terluka. Melihatmu seperti itu karena orang lain, apa tidak ada yang lebih menyakitkan? Hanya merasa......dibodohi mungkin. Tidak, aku tidak menyalahkanmu. Tidak ada yang bisa disalahkan. Bukan kau, bukan aku, bukan dia, juga bukan yang menentukan ini semua. Ini bukan yang pertama. Tapi, tidak pernah semenyakitkan ini. Belum pernah serumit ini. Kau tau, aku tidak pernah meminta untuk dipertemukan sekarang, kemarin atau kapanpun. Aku hanya menjalani apa yang sudah ditentukan. Kau salah kalau kau bilang semua ini karena kau mengenalnya terlebih dahulu. Aku juga bisa seperti itu kalau kau mau. Tapi, tidak. Ya sudahlah, ini tidak akan merubah apapun. Baik kenangan atau pun mimpi semuanya terasa sama. Garis tipis pemisah antara keduanya sudah membaur tanpa jejak. Sedikit kesulitan untuk mengingat sebuah kenangan, entah kenapa tiba-tiba itu terasa seperti mimpi. Mencoba untuk menarik kepingan yang mungkin masih bisa kucuri dan kubawa lari sebelum akhirnya terkubur oleh air mata. Nihil. Semuanya buram.

Setidaknya terima kasih atas salam perpisahan yang kau berikan, kau mengakhiri bulan Maret sekaligus apa yang kupertahankan dengan baik. Semoga sukses atas pilihanmu.

Tahan 21 hari, maka akan tahan selamanya.

Kita sama-sama berjuang. Selamat berjuang!