Pages

Tuesday, September 1, 2015

Satu Tahun (Penghujung Abu-Abu III)

Satu tahun lagi terlewati dengan aman sentosa.

***

Genap setahun saya menanggalkan seragam putih abu-abu. Dalam jangka waktu itu pula saya menyandang status sebagai mahasiswi. Tidak lagi berbagi meja dengan Hilda, tidak lagi menelan mata pelajaran yang mengulas semua bidang sains. Sekarang saya di sini, mengambil jalan yang telah saya pilih beberapa hari tepat sebelum angket pemilihan jurusan dikembalikan ke bidang kurikulum sekolah.

Tahun ketiga saya sebagai siswi sekolah menengah atas terbilang santai. Di saat orang lain menyibukkan diri dengan bimbingan belajar dengan dalih mempersiapkan diri untuk ujian masuk universitas, saya memilih untuk mempersiapkan sendiri—dengan bantuan teman saya yang juga mengikuti bimbingan belajar. Saya hanya mengikuti bimbingan untuk memperdalam ilmu Kimia saya, entah kenapa, itupun hanya satu semester. Selebihnya, saya terus merecoki teman saya itu.

Tak banyak perubahan dalam pergaulan saya di kelas. Sedikit banyak, saya mulai membuka diri namun tetap membuat jarak. Saya lebih banyak menolak ketimbang mengiyakan ajakan mereka untuk sekedar makan bersama. Entah kenapa saya masih merasa asing. Tapi, tetap, bukan berarti saya membenci mereka. Saya hanya merasa...berbeda.

Tahun ketiga juga berarti melepas jabatan yang saya sandang di ekstrakulikuler yang saya geluti. Bagian ini yang paling berat sebenarnya. Selama 3 tahun kami berusaha untuk saling menerima, bukan sedikit waktu yang saya bagi bersama mereka. Sampai bosan rasanya. Ritual serah-jabatan bukanlah agenda yang saya sambut secara suka cita. Dengan melepas jabatan seolah menjadi lampu kuning—kami akan segera meninggalkan kelompok ini. Sekali lagi kami berdiri di hadapan adik-adik yang kelak akan memegang kendali yang telah setahun kami pegang, menghujani mereka dengan petuah-petuah dan harapan kami kedepannya. Kami terlalu menyayangi persaudaraan ini. Tapi, toh kami tetap harus bergerak maju.

Wednesday, August 26, 2015

Tamara

Kalau ada orang yang harus saya kagumi karena kepintarannya, maka Tamara akan menjadi salah seorang di antaranya. Sejak saya mengenalnya kurang lebih 8 tahun yang lalu, dia selalu hadir dengan prestasi akademis yang membanggakan. Nilainya selalu cemerlang, terlebih kemampuan berbahasa asingnya yang tidak perlu diragukan lagi.

Kali pertama saya  mengenal sosok dengan otak brilian ini sewaktu saya duduk di sekolah dasar, kebetulan kami berada di bimbingan belajar yang sama. Di luar itu, kami tidak pernah bertemu sekalipun kami satu sekolah. Saat itu, tidak pernah terlintas di kepala saya kami akan menjalin pertemanan sejauh ini.

Ketika akhirnya seragam saya tak lagi rok lipit merah, saya tahu Tamara memasuki sekolah yang sama, tapi tidak duduk di kelas yang sama. Saat memasuki tahun kedualah, saya kembali bertemu dengan Tamara dalam satu ruang kelas. Dialah yang menjadi teman sebangku Asha selama 2 tahun. Mereka tampak seperti duo pintar yang tidak berusaha untuk terlihat pintar. Dan beruntungnya, mereka mau berteman dengan saya yang biasa-biasa saja.

Di antara kami bertiga, saya dan Tamara acap kali berbeda jalan. Tak jarang kami tidak saling menegur sapa karena ego masing-masing. Semua perang dingin itu untungnya selalu berakhir secara damai. Tapi, hal itu justru menumbuhkan rasa pengertian dalam diri kami. Saya tidak pernah menyesali adanya pertengkaran-pertengkaran itu, bukan berarti saya menginginkannya lagi. Hanya saja, saya puas, pertemanan kami tidak semudah itu, yang justru menjadikannya berharga.

Monday, August 10, 2015

Selalu Ada Surat yang Menunggu untuk Dibaca

Sumber: Goodreads.com
Judul Buku         : Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya
Penulis                : Dewi Kharisma Michellia
Penerbit              : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan              : I, Juni 2013
Tebal                  : 240 hal
Rate                    : 5/5



Buku dengan judul yang cukup panjang ini sebenarnya sudah pernah saya baca. Review ini saya tulis ketika saya membaca untuk yang kesekian kalinya, namun sedikit lebih seksama.

Ini merupakan setumpuk surat yang tak pernah sampai. Dari seorang wanita yang terlalu terpaku pada Tuan Alien—sahabatnya, berdua mereka menolak dunia, mengklaim bahwa mereka tidak sama dengan “manusia” lain di bumi. Segala tentang mereka amat mirip, mulai dari bentuk fisik hingga kesukaan. Sampai terucaplah sebuah janji, mereka akan melawan dunia bersama, dalam lingkaran pernikahan.

Wush!

Bak tertiup angin, Tuan Alien menghilang tanpa kabar hingga puluhan tahun. Entah melajang atau tidak “Aku” tak pernah tahu, yang “Aku” tahu, dia tidak ingin siapapun kecuali sahabatnya, Tuan Alien yang menerimanya dan mengerti dirinya. Terlepas dari itu, “Aku” memang tidak memiliki siapa-siapa. Kepada tuan pemilik toko buku langganannya, “Aku” menceritakan semua tentang satu-satunya sahabat yang ia miliki sejak kecil, yang kini bahkan tak ia ketahui keberadaanya. Sampai suatu saat sahabat sekaligus cintanya itu hadir dalam bentuk sebuah undangan pernikahan. Tuan Alien tak lagi menjadi alien-nya. Dari situlah, “Aku” mengawali berpuluh surat-suratnya.

Sunday, July 12, 2015

Vennasa

Waktu itu kami masih mengenakan rok lipit berwarna merah. Lincah melompat kesana kemari seolah tidak pernah kehabisan tenaga. Ada satu perjalanan pulang yang berbeda. Bus antar-jemput yang biasanya tidak ramai, kali ini sedikit lebih padat karena ada penumpang tambahan. Bus sebelah rupanya menitipkan anggotanya di bus kami. Saya lupa berapa tepatnya penumpang tambahan itu, namun salah satunya masih berteman baik dengan saya sampai saat ini, dan mungkin sampai entah kapan. Namanya Vennasa.

Masuk ke sekolah menengah pertama, saya tidak terlalu memperhatikan, karena sebagian besar muridnya telah saya jumpai di sekolah dasar yang masih satu yayasan.  Memasuki tahun kedua, saya melihat Asha. Ia adalah satu dari sekitar 40-an orang yang duduk di kelas yang sama dengan saya. Postur badannya yang berisi dan cukup tinggi agak tertutupi di baris belakang. Dia duduk di tepat di sebelah jendela yang mengarah ke lapangan belakang sekolah. Saat itu, saya mendekati Asha dan teman sebangkunya yang juga saya kenal, Tamara. Dari situlah kami memulai tahun-tahun kami yang bergelombang.

Saturday, June 20, 2015

Halo, 13

“Pi, ekskul apa?”
“Ntah. Abangku nyuruh Temuga aja.”
“Terus?”
“Yaudahlah, coba aja dulu. Kau Temuga aja udah.”
“Ng... Okelah.”
***
 “Hilda, nanti mau daftar ekskul apa?”
“Temuga. Tias?”
“Eh, sama.”
“Iya? Ntar ngasih formulirnya bareng, ya.”
“Sip.”
***
“Perkenalkan, nama saya Tias Septilia, panggilan Tias. Kelas X-2. Mirip artis, Indah D P. Motivasi masuk Temuga, ikut temen.”
***
Suasana sekolah yang saat itu sudah riuh akibat MOS, bertambah riuh perihal promosi ekstrakurikuler. Yang saya ingat, waktu itu ada satu ekskul yang langsung membuat saya tertarik. Temuga. Tau apa yang membuatnya tampak menarik? Baju seragamnya. Kaos lengan panjang berwarna hitam. Desainnya pada waktu itu, terdapat logo Temuga yang setidaknya memakan lebih dari setengah bidang depan baju, tulisan TEMUGA di kanan lengan, tulisan angkatan serta slogan AKAKIS tercetak di belakang baju. Kali pertama melihatnya, langsung terbayang tampang saya saat mengenakannya. Tidak buruk.
Selepas MOS sekolah, senior dari berbagai ekskul sibuk menjajakan formulir pendaftaran ekskul yang mereka geluti. Saling berteriak tak mau kalah. Dapat saya rasakan gulungan kertas HVS berwarna di genggaman saya. Formulir Temuga. Hanya perlu mengisi biodata, kemudian kembalikan kepada senior di ekskul tersebut. Masalahnya, niat. Antara ogah-ogahan dan tidak sabar untuk mengembalikan formulirnya. Terus berusaha mencari teman, lantas berani mengembalikan formulir.
Pada saat itu, atau mungkin sampai saat ini, MOS Temuga bukanlah hal yang paling ingin kuikuti. Adu mulut pun kulakukan karena kepalang tersulut emosi. Bisa kurasakan mataku menikam orang-orang yang berada di sekitarku saat itu. Sampai akhirnya ketika saya di posisi mereka, saya paham, beginilah cara mereka menyalurkan rasa kekeluargaan. Beginilah cara mereka mengajarkan untuk berani mengambil langkah.

Monday, February 9, 2015

Antara Realistis dan Eskapisme


Satu semester berlalu dengan ketenangan yang—sebenarnya sedikit—dipaksakan. Waktu seolah menggelinding begitu saja, tahu-tahu sudah pukul sekian, sudah minggu ke sekian. Saya sendiri seperti orang linglung karena kesulitan mengingat hari. Saya ingat pernah meminta biar tahun ini bergulir saja dengan cepat, tapi saya tidak pernah menyangka akan secepat ini. Masih gamang kalau menelisik beberapa langkah ke belakang, takjub pada apa yang telah saya lewati, ternyata sekeras itu saya tertempah 2 tahun yang lalu, yang bisa saya rasakan dampaknya sekarang ini.

Tidak ada lagi wajah-wajah menyebalkan yang sangat familier bagi mata saya selama 3 tahun yang lewat. Wajah baru yang berusaha saya kenali 6 bulan belakangan inilah yang berlalu lalang hampir tiap hari. Orang-orang yang akan mengumpat bersama saya ke depannya. Orang-orang yang mungkin akan melihat saya jatuh untuk kemudian bangkit kembali. Saya sama sekali tidak punya gambaran akan seperti apa saya menjalani tahun-tahun ke depan. Menerka pun tidak berani, takut dikecewakan mimpi.