Pages

Sunday, July 12, 2015

Vennasa

Waktu itu kami masih mengenakan rok lipit berwarna merah. Lincah melompat kesana kemari seolah tidak pernah kehabisan tenaga. Ada satu perjalanan pulang yang berbeda. Bus antar-jemput yang biasanya tidak ramai, kali ini sedikit lebih padat karena ada penumpang tambahan. Bus sebelah rupanya menitipkan anggotanya di bus kami. Saya lupa berapa tepatnya penumpang tambahan itu, namun salah satunya masih berteman baik dengan saya sampai saat ini, dan mungkin sampai entah kapan. Namanya Vennasa.

Masuk ke sekolah menengah pertama, saya tidak terlalu memperhatikan, karena sebagian besar muridnya telah saya jumpai di sekolah dasar yang masih satu yayasan.  Memasuki tahun kedua, saya melihat Asha. Ia adalah satu dari sekitar 40-an orang yang duduk di kelas yang sama dengan saya. Postur badannya yang berisi dan cukup tinggi agak tertutupi di baris belakang. Dia duduk di tepat di sebelah jendela yang mengarah ke lapangan belakang sekolah. Saat itu, saya mendekati Asha dan teman sebangkunya yang juga saya kenal, Tamara. Dari situlah kami memulai tahun-tahun kami yang bergelombang.

Walaupun lingkungan saya hidup terdapat orang yang tidak seiman, tapi dia adalah teman pertama saya yang tidak seiman. Beruntungnya baik saya maupun Asha tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Dia menghargai saat saya beribadah, bahkan saat puasa sekalipun. Saya pun menghargainya saat dia tidak bisa diganggu hari Minggu pagi.

Kami selalu bertiga, bahkan ada guru yang menjuluki kami Trio Kwek-Kwek. Kami sama-sama penggila coklat, tapi Asha tidak pernah terlalu jauh menggilainya. Adalah saat yang menyenangkan saat saya menghabiskan banyak coklat di depannya, dan dengan keras melarangnya menghabiskan dengan jumlah yang sama.

Selain coklat, kami sama-sama penggila buku. Saya dan Asha pernah mondar-mandir ke toko buku hanya untuk mencari satu buku yang menarik perhatian kami. Setelah dapat, kami memutuskan untuk mencari tempat yang teduh dan nyaman, Lapangan di titik nol kota menjadi tujuan kami. Sama sekali tidak mempermasalahkan kenyataan kalau kami harus mencapainya dengan berjalan kaki. Kami menikmati desiran angin dari kendaran yang melintas di sebelah kami. Selama beberapa waktu kami hanya duduk tanpa kata, mengamati burung merpati seperti melihat spesies baru, dan kami merasa nyaman dengan itu.

Selepas pendidikan SMP, kami melanjutkan ke jenjang selanjutnya, nasib baik, kami diterima di sekolah negeri yang sama. Kelas kami pun berurutan; 2, 3, dan 4. Selama masa itu, tidak satu kalipun kami berjumpa di kelas yang sama. Kegiatan ekstrakulikuler yang kami ambil pun berbeda. Tapi, kami masih berusaha untuk tidak menjauh satu sama lain. Sampai sekarang, saat kami telah berada di pulau yang berbeda, kami masih tetap berusaha.

Kami pernah merencanakan sebuah perjalanan keliling Jawa. Tapi, masih belum bisa mewujudkannya karena terhalang beberapa alasan.  Mungkin nanti. Saat kami siap untuk kembali berbagi cerita tentang segala hal.

Ah, saya ingat. Asha menyukai Shinichi Kudo. Dia bisa menceritakan tentang sosok fiktif ini dengan menggebu-gebu, terlebih jika seri terbarunya keluar. Sama seperti saya yang seperti orang linglung saat menemukan sebuah buku yang luar biasa. Kami bisa mengerti perasaan itu. Mungkin karena itu kami betah berlama-lama di toko buku, walau pada akhirnya hanya satu buku yang mendarat di meja kasir.

Dalam beberapa waktu, saya mendapati diri saya merindukan masa-masa kami bisa berkumpul tanpa hambatan. Merindukan setiap tawa yang saya lepaskan. Hingga hari ini, saya merindukan mengucap selamat secara langsung. Kali terakhir, saya mengetuk pintu kamarnya yang berada di lantai 2 dengan satu mangkuk aluminium foil berisi makaroni panggang di tangan.

Selamat menyentuh angka 19, Sha! Begitu banyak doa yang kurapal untuk usiamu yang menua ini. Kita sama-sama berharap hari kita akan kembali berkumpul datang secepatnya. Mari kita menjelajahi kota ini sekali lagi.

I wrote this as your present. Have a blessed 19, Dear! See you soon.


Medan, 12 Juli 2015

No comments:

Post a Comment