Pages

Saturday, December 29, 2012

Jempol dan Only Truth

Tau permainan "Truth or Dare"? Tentu tau. Biasanya, beberapa orang duduk membentuk lingkaran dengan benda penunjuk yang bisa berputar sebagai pusat lingkaran. Sebut saja penunjuknya adalah anak panah. Jadi, kepada siapapun anak panah itu mengarah saat telah benar-benar berhenti, maka dia diperkenankan untuk memilih "Truth" atau "Dare. Kalau korban memilih "Truth", maka dia harus menjawab dengan sejujur-jujurnya pertanyaan apapun yang diajukan oleh pemain lainnya. Lain pula dengan "Dare", si korban harus rela melakukan apapun yang telah disepakati oleh para pemain.

Namun, dalam permainan kali ini, "Truth or Dare" kembali menjadi "ONLY TRUTH", dengan ketentuan siapapun yang kalah dalam permainan "jempol", harus rela ditanya-tanya. Nah, apakah gerangan permainan jempol? Permainan ini membutuhkan 2 orang atau lebih. Lebih banyak pemain, maka lebih seru. Permainan ini lebih menjunjung ke-hoki-an seseorang. Semakin hoki dia, maka semakin cepatlah dia memenangkan permainan. Jadi, setiap pemain menampakan tangannya dalam keadaan digenggam. Pemain yang mendapatkan giliran harus menyebutkan angka berapapun, dengan batas angka jumlah "jempol tangan" keseluruhan pemain. Sedangkan pemain lainnya (beserta pemain yang menyebutkan angka tadi) boleh mengangkat jempolnya secepat mungkin atau bahkan tidak mengangkatnya sama sekali. Jika, jumlah jempol yang terangkat tersebut sesuai dengan nominal angka yang disebutkan si pemain yang mendapat giliran tadi, maka yang mendapat giliran tersebut bisa membebaskan satu jempol tangannya. Kalau dia bisa menyesuaikan sampai dua kali (secara tangan manusia paling banyak itu 2), maka dialah pemenangnya karena telah membebaskan kedua tangannya. Bingung sama kalimatku?

Misal deh, yang main itu 3 orang, berarti jumlah jempol tangan pemain ada 6. Nah, siapapun yang mendapat giliran menyebutkan angka, harus menyebutkan angka yang dia mau dari 1-6. Dan mereka semua bebas mau ngangkat jempol atau nggak. Kalau dia menyebutkan 4, dan jempol yang terangkat seluruhnya berjumlah 4, maka dia bisa membebaskan 1 jempolnya. Berarti, jempol tangan yang tersisa ada 5. Begitu seterusnya sampai ditemukan siapa yang jempolnya masih bersisa. Paham? Paham ajadeh ya, bingung jelasinnya.

Naasnya, Alfi, Randi, Tasya, ngajak main jempol dengan hukuman yang kalah harus kena "ONLY TRUTH". Buset, trauma bo'. Truth or Dare-ku yang terakhir bukan kenangan yang menyenangkan. Aku lupa siapa yang kalah pertama kali di permainan jempol ini, pokoknya bukan aku. Gila bener-bener sakit jiwa mereka, pertanyaannya cyin, ampun. Malangnya, aku kalah, dan mereka kayaknya gak puas udah nanya yang cukup bikin aku mendadak bego, gak bisa ngomong apa-apa. Masalah pilihan ini, udah gitu pertanyaan mereka bener-bener khayalan semua. Mikirinnya aja ngeri, hih. Alhamdulillah-nya, aku cuma kalah sekali setelah 5 putaran, Tasya sama Randi dapat kehormatan 2 kali ditanya-tanya hihihi *selaw mamen kita bersaudara*. Karena, kami bertiga telah di-bully, maka mau tidak mau Alfi harus pasrah harus ditanya karena kagak kalah-kalah. Ini anak jawabannya enteng semua.

Jadi, bagi siapapun yang mau main permainan di atas, mohon siapkan mental dan sembunyikan aib-aib kalian supaya tidak tercium siapapun. Karena, rahasia sekecil apapun bisa dijadikan senjata dalam permainan ini.

*NB: InsyaAllah, selagi masih dalam batas kewajaran manusia normal, permainan ini aman.

Enjoy the game!

Sabtu, Berbulan-bulan yang Lalu

Sabtu dengan awan hitam menggantung. Tidak, bukan Sabtu sekarang, tapi beberapa bulan yang lalu.

Seragam pramuka sesegera mungkin ku tanggalkan, berganti baju 'wajib' saat kuterima pesan singkat yang ternyata adalah balasan darimu kembali menanyakan kepastian untuk hari itu. Aku menghirup napas panjang sebelum membalas, terserah saja, begitulah kira-kira yang berhasil kukirim. Kuhempaskan tubuhku ke kursi kayu yang menimbulkan sedikit nyeri saat beradu dengan tulang punggungku. Geram. Yasudah, kurang lebih seperti itu balasanmu, aku lupa.

Kutelusuri jalanan sampai persimpangan, menghentikan angkutan umum dengan nomor yang sesuai. Awan makin menghitam, jarum jam pun terasa bergerak lebih cepat. Kukabari dirimu kalau aku terjebak macet di Glugur, daerah yang langganan macet saat waktu telah lewat dari jam 12 siang. Sekali lagi aku menghirup udara beracun sedalam mungkin. Kembali memikirkan balasan terakhir darimu. Seharusnya aku tidak memaksamu, aku hanya ingin bersamamu.

Kuteriaki supirnya supaya berhenti tepat di depan Taman Budaya. Belum tampak seorang pun. Sepertinya kebiasaan mengulur waktu sudah mendarah daging bagi manusia Indonesia. 2 lembar tiket masuk yang kubeli di depan pintu masuk sudah di tangan, tinggal menunggu. Tak lama, beberapa anggota lain datang, tapi belum dengan dirimu. Kutatap langit dan memohon supaya tidak tumpah, setidaknya sebelum kau menampakkan diri di mukaku. Bahkan langit tak mengindahkan permohonanku. Gerimis, tak lama kemudian bersambut hujan yang cukup rapat, aku sendiri tak yakin bisa menghindarinya.

Kucoba menanyakan keberadaanmu. Sudah di depan restoran cepat saji di perempatan, katamu. Tak lama kulihat dirimu yang berlari memecah hujan dan mengundang riak pada genangan. Pundakku turun, tak menyangka aku yang memaksamu. Setelah masuk dan duduk berdampingan denganmu, aku harap aku masih punya kebiasaan untuk membawa saputangan ke mana pun aku pergi. Ku hilangkan jejak hujan dari lenganmu dengan tanganku sendiri. Dingin. Ku tatap dirimu. Aku mencintaimu, namun tak cukup bernyali untuk menyuarakannya di telingamu. Salahkah aku memintamu di sisiku saat itu?

Selama pemutaran, tak lagi kurasakan dinginnya atmosfer membelenggu. Jemarimu memeluk jemariku. Kupererat genggamanku, takut kau beranjak dan pergi. Tidak sampai 50% fokusku tercurahkan pada layar infocus. Itu hanya sisa dari fokus yang sepenuhnya ada dalam genggamanku. Aku menyesal tidak menggenggammu jauh lebih lama. Aku lupa rasanya saat jemariku melepaskan rindu kepada jemarimu.

Pemutaran selesai, mau tak mau aku membiarkanmu menarik tanganmu. Aku mengatur napasku yang tak beraturan. Sesak.

Hujan telah berjarak, hanya menimbulkan riak kecil. Kita semua segera memeluk udara sore selepas hujan di halaman Tambud. Berjalan kecil ke kantin dengan niat membasahi tenggorokan. Ternyata hujan masih ingin memeluk bumi. Deras. Semua berlomba melebihi ritme titik hujan, berharap bisa sampai teras samping lebih dulu. Kejutan kecil menghampiri salah satu anggota. Tepung, kopi, telur. Entah sejak kapan membuat anak manusia bertransformasi menjadi adonan kue menjadi tradisi. Hujan masih menyelimuti kita saat kita tertawa melihat serangan balik yang terjadi. Aku selalu berada dibalik pundakmu, menjadikan dirimu sebagai tameng, bersembunyi dari terjangan spontan.

Waktu tak pernah mau melambat saat aku menikmati detik bersamamu. Senja telah mencumbu cakrawala. Kau menyuruhku pulang. Setelah menunda sebentar, akhirnya aku pulang. Kubawa serta jejak jemarimu saat aku menyalamimu seperti biasa. Hangat.

Maaf, kalau aku masih mengenang.

Friday, December 28, 2012

Be Proud of Being A Reader

Just found this quote in someone's profile on Goodreads, and I was like "wow".
“You should date a girl who reads.Date a girl who reads. Date a girl who spends her money on books instead of clothes, who has problems with closet space because she has too many books. Date a girl who has a list of books she wants to read, who has had a library card since she was twelve.

Find a girl who reads. You’ll know that she does because she will always have an unread book in her bag. She’s the one lovingly looking over the shelves in the bookstore, the one who quietly cries out when she has found the book she wants. You see that weird chick sniffing the pages of an old book in a secondhand book shop? That’s the reader. They can never resist smelling the pages, especially when they are yellow and worn. 

She’s the girl reading while waiting in that coffee shop down the street. If you take a peek at her mug, the non-dairy creamer is floating on top because she’s kind of engrossed already. Lost in a world of the author’s making. Sit down. She might give you a glare, as most girls who read do not like to be interrupted. Ask her if she likes the book. 

Buy her another cup of coffee. 

Let her know what you really think of Murakami. See if she got through the first chapter of Fellowship. Understand that if she says she understood James Joyce’s Ulysses she’s just saying that to sound intelligent. Ask her if she loves Alice or she would like to be Alice. 

It’s easy to date a girl who reads. Give her books for her birthday, for Christmas, for anniversaries. Give her the gift of words, in poetry and in song. Give her Neruda, Pound, Sexton, Cummings. Let her know that you understand that words are love. Understand that she knows the difference between books and reality but by god, she’s going to try to make her life a little like her favorite book. It will never be your fault if she does. 

She has to give it a shot somehow. 

Lie to her. If she understands syntax, she will understand your need to lie. Behind words are other things: motivation, value, nuance, dialogue. It will not be the end of the world. 

Fail her. Because a girl who reads knows that failure always leads up to the climax. Because girls who read understand that all things must come to end, but that you can always write a sequel. That you can begin again and again and still be the hero. That life is meant to have a villain or two. 

Why be frightened of everything that you are not? Girls who read understand that people, like characters, develop. Except in the Twilight series. 

If you find a girl who reads, keep her close. When you find her up at 2 AM clutching a book to her chest and weeping, make her a cup of tea and hold her. You may lose her for a couple of hours but she will always come back to you. She’ll talk as if the characters in the book are real, because for a while, they always are. 

You will propose on a hot air balloon. Or during a rock concert. Or very casually next time she’s sick. Over Skype. 

You will smile so hard you will wonder why your heart hasn’t burst and bled out all over your chest yet. You will write the story of your lives, have kids with strange names and even stranger tastes. She will introduce your children to the Cat in the Hat and Aslan, maybe in the same day. You will walk the winters of your old age together and she will recite Keats under her breath while you shake the snow off your boots. 

Date a girl who reads because you deserve it. You deserve a girl who can give you the most colorful life imaginable. If you can only give her monotony, and stale hours and half-baked proposals, then you’re better off alone. If you want the world and the worlds beyond it, date a girl who reads. 

Or better yet, date a girl who writes.” 
  Rosemarie Urquico

So, I'm a reader and also am an amateur writer, will you date me, eh?

Wednesday, December 26, 2012

Kamar dan Kenangan

Masih diruangan yang sama, kamar sederhana berlapiskan cat krem muda. Saksi bisu semua tangisan tengah malam yang terjadi. Tempat di mana imajinasiku membludak dan menggila. Satu-satunya tempat yang membuatku membiarkan waktu bergulir begitu saja, sedangkan aku dengan tenangnya berlari bersama kenangan yang seharusnya kutinggalkan berkarat termakan usia, nyatanya aku malah meninggalkan masa-masa yang harusnya kulewati dengan wajah secerah mentari. Tak jarang aku memutar kunci saat semuanya terasa berat di pundakku. Saat aku merasa tak akan ada hari yang lebih buruk dari hari itu. Tempat inilah bioskopku, membuatku lebih mengenal diriku sendiri, tempat yang menerimaku sebagai aku tanpa ada cibiran saat aku berlalu. Lebih mudah untuk berbicara pada onggokan benda mati ini karena kau tidak perlu menjelaskan macam-macam.

Aku kembali tertarik pada tembok kremku ini. Kutatap ia lama, membayangkan tembok itu menatapku dengan wajah datar seraya memutar kedua bola matanya, seakan sudah hapal benar dengan momen seperti ini. Tembok ini jarang menjalarkan rasa hangat saat aku menyentuhnya, selalu dingin, tapi ia tak pernah jauh. Dia dingin, tapi aku selalu kembali. Dia tak punya telinga, bukan berarti dia tidak mendengarkan. Dia tak punya mata, bukan berarti dia tak melihat. Dia diam, tak bergerak, selalu mengabaikanku, tapi aku tetap membutuhkannya. Aku selalu berusaha mencengkramnya saat aku merasa geram pada diriku sendiri. Aku tak pernah menemukan alasan yang memuaskan.

Tembok itu selalu mendengar celotehku tentang apa pun. Satu malam aku pernah bercerita sambil tersedu-sedu menatap kertas lecek yang berisi sketsa yang jauh dari kata mirip dari wujud nyatanya. Aku mereka ulang dari titik awal perkenalan sampai titik akhir perpisahan. Sempurna, aku mengingatnya dari awal sampai akhir dalam satu malam tanpa celah, sedangkan aku harus mati-matian menghapal persamaan termokimia dan laju reaksi semalaman dan melupakannya begitu saja saat matahari sudah tinggi. Tapi, aku tidak menyesal berbicara dengan kertas lecek itu, aku lega. Rasanya seperti berbicara langsung kepada sasaran, bedanya tidak ada tanggapan.

Menangis adalah obat tidur paling manjur sepanjang masa. Aku selalu mengantuk kelelahan setiap selesai mencuci kedua korneaku. Sekarang, aku sadar, aku terlalu sering dan terlalu lama bermain-main dalam ruang yang harusnya kutinggalkan. Aku melupakan waktu yang tetap bergerak dengan menutup telingaku menghindari suara detak jarumnya, menutup mataku menhindari gerakan jarumnya. Aku terlena akan semua kenangan yang masih tertinggal. Kenangan yang hanya bisa aku tonton saja, kenangan yang selalu kubawa ke alam bawah sadarku, kenangan yang kurengkuh saat pagi mendepak malam. Aku menabur garam pada luka yang masih menganga lebar.

Mana yang lebih baik, ditinggalkan dengan kenangan atau tanpa kenangan sama sekali? Dengan kenangan ada dua kemungkinan; bersyukur atau menyesal, tapi selalu ada pelajaran. Tanpa kenangan juga ada dua kemungkinan; lebih baik atau bahkan lebih menyakitkan, tapi bukankah lebih mudah untuk berlalu?

Laman profil itu sudah menjadi most visited site. Dalam beberapa waktu aku sering membongkarnya hingga berbulan-bulan yang lalu, mungkin masih ada kenangan lain yang tersisa. Aku berulang kali mengaminkan doa-doa yang masih terpampang di sana, doa saat semuanya terasa sempurna. Berhasil atau tidak, aku tak pernah tau. Apa salahnya mencoba? Iya, percobaan yang konyol saat semuanya tak lagi bisa disusun. Kepingannya sudah tertiup angin ke antah berantah dan tanganku tak cukup panjang untuk meraihnya. Membanting kepala ke bantal adalah hal terbaik yang bisa kulakukan setelahnya.

Aku tidak berbakat dalam hal bangkit-dari-keterpurukan atau yang semacam itu. Selalu gagal di tengah jalan. Wajar saja kalau aku tak pernah maju.

Tembok krem ini tak sedingin kemarin. Tapi, dia masih diam.

26 Desember 2012, 7.35 pm
Medan, tanpa hujan


TS

Tuesday, December 18, 2012

Aku masih cinta. Amat sangat. Tapi, aku telah kalah. Kalah telak.

Sunday, December 16, 2012

Konspirasi Alam Semesta

Seperti malam sebelumnya, mataku terpaku pada timelineku, siapa tau ada kejutan.
Benar. Sebuah foto muncul melalui twit follower yang kau retweet, tampak dirimu berdiri dengan senyum melekat di wajahmu. Senyummu masih tampak seperti dulu, menawan. Lama kutatap potretmu, mataku basah, maaf, tak kuasa kubendung kerinduan yang memberontak. Baru kusadari mp3 yang kuatur dalam mode shuffle melantunkan suara khas Pierre, ah, I Miss You-nya Simple Plan. Semakin menjadilah air mataku berlari mengikuti lekuk wajahku.

"You do something to me that I can't explain, and would I'd be out of line, if I said I miss you?"
Jemariku bergerak ragu, mencoba mencapai layar notebookku, takut kalau-kalau potretmu akan menjauh, sama seperti dirimu. Perlahan namun pasti jemariku "menyentuhmu". Mp3 ini pun tak mau kalah memojokkanku, Pretend-nya Secondhand Serenade mengalun di udara. Sempat terlintas di kepalaku untuk sekedar mengirim pesan singkat, "Kangen, kang". Kuurungkan niatku. Mana mungkin aku mengusikmu lagi, sudah cukup aku mengganggumu selama 5 bulan.

"It's hard to be all alone, I never got through your disguise, I guess I'll just go and face all my fears. So please let me be free from you, I can face the truth."
Mataku masih basah, namun potretmu masih tampak jelas di korneaku. Wajah itu, yang sejak Februari lalu kukenal dekat, yang sejak Mei lalu tak kutakuti kehilangannya,  yang sejak November lalu tak lagi mampu ku bayangkan kenyataan menatapnya. Senyum di sana yang memabukkan, yang membuatku mau tak mau menarik sudut bibirku, turut membentuk seulas senyum, namun aku menikmatinya. Jemari yang dahulu masih bisa kurasakan hangatnya di jemariku sendiri, di genggamanku sendiri, sampai sekarang bisa kurasakan jejaknnya di tanganku.

Kali ini giliran Copeland yang menghantamku dengan You Are My Sunshine, lagu anak-anak memang, namun versinya kali ini cukup menyayat. Tak perlu pikir panjang, aku tau pasti siapa "Sunshine"-ku. Kenapa kusebut-sebut dirimu matahari? Karena namamu memang begitu, tidak persis matahari, namun begitulah dikenal. Kau penyedia oksigenku, bintang terbesarku, pusat orbitku. Setidaknya dulu.

"The other night, Dear, as I lay sleeping, I dreamt I held you in my arms. When I awoke, Dear, I was mistaken. So I hung my head and I cried."
Aku selalu membayangkan keberadaanmu belakangan ini. Aku ingat semua tentangmu. Menyakitkan, namun menyenangkan. Kalau sudah rindu mau bagaimana lagi? Ah, Firasat-nya Marcell menggelitik batinku. Ingat lagu itu? Aku pernah berhasil memaksamu menyanyikan sebuah lagu, dan kemudian memintamu berdendang lagi. Lagu ini salah satu dari dua lagu yang kau nyanyikan untukku. Kau tidak tau kan, kalau saat itu aku menitikkan air mata karena terharu. Menyenangkan sekali, karena kau yang memilih lagunya. Waktu itu sudah larut, tapi aku belum mau beranjak tidur, mungkin kalau aku tidur lebih cepat aku tidak sempat mendengarmu bernyanyi via telepon yang untungnya bersahabat malam itu. Terima kasih untuk lagunya.

"Kupercaya alam pun berbahasa, ada makna di balik semua pertanda. Firasat ini rasa rindukah atau kah hanya bayang?"
Aku pikir itu lagu terakhir untuk membuatku semakin terpojok, tapi ternyata masih ada satu hantaman lagi. I'm Gonna Find Another You-nya John Mayer membuatku bungkam sejenak. Potretmu tampak buram lagi, oh, ternyata mataku yang basah. Tidak, aku masih belum bisa melepasmu. Melihatmu bahagia ternyata jauh lebih menyiksa, ternyata kau jauh lebih baik tanpaku. Bagaimana rasanya bebas dari celoteh anak kecil? Pasti menyenangkan untukmu.

"It's really over, you made your stand. You got me crying as your plan. But, when my loneliness is through, I'm gonna find another you."
Mungkin hari ini semesta kembali berkonspirasi untuk menghajarku dan memaksaku untuk sesegera mungkin melepasmu dan mengikhlaskanmu untuk yang lebih baik dariku. Kita lihat saja nanti.

Sekarang ini hujan mengguyur kotaku. Aku masih ingat tentangmu. Aku masih rindu padamu.

Saturday, December 15, 2012

Ah, Rindu

Hm, hai. Aku tidak pandai berbasa-basi. Aku rindu.

Malam ini adalah klimaks kerinduanku, setelah sebelumnya kusimpan dan akhirnya terpaksa kutelan bulat-bulat, sekarang kembali menyeruak ke permukaan, menerjangku tepat di hati. Aku teringat semuanya, benar-benar semuanya. Masa-masa berbatu, masa penantian dengan iming-iming sebuah kepastian. Jatuh bangun yang menggores luka, yang harus kusembuhkan sendiri. Masa-masa saat kepastian itu benar-benar pasti, mengganti luka dengan tinta berwarna, tak pernah lagi hariku kelam, cerah sepanjang waktu karena aku memiliki Matahariku sendiri, milikku sepenuhnya dan begitu pula sebaliknya. Masa-masa saat semua mimpi terpatahkan, Matahari bergerak menjauh alih-alih bersinar, saat aku benar-benar mengenal jauhnya jarak realita yang tersembunyi dibalik fatamorgana remaja yang dimabuk rasa. Aku ingat semuanya. Semuanya dalam saat yang bersamaan. Jangan tanya bagaimana menyiksanya. Aku hanya rindu.

Tak pernah kuduga kerinduan yang membuncah seperti ini. Kukira aku sudah berhasil membunuhnya satu bulan ini, aku kira aku berhasil mengelabuinya sehingga tak lagi mengusikku. Ternyata malah aku yang dibunuh, aku yang dikelabui. Rindu yang tadinya berusaha "kita" kuasai kini malah balik menyerangku, aku tidak tau denganmu, mungkin tidak.

Aku terlalu takut untuk sekedar menggapai telepon genggamku dan mengirimkan pesan singkat kepadamu. Aku takut kalau-kalau aku malah jatuh lebih dalam. Aku takut kalau ternyata aku malah menggarami lukaku sendiri. Aku takut kalau kerinduanku hanya memperparah jarak yang sudah jelas jauhnya. Aku takut untuk mengutarakannya langsung.

Mungkin hanya dengan rangkaian abjad yang kualiri dengan rindu ini aku menyampaikannya. Entah kau membacanya atau tidak, itu lain soal, setidaknya aku tidak melemparkannya langsung ke sasaran. Kalaupun kau membacanya, biarlah kau menebak-nebak dahulu hendak kulemparkan kepada siapa omong kosong ini.

Salam,

Sekalipun kau bukan lagi matahariku, aku masih ingin menikmati sinar yang kau bagikan kepada dunia.

Saturday, December 8, 2012

Aku terlalu pusing memikirkan judulnya

Kepada, yang hatinya tak lagi mampu kurengkuh.

Apa kabar? Ini adalah surat yang entah keberapa yang kuperuntukkan kepadamu. Maaf, kalau dengan semua surat, kata demi kata yang kuutarakan membuatmu memandangku dengan pandangan ingin menendangku keluar dari muka bumi, mungkin kau muak. Tapi, tak apa, kau tidak sendirian dalam hal itu, aku juga muak pada diriku sendiri.

Sudah satu bulan berlalu, tapi aku masih sama dan baru kusadari sekarang, kalau kau memang telah lama diam-diam mengambil kembali hatimu, menata ulangnya kembali sebelum keputusan itu terlontarkan. Jangan tanya maksudku apa, aku sendiri tidak mengerti. Ah, iya, aku masih terus mencoba, bahkan sampai sekarang. Nihil. Semakin mencoba, semakin sulit. Paru-paruku nyeri, terlalu sakit kalau kupaksa menarik napas panjang.

Setelah semua ini, aku selalu mencuri setiap celah yang mampu kutemukan, aku berpura-pura kalau suatu saat nanti celah-celah itu akan membentuk sebuah titik terang, oh, bukan hanya setitik, tapi, banyak titik, sampai akhirnya menjadi satu potongan utuh. Memulai semuanya dari awal. Tidak akan menjadi masalah kan, kalau sekedar berpura-pura?

Menyenangkan sekali kembali meringkuk di sudut kamar, memandang tembok, melayangkan pikiranku pada khayalan yang dulu ada, menyaksikan reka ulang di dalam bioskopku sendiri. Aku menikmati dunia yang dulu pernah kubagi bersamamu. Tak apalah kali ini aku menikmatinya sendiri, tapi kau akan melewatkan bagian paling menarik! Coba tebak. Tawa renyah yang menggema, menertawakan semua khayalan yang terangkai. Aku selalu suka bagian itu.

Aku mau berbagi sedikit rahasia, aku sedikit takut menggunakan kata "kita" lagi. Padahal, "kita"-nya tak lagi sama, seharusnya lebih ringan. Tapi, aku belum cukup bernyali. Kalaupun aku menggunakannya, kau tidak tau seberapa pertimbangan yang aku lakukan. Ku harap, kau tidak keberatan dengan itu. Hah, tentu saja tidak, bagaimana mungkin kau keberatan dengan hal yang bahkan tidak kau ketahui, benarkan?

Yasudahlah, kurasa sudah cukup aku merecokimu hari ini. Semoga harimu menyenangkan!

Salam,
Aku menunggu hujan, tapi tak kunjung datang juga, mungkin karena ini untuk Matahari.

Friday, December 7, 2012

Proses?

Sesaknya masih ada, tapi tidak sedahsyat dulu. Entah karena ini bagian dari proses atau karena sudah terbiasa seperti ini. Susah mendeskripsikan getaran yang menggelitik batin, ingin marah, tapi tak punya alasan untuk meluapkannya. Ingin protes, tapi tak punya predikat apa-apa. Ingin menangis, tapi merasa terlalu bodoh untuk melakukannya. Jadi, ya aku diam saja.

Segurat senyum getir terukir jelas pada wajah yang terlihat di cermin. Ah, dia masih berusaha berdiri ternyata. Tampak ia menahan tawa dalam balutan wajah lusuhnya. Dalam kepalanya dia terpingkal-pingkal setengah mati melihat kenyataan yang terhampar di depan hidungnya. Seakan dunia berkonspirasi untuk membuatnya kalah telak. Tak perlulah berburuk sangka, toh kalaupun dia kalah telak untuk saat ini, dia sudah mengenal ranjau-ranjau yang ditebar di seluruh kesempatan dan pilihan yang disodorkan. Setidaknya dia berusaha menjadi tameng untuk dirinya sendiri. Sekalipun dia sempat berharap "ditamengi" orang lain, dia tau, cepat atau lambat, tamengnya itu akan bosan dan mencari makhluk lain yang jauh lebih mudah untuk ditamengi tanpa banyak protes.

Dia mencoba ikhlas dan kembali berdiri, tapi langkahnya selalu terhenti tatkala kenangan mengetuk hatinya. Dia malah dengan senang hati menjamu tamu yang diam-diam menenggelamkannya. Dia sibuk bermonolog sembari memproyeksikan si tamu, tanpa melewatkan setiap detail yang masih tersimpan dalam memorinya. Akhirnya dia sadar, sia-sialah dia berusaha melupakan kalau dia terus mengingat apa yang harus dia lupakan.

Dia masih orang yang sama. Masih aku yang sama. Alasan yang selama ini kupertanyakan, kini terkuak sudah. Dari awal aku sangat menyayangkan ketidakjujuran yang kau ciptakan sendiri.

Tenang saja, kudoakan kebahagiaanmu.

Thursday, December 6, 2012

WHOAAA

HUHA!
Hari ke 3 ujian setelah satu hari diliburkan! Ini jauh lebih suram selama 16 tahun napak di bumi. Kapasitas otak yang tidak seberapa ini diharuskan mencerna belasan rumus tak menentu. Heran, hidup kok dibuat ribet. Lain kalimat, lain lagi rumusnya. MasyaAllah. Iya, iya, memang salah dari 6 bulan yang lalu, udah tau gak bakalan sanggup, malah nekat masuk jurusan yang begini. InsyaAllah masih ada 18 bulan lagi yang harus dilewati bersama rumus-rumus yang akan terus mempebanyak diri. Berbahagialah para ilmuan yang menciptakannya, mereka tidak perlu merasakan denyut di kepala saat harus mengingat semuanya.

***

Jawa. Tujuannya ke situ. Dengan bekal yang begini, apa bisa? Hah, susah untuk optimis kalau tau kemampuannya seperti apa. Apa jadinya nanti ya? Pontang-panting nerima pelajaran yang entahlah bagaimana jadinya.

 Mama, maafkanlah anak perempuanmu yang tidak seberapa ini.

Sunday, December 2, 2012

Antara Pendidikan dan Manusia Di Sana.

Aku kembali memikirkan keputusanku untuk keluar dari sangkar. Menuntut ilmu ke Jawa yang populasinya nyaris meledak (atau sudah meledak?). Terbesit ragu yang sangat mengganggu. Sebenarnya, apa tujuanku ke sana? Aku bukan tipikal perempuan mandiri. Aku cengeng. Apa jadinya kalau sendirian di sana? Aku mengangguk yakin waktu itu, ya karena ada yang kukejar. Aku tidak pernah memikirkan yang seperti ini. Pernah sih, tapi tidak sampai terlalu jauh. Belakangan ini, kalau orang bertanya mau dilanjutkan kemana pendidikanku, tanpa pikir panjang aku langsung menyebutkan tempat yang juga menjadi tujuanmu. Bahkan, kau sudah di sana. Entahlah, aku hanya ragu.

Ah, lagipula, kalaupun kesana, aku ingin menuntut ilmu, bukan yang lain. Walaupun bukan itu tujuan pertamanya. Mengejar, kalau kata Mama. Ya, memang. Lah, sekarang? Ragunya luar biasa. Apalagi kemampuan belajar yang tidak memungkinkan. Jangankan untuk kesana, memikirkan bagaimana bisa tuntas untuk semua mata pelajaran yang diujiankan besok saja sudah tidak tau bagaimana nasibnya. Selalu berusaha untuk fokus, tapi hasilnya nihil. Cabang pikirannya sudah terlalu banyak. Padahal, pengen buat Mama sama Papa bangga waktu pembagian rapor. Tapi, ya itu. Entah emang banyak godaannya atau dasar akunya yang gapunya kekuatan buat positif jadi kebanggaan.

Kalaupun aku menyusulmu, aku terlalu takut melihatmu lagi. Tidak mungkin kau belum menemukan yang lain. Pasti sudah. Nah, kalau lagi aku melihatmu bersama yang lain, aku harus apa? Terlalu menyesakkan untuk sekarang ini.

Yasudahlah, kudoakan saja semua yang terbaik untukmu.
Doakan saja aku tidak keburu mati sebelum melingkari jawaban di LJK sangking mumetnya memikirkan segala kemungkinan negatif yang bisa terjadi.

Tuesday, November 27, 2012

Tentang Rubik

Hari ini, saya beserta beberapa siswa kelas 1 dan 2 didampingi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia berkumpul di aula Hotel Aryaduta, ada acara semacam diskusi. Ketika itu, jam dipergelangan tangan kiri saya sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Ngaret 1 jam. Emang dasar orang Indonesia.

Selama detik-detik menunggu sang MC memecah kesunyian, laki-laki di sebelah kanan saya meminta ijin untuk mengutak-atik rubiknya. Jangan tanya kenapa dia minta ijin, saya juga heran. Tidak butuh waktu yang lama baginya untuk membuat komposisi warna rubik tersebut menjadi pas. Nah, kalau dia minta ijin menyusun, saya tak mau kalah dengan minta ijin untuk merusak susunannya. Tidak sampai 5 menit warna rubik tersebut sudah kacau di tangan saya.

Kedua kalinya dia menyusun rubiknya, kali ini saya memperhatikan gerakan tangannya yang lihai memutar rubik ke sana ke mari. Otak saya tidak mau diam, dan terus (memaksa) menghubungkannya dengan kehidupan. Si pemain terus memutar rubik tersebut, mencari dan menyusun warnanya supaya seimbang. Dia berpikir untuk menyusun warna lain tanpa merusak susunan warna lainnya. Berusaha menjaganya supaya tetap seimbang. Terus berputar sampai mencapai keseimbangan yang sudah ditentukan. Sadar atau tidak, saya berani jamin, ada kebanggaan tersendiri bagi si pemain karena telah menyeimbangkan rubiknya, hidupnya.

Yah, jujur-jujur saja, saya tidak mahir memutar benta kubus penuh warna tersebut. Jadi, saya tidak tau rasanya bangga karena memecahkan polanya. Mau tidak mau saya akan menunggu sampai pola hidup saya yang terpecahkan.

Monday, November 26, 2012

10 Menit untuk Masa Depan

Akhirnya, tugas untuk nilai ujian Conversation kelar. Baru punya waktu hari ini, dan langsung terjun ke pusat perbelanjaan ternama di Medan demi berburu "bule". Bukan, bukan Bule' Yati, Bule' Tumiyem, atau Bule'-bule' yang lain. Tapi, native speaker. Setelah beberapa menit berputar, berhentilah kami di depan sebuah coffee shop, sekedar mengintip buruan. Ada. Sendirian. Bagus. Berbasa-basi sejenak, kemudian menanyakan pertanyaan standar. Aslinya manusia USA. Ternyata eh ternyata, seorang guru sekolah tinggi swasta di daerah Gatsu. Tau gitu nggak perlu ribet-ribet cuap-cuap bicara bahasa Inggris. Tidak butuh waktu yang lama bagi kami untuk berbincang, karena dia pun hanya menjawab sekenanya. Tidak mencapai batas waktu yang kami inginkan. Oke, yang satu ini dijadikan cadangan saja.

Setelah berunding dengan anggota yang lain, kami sepakat untuk berburu lagi. Setelah berulang kali naik-turun eskalator, mondar-mandir, celingak-celinguk, masih belum ketemu. Susah memang menemukan orang asing di tempat yang strategis untuk di wawancarai. Beberapa dari mereka duduk di dalam restoran yang cukup mahal, kami pun berpikir ulang, mana mungkin masuk hanya sekedar untuk wawancara tanpa memesan salah satu dari menu mereka. Bisa dikira kurang ajar, terus diusir. Kami memilih diam dan memperhatikan. Sebenarnya, ada 2 orang asing di dekat tempat kami berdiri. Ayah dan anaknya. Tapi, tidak, terima kasih. Mukenye sangar bos. Lebih baik cari jalan amannya saja.

Kami kembali berkeliling. Oke, dapat. Kali ini sudah cukup berumur. Laki-laki, di kelilingi Ibu-ibu Indonesia sekitar 3 orang. Kami mengikuti mereka untuk mencari tempat yang pas untuk dijadikan tempat berbincang. Namun, kami lebih terlihat seperti penguntit dibandingkan siswa yang berusaha menyelamatkan masa depannya. Berhentilah beliau di depan book store di pusat perbelanjaan tersebut. Setelah bergelut dengan pikiran masing-masing, kami nekat mengganggu ketenangan "bule" yang kami targetkan sejenak. Kami berbicara pada salah satu dari Ibu-ibu tadi yang tetap tinggal bersama target kami, selagi 2 lainnya ngeloyor pergi menyelamatkan diri dari sergapan 6 anak SMA yang masih berseragam batik. Setelah menjelaskan maksud dan tujuan kami mengganggu mereka, kami meminta izin untuk mencuri 10 menit dari waktu yang mereka punya. Mereka setuju. Bagus. Mereka tidak tau kalau mereka telah menyelamatkan 6 anak muda Indonesia dari masa depan yang suram.

Beliau seorang Belanda. Datang untuk mengunjungi keluarganya di sini. Kami beruntung bisa bertemu dengan orang yang mau berbagi pengalaman dengan anak SMA yang berisik seperti kami. Di sela-sela jawabannya, beliau bercerita dan saya menangkap beberapa kesan dan pelajaran. Beliau mengatakan, dia menyukai anak muda Indonesia seperti kami, yang ramah dan mau berbicara kepada orang asing. Karena, di beberapa negara yang dia ketahui, tidak ada orang yang mau sekedar menoleh untuk membalas sapaan, tidak seperti orang Indonesia. Beliau juga mengatakan bahwa kami adalah aset negara. Dengan senyumnya dia berkata kepada setiap dari kami, "For you all, he could be a President, she could be a President.", dan pada saat melihat ke arah saya, dia menepuk pundak saya, dan berkata sekali lagi, "and you, also could be a President.". Secara tidak langsung, beliau mengatakan bahwa setiap anak muda di Indonesia memiliki potensi menjadi pemimpin.

Yang membuat saya tergelak adalah ketika kami menanyakan tentang tempat di Medan yang menjadi favoritnya. Na'as sekali, beliau menjawab tidak tau, karena selama beliau berkunjung ke  Medan, dia tidak menemukan taman yang indah, tempat bagi turis untuk dikunjungi, yang ada hanya tempat perbelanjaan seperti tempat kami berjumpa tadi. Setelah saya pikir, memang sedikit tempat yang saya ketahui bisa menjadi daya tarik turis mancanegara seperti beliau. Hanya beberapa tempat seperti di kawasan Kesawan. Namun, beliau tau tentang tari tradisional Batak. Kesan yang didapatnya sangat bagus, dia menyukainya karena gerakan tari yang lembut dan unik, beliau menikmatinya saat berkunjung ke Toba.

Tidak hanya itu, dia juga berpesan kepada kami untuk terus mengasah kemampuan berbahasa kami. Karena, dengan berbahasa bisa membawa kita kemana saja, berbicara dengan siapa saja. Dia benar.

Selama 10 menit itu, banyak pelajaran yang yang bermanfaat bagi kami. Memberikan kami gambaran tentang pandangan turis mancanegara mengenai kota yang saya tinggali selama belasan tahun ini, dan 10 menit yang dia luangkan telah menyelamatkan kami dari ancaman tidak lulus mata pelajaran yang bersangkutan yang bisa mempengaruhi rata-rata nilai dan berpengaruh untuk seterusnya. Untuk saat ini, kami aman.

Thank you for your time, Sir. We glad to met you.
*saya akan merampungkan cerita ini setelah mendengarkan kembali wawancara kami.

Catch your dream, Young People!
Love,
T

Thursday, November 22, 2012

Rekaman ini diam-diam kuambil disela-sela hubungan telepon yang payah. Tidak sampai 20 menit, itupun hilang timbul. Jaringan memang tidak pernah bersahabat. Senandung singkat yang masih kucoba pertahankan. Suaramu masih mampu membuatku bungkam, walaupun hanya sekedar rekaman. Aku selalu hanyut dalam suaramu. Kurasa semua orang juga begitu.

Hari ini, aku sadar. Aku amat merindukanmu. Maaf.

Wednesday, November 21, 2012

Bukan Jarak, tapi Kita

"Putus?" "Iya." "Kenapa? Gatahan LDR? Jaraknya?"

***

People, please. Sampai kapan menyalahkan benda mati? Apa-apa yang dituduh waktu, apa-apa jarak. Lah memang waktu harus terus berputar dan jarak memang harus terbentang, jadi siapa yang harus menyesuaikan? Mana mungkin kita memaksa yang sudah terpatok mati berubah, mau tidak mau kitalah yang menyesuaikan diri. Spekulasi kalian mengenai jaraklah yang mensugesti jiwa-jiwa yang masih ragu melangkah untuk memutuskan hendak berhubungan seperti apa, dengan jarak yang bagaimana. Semua tergantung cara kita menjalaninya. Kalau pun memang tidak bertahan, jangan melulu menyalahkan jarak, ada masalah yang kita (coba) anggap sepele dan kita kira tidak terlalu penting untuk diperbesar, ternyata malah menjadi bumerang tersendiri bagi emosi kita.

Bukan jaraknya, tapi orangnya.

Sunday, November 18, 2012

Alhamdulillah, semalam, pementasan Komburita sukses. Rasanya bahagia saat diakhir pertunjukkan melantangkan salam Teater di hadapan ratusan penonton, di hadapan Mama Papa juga yang duduk di depan. Tersenyum, sambil melambaikan tangan kearahku. Aku bangga.

Lihat, aku berhasil. Sayangnya, kau tidak disini. Aku ingin tau bagaimana reaksimu kalau melihatku bermain seperti semalam. Masih sedikit berharap sih, tapi ya mau gimana lagi?

Ah, yasudahlah.

Friday, November 16, 2012

Lihat Aku, Matahari

"Belum pernahkan berdiri di situ?" ledekmu sambil menunjuk ke panggung Taman Budaya. Aku hanya tersenyum, lagipula aku tidak bisa menjawab apa-apa.
"Kakak udah dua kali dong." lanjutmu menyombongkan diri. Aku hanya memasang wajah menjijikan. Toh tidak lama lagi aku akan berdiri di situ, pikirku dalam hati.

***
Ingat tidak pembicaraan singkat itu? Iya, terlalu menyebalkan untuk diingat. Rinduku semakin berusaha mendobrak pertahananku. Tapi, lihat, besok aku sudah akan bermain di panggung itu. Akan kutunjukkan padamu, Matahari.
Aku merindukanmu. Sangat. Padahal, tadinya aku pikir, aku bisa menyombongkan diri dihadapanmu, dan kau akan menanggapinya dengan tertawa sambil mengacak rambutku. Iya, aku tau. Sudah terlalu jauh imajinasi yang aku lukis, semuanya sudah bukan yang seperti itu.
Kenyataannya, besok aku bermain hanya untuk diriku sendiri, untuk angkatanku, untuk ekskulku. Harusnya, ada dirimu. Harusnya. Kalau seandainya, masih ada "kita". Kalau, kalau, kalau, hahaha. Angan-angan menyebalkan.
Aku masih belum bisa benar-benar pergi. Maaf. Aku masih berusaha untuk mencari celah supaya bisa mendapat sedikit saja dari sinarmu. Kalau kau tidak mau membaginya, akan kucuri saat kau terlelap, tenggelam dalam mimpimu. Akan ku telusuri bayang-bayangmu yang aku rangkai dari sisa-sisa kepingan dirimu yang tertinggal. Tapi, kau bahagia. Kau tidak terlihat mempertimbangkan kembali tentang ini. Kau sudah bergerak menjauh, jauh dari jangkauanku.

Monday, November 12, 2012

Hai

Matahari, apa kabar? Aku kesulitan bernafas sejak kehilangan sinarmu. Bagaimana dirimu? Masihkah seterang dulu? Aku tidak tau, karena kau menolak untuk berbagi sinar denganku.
Aku mencoba bertahan dan memasang muka palsu, tapi kurasa sebentar lagi aku akan menanggalkan kepalsuan yang aku ciptakan. Aku terlalu lelah bersembunyi, aku terlalu lelah menganggap semuanya tidak jadi masalah. Aku sudah mencoba untuk tidak buru-buru menekan nomor teleponmu dan berbicara panjang lebar mengemukakan apa yang ada di kepalaku. Karena aku tau, pada akhirnya tidak ada yang keluar dari mulutku. Suaramu sudah mampu membungkamku. Terlalu banyak kata-kata yang berlalu lalang di kepalaku yang tidak seberapa ini.

And there's nothing left to say to change your mind, and if you're unhappy still I will be hanging on your line. Should you return...

Ternyata semua yang berawal pahit tidak selamanya akan berakhir manis. Kau dan aku terlalu banyak berkhayal.

Friday, November 9, 2012

Matahariku Padam Mulai Hari Ini

Medan-Jogjakarta tidak sejauh matahari dan bulan.
Kau-aku tidak sedekat buah dan pohon.
"Kita" telah terjabarkan.

Aku mencintaimu, semampuku. Akan kukikis pula secepat yang kubisa. Kurangkum khayalan dan kenangan yang pernah muncul dalam bingkai kecil. Akan kubiarkan dia berdebu digerogoti waktu.

Wednesday, November 7, 2012

Tidak Kali Ini

Aku anak teater sekolahan. Tampak jelas di lengan kiri kemeja seragam sekolahku. Apalagi, yang menjadi mimpi seorang anak teater selain bermain di panggung luas nan megah setelah tirai utama di buka, di bawah beberapa lampu sorot dalam sebuah pementasan tunggal?

Merasakan peningkatan ritme detak jantung selama detik-detik menjelang tirai dinaikkan, masuk sebagai karakter yang berbeda, dengan riasan tebal menempel di wajah, bertukar dialog dengan lawan main, ditutup dengan salam menggelegar yang menggemparkan seantreo gedung utama, berbaris sepanjang panggung dengan jemari saling terkait satu sama lain menunggu aba-aba. Sampai terdengar suara lantang, "SALAM TEATER, MULAI", dan pemain lainnya mengikuti dengan suara yang tak kalah lantangnya seraya mengangkat tangan bersama "AKU KAMI KITA SATU TEMUGA", diikuti dengan riuh tepuk tangan yang memecah gedung, dan senyum bangga mengembang di wajah orangtuaku yang ada diantara barisan kursi penonton, ada bekal yang bisa diceritakan mereka ke orang-orang, bercerita dengan perasaan yang menggebu-gebu "Itu anakku. Anakku! Dia hebat di panggung. Aku Ibunya. Aku Ayahnya. Kami orangtuanya!". Kelegaan seketika menghampiri wajah-wajah lelah di atas panggung.

Baiklah, selamat berjuang saudara! Gemparkan Taman Budaya. Nikmati lampu sorot yang membakar kulit kalian, curi fokus mereka. Semangat Komburita!

Monday, November 5, 2012

Tawa yang Hilang

"Awannya mirip pegasus!" seruku lantang menunjuk langit.
"Mana? Itu harimau." bantah laki-laki yang duduk di balik kemudi.
"Ah iya, bukan. Itu kura-kura."
"Semut!"
"Amuba!" sanggahku tidak mau kalah, yang mau tidak mau menyebabkan keheningan sejenak.
"Amuba nggak ada bentuknya."
"Kan sama kayak awan, gak jelas bentuknya. Jadi, awan itu amuba." jelasku sok tau.
"Iya deh iya." perdebatanpun diakhiri dengan tawa yang sudah lama hilang dari wajahku. Tidak bisa kupungkiri aku merindukan bahagiaku sendiri. Bahagia yang seharusnya aku ciptakan, bukan aku tunggu. Terkadang, memang lelucon seperti inilah yang aku butuhkan. Perbincangan sederhana yang diakhiri dengan gelak tawa.

Siapa sangka untuk tertawa saja kita hanya perlu ikhlas. Tidak perlu pusing-pusing mencari alasan untuk tertawa. Toh, kita bisa menertawakan diri kita sendiri. Tertawa itu bagian dari penyembuhan. Jangan rutuki waktu, dia tidak bersalah, memang sudah tugasnya untuk tetap berputar. Kalau pun memang sakit, nikmati saja. Itu adalah proses.

Selamat bahagia!
Love,
T

Sunday, November 4, 2012

Monday, October 29, 2012

Masih Amat Sangat Merindukanmu

Aku teringat sepasang kornea yang membuat rasa hangat menjalari kapilerku, melumpuhkan persendianku, membuatku tak berkutik, hanyut dalam tatapan yang membuatku mengangguk yakin bahwa aku mencintaimu. Sepasang berlian itu milikmu, sepasang mata yang membakar pipiku, meninggalkan rona hangat bahkan sampai kurebahkan tubuhku, bahkan sampai puluhan hari telah terkoyak dari kalender. Perasaanku masih sama. Bahkan sampai kata-kata ini kurangkai, ada rasa yang menggelitik di darahku. Aku terlalu merindukanmu. Tatapanmu sudah menjadi candu bagiku. Bagaimana caranya aku mendapatkan tatapanmu lagi? Baiklah, tunggu aku di sana 2 tahun lagi.

Sunday, October 28, 2012

Ternyata Medan-Jogja tidak sejauh yang kita bayangkan. Dan, ternyata kita tidak sedekat yang kita kira. Jarak itu relatif, tergantung dari mana kita melihatnya. Siapa sangka yang kita anggap dekat adalah yang berjarak lebih jauh. Ah, jauh ataupun dekat pasti akan tetap mencapai akhir.

Prepare for the worst, get ready for something better.

Saturday, October 27, 2012

Semakin lama kita menghabiskan waktu bersama orang yang kita cintai, semakin sedikit kita merasa mengenalnya.In the end, even your loved ones are strangers. - (Hanny Kusumawati)

Setiap pilihan punya konsekuensi yang harus ditanggung. Dan kita, kita sudah bukan anak-anak lagi. - (Hanny Kusumawati)

Tidak ada rasa yang lebih menyakitkan daripada ditinggal pergi tanpa kabar, tanpa tahu apa salahku. Rasa dicampakkan lebih mengiris daripada kehilangan itu sendiri. - (Ainun Chomsun)

Biarlah hidup berjalan mengikuti irama matahari, mengalir bersama takdir. Mungkin di salah satu tikungan kita akan bertemu lagi. - (Ainun Chomsun)

Dalam kesedihan dan kearifannya, waktu adalah teman yang baik. - (Ndoro Kakung)

Boleh saja kau mengutuk semua kenangan sebagai kesalahan. Tapi, hendaknya kau jangan sampai lupa bahwa kita memang harus terus mencari bagaimana sebaiknya menjadi benar. - (Ndoro Kakung)

Gadis di Balik Cermin (2)

Dia masih bungkam. Menyibukkan diri dengan kata-kata yang terangkai dalam benaknya, yang masih belum mampu dia ungkapkan. Entah apa yang dia tunggu, entah apa yang dia nantikan. Waktu semakin menekannya, dia tetap bergeming. Nafasnya mulai terlihat teratur, namun pandangannya masih sesekali menerawang ke bulan-bulan yang telah lalu. Dia masih menimbang-nimbang langkah kecil yang harus diambilnya.

Dia menyesap oksigen dengan seksama sekali lagi. Memadati paru-parunya yang semakin sesak. Terlalu lelah percaya untuk kemudian kembali dikecewakan. Dia tetap berpegang pada harapan yang tidak pernah ada, harapan yang diciptakannya sendiri, harapan yang ia karang keberadaannya.

Dalam pikirannya, ada suara lirih berbisik padanya, "suatu hari nanti, kau akan mendapati dirimu menertawakan kondisimu yang seperti ini, kau akan tetap merindukannya". Dia tau, dia harus tetap berjalan, bernafas, dia harus tetap hidup untuk bisa tertawa. Tapi, dia bersedia menunggu lebih lama lagi. Bersabar sedikit lagi.

Wednesday, October 24, 2012

Matahari bukan untukku Sendiri

Kenyataan menamparku dengan geram sekali lagi. Ada hal kecil yang terlewat dari pandanganku selama ini. Matahariku bukan milikku sendiri. Aku sadar, dia bersinar dengan teramat sangat mempesona dan memukau, memikat setiap orang yang ada di dekatnya. Masalahnya, selama ini aku menganggap bahwa akulah alasan dia bersinar seluar biasa itu, akulah satu-satunya jiwa yang membutuhkan sinarnya. Terlambat kusadari kalau aku hanyalah segelintir orang yang mengagumi bahkan mencintainya. Aku terlalu egois kalau beranggapan dia hanya milikku.

Kini, matahariku menolak untuk bersinar. Dia redup, tapi tidak terlihat redup. Jelas saja, sumber energiku menghilang, jantungku kesulitan memompa darah ke otak dan organ lainnya, aku kesulitan bernafas. Tapi, aku tau, tidak ada yang bisa kulakukan untuk menahannya tetap bersinar, tetap hangat.

Friday, October 19, 2012

Berbahagialah kalau memang itu yang kau mau. Lepaslah kalau memang itu yang membuatmu tenang. Jangan bertahan kalau memang tidak dari hatimu. Jangan diam kalau kau memang mau berteriak. Aku siap mendengarkan. Beteriaklah di mukaku. Akan kunikmati sayatan dari alunan kata yang kau lontarkan. Sampai sekarang, aku tidak pernah rela kalau harus membiarkanmu pergi. Aku terlalu pemikir untuk berteriak dan menumpahkan emosiku. Aku terlalu lelah menangis. Belajarlah dari kesalahan, sadarlah.

Wednesday, October 17, 2012

Awan hitam hanya segumpal ion yang terbuyarkan diterbangkan angin. Langit biru dengan sabar menunggu awan melunak. Langit pun siap menerima makian guntur, percikan kilat, sampai Matahari bersedia mendampingi langit. Langit masih menunggu saat yang tepat untuk membentang tanpa terhalau awan.

Gadis di Balik Cermin

Gadis di balik cermin itu tersenyum, tampak air mata telah kering di sudut korneanya. Matanya sayu, sembab, menyiratkan ia terlalu lelah menangis, tidak kuasa lagi untuk sekedar membiarkan air mata berlari riang di pipinya. Pandangannya menerawang, jauh mengintip dirinya yang dulu. Tak jarang rasa iri menggelitik batinnya. Dia iri pada dirinya sendiri. Pundaknya turun, seakan bebannya terasa nyata di bahunya. Nafasnya berat, sesekali dia berusaha menyesap oksigen dengan seluruh jiwanya, namun tak juga mampu menenangkan hatinya.

Dia diam, namun jutaan pertanyaan menggaung di kepalanya. Dia mencoba ikhlas, menerima segala keputusan yang harus menamparnya sekali lagi. Dia tetap tersenyum, berusaha untuk tetap berdiri di atas kakinya sendiri. Dia tertawa, mencoba terlihat bahagia dengan menertawakan air matanya yang tumpah. Dia menengadah ke angkasa, menunggu hujan bersedia meluruhkan sakitnya, menghapuskan tangisnya, menghanyutkan lelahnya. Dia di sana, menunggu sang waktu berbaik hati membuktikan padanya bahwa dia memang pantas bahagia.

Dia terlalu lelah menanggung rindu yang harus ditelannya sendiri. Dia terlalu mencintai lelaki di seberang Selat Sunda sana. Tapi, dia bersedia menunggu. Dia menunggu, tetap menunggu, memperhatikan detik yang seakan melambat saat dia memintanya bergerak lebih cepat. Terlukis jelas di matanya kelelahan hatinya. Tampak sesekali dia menelan ludah, peluh kegelisahan membasahi pelipisnya. Banyak yang ingin dia sampaikan, tapi tak juga dia temukan kosa kata yang tepat. Dia memilih untuk tetap diam. Membiarkan semuanya terjadi atas kehendak yang Maha Kuasa. Dia lebih memilih menikmati rasa sakit yang didapatnya. Dia lebih memilih tertawa demi mencegah air matanya terjun bebas di lekukan wajahnya.

Dia menarik nafas sedalam mungkin untuk yang kesekian kalinya. Rasa sesak yang mengikat paru-parunya tak kunjung hilang. Dia mencoba terlihat baik-baik saja, tapi dia lupa bagaimana cara bahagia. Dia lupa bagaimana caranya kembali ke dirinya yang dulu. Dia lupa bagaimana rasa nyaman yang menghangatkan mimpinya. Dia sudah terlalu jauh dan buta. Pikirannya sudah terlalu kompleks untuk gadis seumurannya, yang mestinya tertawa lepas menikmati hidup. Dia hanya ingin dibutuhkan, walaupun hanya diingat sedetik, itu terasa amat cukup baginya.

Kenalkan, dia itu aku. Aku mencintaimu.

Monday, October 15, 2012

Surat Ini Masih Untukmu


Sayang, aku tau, amat tau, perjalanan kita masih sangat panjang. Terlalu dini bagi kita untuk menentukan siapa yang terbaik. Akan selalu ada sosok yang datang silih berganti baik di ruang hatimu maupun di hatiku. Semua kisah yang memiliki awal akan selalu memiliki waktunya untuk mencapai akhir. Imajinasi yang acap kali muncul akibat asupan cerita romantis menyesatkan membuatku berharap lebih. Padahal, aku hidup dalam realita. Aku bersamamu yang berbeda dengan tokoh-tokoh fiktif buah pikir manusia. Kau dan aku yang hidup beralaskan bumi yang sama, dalam naungan langit yang sama, serta menghirup oksigen yang sama, tapi jelas dengan pola pikir dan cara pandang serta takdir yang berbeda. Kita yang berbagi panggung dengan ratusan juta jiwa manusia lainnya. Kita berbagi skenario dengan manusia lainnya. Kita yang memutuskan untuk bersama sejak Mei lalu.

Sayang, kalaupun kisah kita tidak mencapai akhir bahagia, setidaknya kita telah belajar untuk tidak menyerah pada jarak, untuk tidak tunduk oleh rindu, dan tidak mati karena waktu. Masing-masing dari kita menuntun diri kita sendiri ke seseorang yang akan mengajarkan kita lebih dari ini. Membuka mata kita lebih dari yang kau dan aku lakukan. Sebagai seorang perempuan, aku memang sering mengkhayalkan kisah yang terlalu jauh untuk aku halusinasikan sekarang, aku selalu berharap kalau yang terbaik bagimu adalah aku. Kalaupun kelak bukanlah dirimu yang akhirnya duduk bersamaku, aku bahagia menjadi milikmu sekarang, ijinkan aku memeluk hatimu lebih lama lagi, biarkan aku merangkai lebih banyak kata untukmu. Aku tidak ingin setiap dari kita mengenang satu sama lain bukan sebagai pelajaran melainkan kesalahan. Tidak ada yang salah, tidak aku, tidak juga dirimu. Aku ingin, kalau aku memang harus mengenangmu, yang tersirat di wajahku adalah rasa syukur karena aku telah diijinkan untuk mengenalmu, untuk memiliki hatimu, untuk menjadi milikmu. Rasa syukur karena kaulah yang membawaku pada diriku kelak, kaulah yang mengubah pandanganku terhadap sesuatu. Aku juga berharap kau melakukan yang sama. Mengenangku tanpa umpatan, tanpa penyesalan, tetapi rasa syukur yang menghangatkan dirimu. Saat ini, aku menyayangimu dengan hati, jiwa, dan pikiranku, dengan kesadaran yang aku kuasai.

Sayang, sering kali dari ribuan kata yang mengalun, tak satupun dari mereka yang mampu mendeskripsikan hati dengan spesifik. Kita terlalu sering memilih abjad bisu untuk menjelaskan semuanya ketimbang hati. Karena, apa yang perlu diuraikan itu adalah sesuatu yang dirasakan, bukan diucapkan secara singkat. Kerinduan yang sering menghantam tanpa pernah sanggup aku jabarkan keberadaannya, membawa kesadaranku jauh kedalam dunia tidurku, dunia di mana aku bisa merengkuhmu tanpa harus memikirkan yang lain, dunia di mana dirimu terasa amat dekat, dunia di mana jarak itu hancur tanpa sisa. Kerinduan yang bahkan aku tidak tau bagaimana rasa yang sesungguhnya, gejolak yang terus memainkan ritme detak jantungku, menyulitkanku untuk sekedar menghirup udara kotor.

Kita memang tidak bisa menentukan dengan siapa, di mana, dan bagaimana kita kelak, tapi setidaknya kau dan aku menciptakan “kita” sebagai bekal yang bisa kita bawa. Sebagai album yang kelak akan kita buka dengan segala kerinduan yang membabi buta. Sebagai kenangan yang kita jadikan pelajaran. Aku bahagia dengan kita.

Friday, October 5, 2012

Masih Cerita Tentangmu

Jum'at sore, rutinitas seperti biasanya, ekstrakulikuler.

Langit sudah menghitam dan adzan Magrib sudah dilantunkan saat aku menapaki jalan menuju yang kusebut dengan rumah. Jaraknya lumayan, 15 menit berjalan kaki. Sama sekali tidak ada angin yang berhembus, melainkan kilat yang saling menyambar di langit. Aku berjalan diiringi nyanyian serangga-serangga malam yang merapalkan doa supaya hujan lekas turun, serasa layaknya resepsi. Bedanya, aku berjalan, bukan berdiri diam di hamparan karpet merah bertabur kelopak bunga di depan kursi pelaminan, dan tidak ada laki-laki yang berjalan menghampiri.

Aku sengaja memperlambat langkahku, dengan harapan aku bisa berdampingan dengan rintik hujan, supaya semua sisa-sisa air mata yang tertempel luntur tanpa sisa. Tapi, di luar perkiraan, hujan bahkan belum tumpah sampai detik ini aku berbaring di bawah bulan dan bintang yang akan bercahaya kalau gelap yang ditempel di langit-langit kamarku, dan menuangkan segala kata-kata yang sudah kurangkai sejak aku turun dari angkutan umum yang aku tumpangi.

Hari ini terasa lebih berat dari hari kemarin. Kepala yang sakitnya kian menjadi memperburuk keadaan. Aku bahkan tidak tau apa yang harus kuutamakan terlebih dulu. Aku terlalu buta karena merindukanmu.

Entah sudah berapa kali aku mengulang-ulang cerita yang sama. Masih dengan masalah yang sama, dan dengan ending yang masih juga belum kelihatan jelas. Aku masih sangat merindukanmu. Entah sudah berapa protes yang aku tumpahkan kepadamu, tapi tak kunjung mendapat respon darimu. Aku tidak tau apakah hatimu sudah berubah atau memang kau masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Yang jelas, aku sangat kehilangan dirimu yang dulu. Dirimu yang meyakinkanku supaya tetap pada tempatku, tetap menunggumu. Aku hanya merindukanmu. Apa aku salah? Aku hanya memintamu mengerti di tengah kesibukanmu. Mengertilah.

Thursday, October 4, 2012

Anggap Saja Aku Menegurmu

Iya, aku cemburu dengan semua teman perempuan yang bisa kau ajak berbicara bahkan berjumpa, tidak seperti aku yang hanya bisa menahan diri supaya tidak memeluk telepon genggamku saat membaca pesan yang kau kirimkan berbulan-bulan yang lalu.

Iya, aku sudah terlalu lelah menanggung rindu yang terus kau acuhkan, seolah-olah hanya aku yang merasa tersiksa karena jarak ini, seolah-olah hanya aku yang memiliki masalah ini.

Iya, aku memang selalu protes karena tanggapanmu sangat jauh berbeda dengan apa yang aku harapkan, berbeda dengan apa yang seharusnya kau lakukan kalau seandainya kau masih di sini.

Iya, aku mendiktemu secara tidak langsung dengan semua protes-protes, keluhan-keluhan yang aku berikan, dengan harapan kau bersedia meluangkan sedikit dari waktumu yang sangat berharga itu.

Iya, aku masih terlalu mencintaimu dengan seluruh hati dan pikiranku, apakah kau juga masih menjadi orang yang sama seperti dua bulan yang lalu? Saat semua berjalan sangat sempurna, seperti yang aku idam-idamkan.

Iya, apa yang aku rasakan masih sama seperti kali terakhir kita bertatap muka, dengan segala tekanan yang harus aku terima selama dua bulan terakhir ini, dengan segala sikapmu, dengan segala emosi yang harus terpaksa kutahan sebelum aku menyerah dan meneriakimu.

Iya, aku meragukan perasaanmu masih sama, meragukan kau masih orang yang sama yang aku cintai, karena dirimu sama sekali berbeda.

Iya, aku memang payah dalam hal bersabar, aku tidak tau bagaimana harus memasang sikap, karena biasanya aku memilikimu untuk menyabarkanku, untuk membuatku berpikir kembali tentang apa yang harus aku lakukan.

Iya, aku tidak bisa mengenyahkan pikiran negatif tentangmu di sana, tentangmu yang mungkin saja menemukan sosok yang lebih baik dariku dalam segala hal, yang bisa menemanimu di sana tanpa harus terganggu oleh jaringan telepon yang payah.

Iya, aku berharap kau bergegas meraih telepon genggammu, dan menanyakan apa yang terjadi, dengan tingkat kekhawatiran dari hatimu, tapi aku tau, harapan hanya akan menjadi harapan, sulit bagimu untuk merealisasikannya, bukan?

Iya, aku memang seperti anak kecil, tidak seperti kakak-kakak dengan pikiran dewasa mereka yang ada di sekelilingmu. Aku bukan mereka yang bisa dengan sabar menunggu. Aku bosan menunggu.

Iya, aku memang memuakkan. Aku pandai melebih-lebihkan masalah sepele, aku masih tidak bisa terima dengan perubahan yang terjadi, aku mengharapkan kau melakukan hal-hal yang tidak mungkin kau lakukan.

Aku sama sekali tidak menyalahkan jarak, aku tidak menyalahkanmu. Jujur saja, aku tidak tau siapa yang harus disalahkan. Mungkin aku yang salah, karena memang selalu seperti itu, bukan? Aku terlalu memusingkan hal-hal kecil yang seharusnya bisa kuhadapi dengan dewasa. Bahkan, seharusnya aku tidak seperti ini.

Aku memang selalu berdoa yang terbaik untukmu, tapi diam-diam aku berdoa supaya akulah yang terbaik untukmu. Aku kira, kita bisa melewatinya dengan mudah. Tapi, ternyata kenyataannya berbeda dengan yang kita harapkan, ditambah lagi pertahanan kita yang sangat buruk. Aku takut memikirkan kemungkinan yang bisa saja terlontar dari mulutmu. Kalau kau membaca ini, aku harap kau tau aku masih menyayangimu, aku mengharapkanmu. Aku membutuhkanmu. Aku masih bersedia menunggumu kembali.

Sunday, September 30, 2012

Percaya untuk Bertahan, Bertahan untuk Percaya

Ini sudah yang kesekian kalinya aku merecokimu dengan ocehan tidak bermutu, pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban, yang tidak bisa kupungkiri kalau aku menginginkan jawaban langsung dari bibirmu. Begitu banyak maaf yang aku berikan entah dengan alasan apa. Bukan karena siapa yang salah atau apa yang salah, tapi karena aku merasa harus.

Aku terus bertahan dengan berpegang pada janji-janji dan kata-kata manis yang kau lontarkan padaku dulu, sebelum kau menginjakkan kakimu di seberang sana. Aku tetap mempercayaimu karena kau memintanya, karena waktu yang kita perjuangkan, karena kerikil-kerikil yang membuat "kita" ada, karena aku menunggumu untuk kembali. Percaya, bahwa kita bisa menantang jarak, menguasai kembali rindu yang harus kita pendam, bahwa waktu akan membawamu kembali.

Yang aku pertanyakan adalah, apakah kau melakukan hal yang sama? Apakah kau mempertahankan apa yang kita perjuangkan? Aku tidak pernah mengerti pikiranmu, sekalipun aku mencoba mengerti, berulang kali aku mencoba mengerti, sampai aku paham aku tidak bisa mengerti tentangmu. Aku merasa kalah dalam segala hal. Merasa kalau kau memang pantas untuk jenuh. Tapi, aku masih ingin seperti ini, menjadi milikmu, percaya padamu, menunggumu, mencintaimu. Aku masih menginginkan ucapan selamat tidur darimu, omelan-omelan yang kau cecoki padaku. Aku masih menginginkan bagaimana kita mengkhayalkan keberadaan satu sama lain. Menertawakan diri kita karena terlalu berharap pada khayalan, pada imajinasi dan kondisi yang kita ciptakan sendiri. Dunia yang menjadi milik kita sendiri, yang kita tutup untuk khalayak orang banyak, dan dunia yang membuat kita saling percaya tanpa janji.

Aku tidak tau apakah aku akan mengalah pada egoku untuk mengekangmu, tidak memberikan ruang bagimu untuk bersosialisasi entah dengan gadis yang jauh lebih segalanya tanpa menghiraukan suara di bawah kesadaranku untuk membiarkanmu bebas. Aku tidak ingin terlihat sebagai seorang anak perempuan yang memeluk barang kesayangannya kemanapun dia pergi, tanpa pernah mengijinkan orang lain menyentuhnya. Aku hanya ingin kau tetap memberiku alasan untuk percaya. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana kau mengatakan akan kau titipkan hatimu padaku. I'm trying to keep it, ya know? Semuanya akan sia-sia tanpamu yang turut menjaga pikiranmu.

Jangan biarkan gadis lain menjadi orang pertama yang kau cari saat kau membutuhkan dukungan, kecuali Ibu  beserta kakak dan adikmu. Jangan biarkan gadis lain mencampakkan kepercayaanku padamu. Jangan biarkan dia menggantikanku. Jangan biarkan dia memiliki hatimu. Jangan biarkan dia menjadi orang yang kaucintai.

Menyebalkan. Aku terdengar seperti perempuan posesif. Tapi, memang begitulah kenyataan yang ingin kukatakan padamu. Kau mungkin bosan, kau mungkin jenuh, kau mungkin muak, tapi perasaanku masih sama.

Friday, September 21, 2012

Kita Menyebutnya dengan Rindu

Aku termenung, menengadah menantang cakrawala. Sampai hari ini, awan belum memberikan kesempatan pada satelit bumi untuk sekedar mengintip roda kehidupan dari bentangan langit. Aku masih tetap menyesaki paru-paruku dengan oksigen bercampur karbondioksida udara malam. Masih sama sesaknya, masih sama menyiksanya. Mungkin aku lupa bagaimana caranya bernafas dengan layak, lupa kapan terakhir kalinya aku bebas menyimpan oksigen dalam tubuhku tanpa harus memikirkan beban yang tersampir di bahu. Aku rasa aku juga hampir menghilangkan beberapa memori yang masih ingin kucuri dan kusimpan, sampai kelak kita bisa mengenangnya bersama.

Kata-kata rindu bukan lagi nyanyian asing di indra pendengaranku. Ribuan kali aku mengucapkannya, begitu pula denganmu, sampai-sampai rindu itu kehilangan kekuatannya, kehilangan maknanya, terasa hambar di setiap pengucapannya. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Mungkin karena bukan lagi hanya jarak antar-provinsi yang terbentang, melainkan jarak yang kita ciptakan sendiri. Kau dengan duniamu, dan aku masih dengan kondisi yang sama. Padahal, dengan rindu itu kita bisa mempertahankan semuanya, dengan rindu kita bisa terus mengejar waktu sampai akhirnya kau akan menjulang dihadapanku. Aku terus mencari bagian yang hilang, bagian yang terasa amat salah. Tetap tidak kutemukan. Apa aku mencari di tempat yang salah? Atau jangan-jangan justru dirimulah yang mengacaukan kestabilan pikiranku? Ada sesuatu yang ganjil dalam rentetan pesan singkat yang kau kirimkan padaku, walaupun pada nyatanya kita masih bertukar kabar seperti biasa, seperti yang selalu kita lakukan bahkan sebelum kau meninggalkan kota ini. Banyak yang ingin kukatakan padamu, semuanya sudah berdesak-desakan di pangkal tenggorokanku, tapi entah kenapa semuanya turut menguap begitu aku memikirkanmu yang dahulu.

Menurutmu apa yang bisa aku lakukan untuk bisa tetap mempertahankan rinduku? Iya, rindu yang belakangan ini selalu kusebut-sebut, berharap ada getaran yang menggelitik batinku. Dan, ya aku rindu dengan caraku merindukanmu dahulu. Adakah cara agar aku bisa terus merindukanmu?

Thursday, September 20, 2012

Sudut Pandangmu

"Kau tau kenapa aku mencintainya? Tingkahnya lucu. Terkadang tampak sangat polos, di saat lain dia bisa terlihat konyol. Tapi, itu yang membuatnya menarik. Aku mencintainya. Kau tau kenapa aku mengatakan ini? Karena dia juga mengatakan hal yang sama kepada teman-temannya di sana."

Benarkah? Kotak imajinasi yang biasanya kubuka bersamamu kemudian membuka sendiri dan memproyeksikan berbagai gambaran ekspresimu ketika menceritakan hal sama kepada komplotanmu. Entah kenapa aku meragukannya, walaupun dalam benakku sendiri aku mengaminkannya. Apakah aku bisa percaya kalau kau melakukannya? Apa aku punya alasan untuk percaya?

Apa yang akan kau ceritakan pada temanmu? Bagaimana caramu mendeskripsikan tingkahku? Bagaimana caramu mengutarakan perasaanmu? Bagaimana kau merindukanku setiap harinya?

Kalender di kamarku masih menampangkan tanggal pada bulan Januari dan Februari, belum berubah sejak pertama kali aku menerima kalender sekolah itu. Jujur saja, aku enggan melihat tanggal-tanggal yang terpampang di baliknya. Entah itu pada bulan Maret maupun September seperti sekarang ini. Aku tidak tau kenapa aku menuliskan ini, tapi menurutmu, apakah ada artinya aku rutin membolak-balik kalender kalau realitanya aku tidak menikmati nikmat Tuhan yang disodorkan padaku setiap detik? Sama saja artinya aku mengolok-ngolok bayangan yang terpantul di cermin datar itu. September terasa sama saja. Bukan sama menyenangkannya. Sama memilukannya. Bulan di mana seharusnya puncak kebahagiaan masa remajaku berada. Tapi, apalah daya, manusia hanyalah gabungan dari senyawa dan beberapa zat lain kemudian ditiupkan ruh ke dalamnya yang hanya bisa merencanakan dengan apik. Selanjutnya, Tuhan yang memegang kuasa. Keluar dari jalur yang dibayangkan. Jauh dari kata nyaris. Bahkan, aku tidak tau percayanya aku padamu akan merubah garis yang ditentukan. Kalau bisa satu hari itu berlangsung selama berminggu-minggu, aku ingin melihat, apakah ada perbedaan? Mungkin kau akan ingat.

Kau ingat bagaimana kita mengeluh tentang waktu? Satu komponen itu musuh terbesar kita kalau rindu sudah berada pada puncaknya, tapi tidak bisa menggapai satu sama lain. Kita terus mengimajinasikan diri kita berada dalam ruang dan waktu yang sama. Merapalkan kata-kata "kalau bisa" ibaratkan bernafas, entah bagaimana caranya berhenti, tapi terus dilakukan berdasarkan hukum alam. Menyiksa, tapi itulah cara kita bertahan. Dan, aku ingin bertanya, kalau bisa kau memberikanku alasan untuk percaya, alasan seperti apa yang akan kau sodorkan?

Malam kian larut, entah ada atau tidak benda langit hasil bentukan awan molekul yang sering dilafaskan sebagai bintang di sana. Satu lagi hari yang terlewati begitu saja. Masih saja belum bisa menemukan sudut pandang positifnya. Mungkin aku berdiri pada sumbu yang salah, atau mungkin hanya halusinasi remaja. Yang jelas, aku tidak menyukai berbagai hal negatif yang aku tangkap dengan korneaku.

Sepertinya aku semakin melantur, melenceng jauh dari paragraf pertama. Intinya tetap sama, aku masih terus merindukanmu.

Thursday, September 13, 2012

Catatan September

Hai, selamat sore, Matahari. Bagaimana keadaanmu? Awan hitam masih saja menutupi cahayamu hari ini, sama seperti hari kemarin. Sepertinya semakin meredup setiap harinya, tapi kalau kupikir itu hanya pengaruh dari posisiku melihatmu. Cahayamu sudah terlanjur hilang di Selat Sunda sebelum sampai ke sini. Aku merasa kehilangan sedikit dari banyak cahayamu. Tapi, kurasa itu bukanlah jaminan untuk menyerah pada apa yang kita pertahankan sejauh ini. Kita bayangkan saja bagaimana kelak kita akan bertatap muka dengan segala rindu yang terpaksa kita tahan di antara bentangan Provinsi, bukankah kita akan menghargai setiap detik yang diberikan untuk kita? Kau harus setuju denganku dalam hal ini.

Kita sudah memasuki hari ke tiga belas di bulan September, bulanku, bulan penghujan, memasuki fase akhir tahun. Tapi, rasanya sama saja seperti tahun-tahun yang sebelumnya. Tahun ini aku tidak bisa merasakan auramu. Padahal, aku sudah memikirkan bagaimana aku akan melewati bulanku denganmu. Kau tau, hampir setiap malam aku membayangkan keberadaanmu. Aku terus berusaha mengingat bagaimana rasanya kalau kau di sini. Aku berusaha untuk menyimpan semuanya, sampai kelak kau akan kembali lagi, aku akan tetap merasakannya. Sisi buruknya, aku semakin merindukanmu. Kau tau benar betapa sulitnya bagi otakku untuk menerima pikiran positif, itu menambah daftar penyiksaan batinku.

September kali ini tampaknya benar-benar selalu hujan setiap hari. Kau ingat waktu aku bilang saat itu gerimis dan menurutmu itu hujan? Padahal, sangat jelas kalau itu gerimis, tapi kau tetap mempertahankan pendapatmu. Aku tau, tidak ada yang lucu dalam bagian ini, tapi semuanya berarti. Aku juga masih ingat saat sosokmu berlari-lari kecil berlomba dengan hujan menuju Gedung Utama Taman Budaya. Kau berteriak dari bangku tempatmu duduk dan bilang kepada pasangan MC itu kalau aku yang memaksamu. Padahal, aku hanya ingin menambah daftar hari yang kulewati denganmu. Aku tau, tidak ada yang menyentuh dalam bagian ini, tapi semuanya bermakna. Aku rindu padamu.

Aku ingin, kalau seandainya kau kembali nanti, kembalilah sebagai orang yang sama, sebagai orang yang kukenal, yang kunanti, yang kucintai. Kembalilah sebagai Matahari.

Thursday, August 30, 2012

Hari-hari Setelah Kemarin

Sudah lebih dari 48 jam salah satu maskapai penerbangan ternama meninggalkan lapangan terbang Polonia, Medan. Tanpa ada pertemuan terakhir yang selalu kita nantikan, yang selalu kita bicarakan, yang selalu kita khayalkan, nyatanya kita tidak pernah benar-benar menciptakan pertemuan terakhir itu. Bagaimana kabarmu? Bagaimana harimu di sana? Bagaimana keadaanmu? Apakah seburuk keadaanku? Iya, aku terus saja memikirkan semua kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi, dan itu bukanlah hal yang baik. Dengan keadaan yang seperti ini aku merasa setiap kabar yang kudengar tentangmu terasa jauh lebih berharga dibandingkan yang sebelumnya. Apakah kau merasa demikian? Aku ingin tau bagaimana perasaanmu, bagaimana keadaanmu yang sebenarnya, seperti apa kegiatan yang menyita waktumu, aku ingin mengetahui semua yang kau lakukan tanpa harus kau jelaskan. Konyol? Ya, aku tau, bukankah seperti biasanya?

Bagaimana kalau aku merindukan kehadiranmu? Bagaimana kalau aku ingin melihat wajahmu secara langsung, mendengar suara yang keluar dari mulutmu dan tertangkap oleh telingaku sendiri tanpa ada perantara yang selalu terputus setelah sepersekian menit? Bagaimana kalau aku ingin melihatmu tertawa dengan mata kepalaku sendiri? Bagaimana kalau aku ingin kau disini? Tidak usah kau pikirkan jawabannya.

Just let me be one of your reasons to come back here. Let me be one of people you miss the most. Let me know you're missing me a lot.

Tunjukan pada mereka kalau kita memang bisa bertahan. Bukan bertahan semampunya, bukan bertahan yang seperti itu. Tapi, benar-benar bertahan karna kau akan segera pulang dan kita akan kembali seperti dulu atau aku yang akan menyusulmu. Hari-hari dalam bulan selanjutnya akan terasa sangat lama kalau aku menunggu ponsel ini berbunyi. Berbeda dengan hari sebelum kau meninggalkan kota yang menjadi rumahmu ini. Aku masih ingat bagaimana aku mendapati waktu terasa berjalan sangat cepat dan sadar bahwa kau akan segera pergi. Bahkan sekarang, ponsel ini terasa memuakkan.

Sunday, August 26, 2012

Kembali ke Kenyataan untuk yang ke-...Entahlah

Hai, setelah berhari-hari berteman dengan malam, sepertinya ini malam terakhir untuk tetap terjaga jam segini. Ini Minggu bung, besoknya Senin, what a fact! Kembali bergelut dengan sekolah dan segala isinya, kita lihat saja bagaimana waktuku habis terkuras sampai tetes terakhir, dan sekarang kita lihat sudah sampai mana tugas-tugas itu? Hmm, tidak ada perubahan yang berarti. TIDAK BISAKAH KALIAN MENCARI JAWABAN SENDIRI? *ngancungin telunjuk ke buku*

Siapa sangka ini hari terakhir berleha-leha? Hitungan jam lagi harus sudah berkutat dengan segala macam yang berbau sekolah. Kenyataan yang menyedihkan memang. Dipaksa kembali bertempur dengan pikiran-pikiran seperti "ah, salah jurusan nih", "bentar lagi juga gak sanggup", "ujian nanti gimana?", dan mungkin "hm, maaf kalian siapa?". Tapi, ya, siapa lagi yang bisa diandalkan selain diri sendiri? Pahitnya obat tablet dirasain sendiri, sembuhnya juga di badan sendiri. Harus berjuang 2 tahun lagi. 2 TAHUN SEPERTI INI, DENGAN KONDISI YANG SEPERTI INI. Perlu dijelaskan seperti apalagi? Tidak ada yang lebih menyenangkan selain memikirkan kemungkinan terburuk (baiklah, itu hanya ungkapan).

SMA, masa-masa menyenangkan, katanya. Sebagian besar orang sedang, masih, dan sudah merasakannya. Berlaku untukku tidak? Bolehkah? Buku-buku ini penyiksaan! Bayangkan, siapa mau ke pasar, beli beras sekian kilogram menggunakan prinsip Pythagoras? Tidak satu orang pun. Dan prinsip-prinsip semacam itu semakin rumit seiring bertambahnya tingkatan pendidikan. Aneh. Mungkin tidak bagi kalian bercita-cita menjadi Profesor, Insinyur, atau bahkan Arsitek. Besarnya derajat kemiringan sangat berpengaruh untuk apapun itu, aku benarkan? Dan aku bahkan tidak menaruh minat diantara semuanya. Anak nyasar dari mana nih? Mungkin kalian akan berpikir begitu kalau melihat aku duduk di bangku jurusan apa. Lucu, kalian bahkan tidak tau bagaimana sulitnya menuliskan IPA/IPS di angket yang disediakan. Itu adalah pilihan yang sulit untuk orang sepertiku yang tidak punya gambaran apapun tentang jadi apa aku kelak. Ternyata, jalan yang seperti inilah yang harus aku jalani. Yah, welcome to reality!

Salam,
Tias dengan pikiran yang tercecer entah dimana

Thursday, August 23, 2012

Kilasan Agustus

Medan, (hm...pukul berapa sekarang?) Oke, 00:04, sudah memasuki hari baru ternyata. Hari ke 23 di bulan Agustuspenghujung bulan dan kedengarannya sedang hujan di luar sana. Baiklah, apa yang baru? Acara buka bersama yang diadakan angkatan di bawahku tanggal 5 lalu berjalan lancar, buka bersama pecahan botol 7-2 angkatanku pun tidak seburuk yang dibayangkan (people change, they've grown up! Seperti remaja pada umumnya segalanya berubah pada mereka), aku, Papa, dan kedua kakakku memberikan kejutan kecil untuk ulang tahun Mama tanggal 14 kemarin, Ramadhan telah berakhir sekitar 4 hari yang lalu, dan Fajar memasuki umurnya yang ke 18 tahun 2 hari yang lalu, selebihnya adalah hari-hari yang berjalan seperti biasa, tapi tidak sesibuk bulan lalu. Oh iya, Minal aidin walfaidzin sebelumnya, maaf kalau selama ini waktu kalian terbuang sia-sia kalau tanpa sengaja kalian membaca beberapa tulisan menyedihkan ini. Ya, jarang sekali aku menceritakan cerita yang bahagia, bukan? Maaf untuk itu. Aku juga minta maaf karena semua tulisan yang ada dalam postingan sebelumnya terkesan terlalu berlebihan. Aku memang pandai melebih-lebihkan.

Oke, lupakan, sekarang apa yang akan kita ceritakan? Hmm...sekolah akan kembali dimulai tanggal 27 nanti, dan mahasiswa perantauan itu juga akan kembali ke Yogyakarta pada tanggal yang sama. Aku belum memiliki persiapan untuk keduanya. Aku menyedihkan ya? Semua tugas-tugasku masih menunggu untuk diselesaikan. Tidak, bukan karena aku malas. Begini, aku sudah menyelesaikan beberapa soal yang diberikan tapi tidak sebagian besar, karena aku tidak menemukan jawaban dari hampir semua pertanyaan yang diberikan. Padahal menurutku seharusnya semua jawabannya tersedia dalam buku yang sama. Jadi, bagaimana aku menyelesaikannya? Yah, semoga saja pertanyaan-pertanyaan itu bisa menemukan jawaban mereka sendiri.

Dia akan segera berangkat menempuh pendidikannya kurang dari seminggu lagi, apalagi yang bisa kuharapkan selain pertemuan terakhir, setidaknya untuk sekitar 4 tahun kedepan (mungkin)? Selebihnya aku percayakan padanya. Apa jadinya kalau aku benar-benar tidak bisa menemuinya selamakatakanlah setahun penuh? Baik, dia benar, itu urusan nanti. Kurasa cukup membahas ini sebelum postingan ini benar-benar berubah menjadi kisah sedih memilukan dua hati yang terpisahkan jarak.

Ohiya, aku diperlihatkan beasiswa sebuah Universitas swasta di Jakarta, ya, ibukota yang katanya padat semerawut, Ilmu Komunikasi terdengar menarik, bukan? Tidak hanya itu, Universitas di Yogyakarta juga terdengar lebih menarik, kalian bisa menebaknya. Masih berpikir untuk meninggalkan Medan dan menjadi anak rantau, jauh dari Orang Tua, jauh dari bantal gulingku yang terlihat lebih empuk dan nyaman kalau pagi, jauh dari tembok ini juga, jauh dari semua orang-orang yang membuatku merasa tidak konyol sendirian. Sedikit mengerikan membayangkannya. Jangankan membayangkan aku yang di luar kota sana, membayangkan aku melewati ujian Semester untuk tahun ini saja jauh lebih mengerikan. Entahlah, aku belum mau gila sekarang.

Jadi, yah, bulan ini cukup menyenangkan, tapi kurasa aku terlalu banyak mencuci mataku. Pikiranku semakin parah bulan ini. Baiklah, cukup sampai sini sajalah, aku juga tidak tau harus membual seperti apalagi.

With Love,
TSeptilia 

Monday, July 30, 2012

Hitungan Minggu, Mungkin?

Saat kali terakhir aku melihatmu, aku terus merapalkan doa supaya pertemuan itu tidak benar-benar menjadi yang terakhir. Menggenggam tanganmu adalah satu dari sekian banyak hadiah Tuhan yang paling aku syukuri. Aku berusaha untuk memeluk memori itu dalam ingatanku sebisa mungkin supaya tidak ikut terbuang bersama cerita kusam sebelumnya.


Memikirkan bagaimana ibukota dan selat membentang jarak ribuan kilometer selama kurang lebih 4 tahun masa bagimu untuk menyelesaikan pendidikanmu di sana membuat perutku bergejolak, seolah ada mesin penggiling tak terlihat di dalamnya. Bagaimana menahan rindu yang membuncah saat kau berada di luar jangkauanku? Apa tidak ada yang lebih buruk? Rasa rindu yang kian menggila setiap harinya membuat jarum jam tampak jauh lebih lamban dari biasanya. Ada saat di mana aku merasa waktu berjalan sangat lambat saat aku merindukanmu dan di saat yang bersamaan, waktu berjalan sangat cepat mengingat kau akan segera melintasi berbagai ibukota dalam beberapa minggu. Segala macam pikiran tentang berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi tidak henti-hentinya merecoki malam di mana seharusnya aku tidur.

Ada beberapa kalimat dari novel yang kubaca, yang kemudian membuatku tertohok cukup dalam.
"Hubungan jarak jauh selalu berusaha bertahan sebisanya, tetapi pudar juga seiring waktu berjalan."
"Mereka bilang, bila ada sesuatu yang tidak bisa dikalahkan oleh cinta, maka itu adalah jarak."
Bagaimana menurutmu? Medan-Jogjakarta memang bukan jarak yang bisa ditempuh 15 atau 30 menit perjalanan biasa. Sedangkan kau masih berada di kota yang sama saja aku masih terus merindukanmu. Kau juga pernah bertanya seperti itu. Bagaimana nanti?

Menyebalkan ya? Selalu seperti ini. Hanya tinggal menunggu waktu sebelum akhirnya benar-benar jauh. Belum lagi jaringan yang terus menguji kesabaran setiap hari. Komunikasi yang seperti ini tidak bisa menjamin bisa mengurangi rasa rinduku. Aku belum tentu bisa mendengar suaramu setiap hari. Hubungan telepon yang terus terputus entah setelah menit keberapa. Mungkin pertanyaan yang sama hinggap di benakmu, bagaimana kita bertahan? Katamu, ya jalani saja. Tapi, yah menurutku kau benar, apa lagi yang bisa ku lakukan selainkan membiarkannya berjalan seperti yang seharusnya? Just let time tells us if it's something we worth fighting for, doesn't we?


Ada yang pernah bertanya, 'apa kau tidak takut berhubungan jarak jauh?'. Tentu saja aku takut! Ya, walaupun aku tau kau menjejakkan kaki di sana untuk menempuh pendidikan dan mengejar mimpimu, aku tau itu. Tapi, perempuan mana pun di muka bumi pasti akan takut kehilangan laki-laki yang dicintainya. Aku hanya bisa mempercayaimu. Iya, aku percaya padamu. Jangan membuatku menyesal karena mempercayaimu.

Sunday, July 15, 2012

Rute Satu Tahun

Wah, sudah satu tahun ternyata seragam ini melekat di badan. Kalo ngaca udah anak gadis, udah remaja. Udah nggak bisa menye-menye lagi, nggak bisa mengkek kayak anak bayi minta dot susu vanilanya. Menapaki masa-masa sebagai seorang anak SMA kelas 11, jurusan IPA pula. 6 hari belajar efektifnya diisi sama rumus-rumus yang entah ada berapa, yang entah apa namanya. Nantangin masa depan hanya bermodalkan nekat bukan tekad seperti 47 orang lainnya yang duduk di kelas yang sumpeknya ngalah-ngalahin pajak pagi. Waktu ditanya cita-citanya aja rata-rata pada jawab dokter. Jangankan niat, terlintas di kepala buat jadi manusia di balik setelan putih bau obat itu aja nggak pernah. Ini dia yang sulit, cita-cita. Mau jadi apa ke depannya? Masih belum ada gambaran, masih terombang-ambing ngikutin arus, yang besar kemungkinan buat hanyut, sukur-sukur jago renang.

Tidak banyak perubahan yang terjadi pada masa-masa yang kata orang banyak masa yang paling indah seumur hidup, yang paling unforgettable sangking berharganya. Ntah kurang menikmati "masa-masa indah sekali seumur hidup" atau memang belum kerasa, masih merasa asing sama kondisi yang seperti ini. Terkadang teringat masa-masa dulu, waktu masih mengenakan rok biru dengan dua lipatan. Masih belum mengerti tentang menentukan pilihan. Masih cengeng, yah walaupun sampai sekarang. Sedikit menyedihkan kalau mengingat yang dulu. Sekali jatuh, susah buat berdiri. Nggak bisa kesenggol sikit sama kenyataan.

Oh iya, sudah ada simbol yang menempel di lengan kiri seragam putih yang yah sedikit berat. Tidak, bukan berat yang sebenarnya, maksudku harus menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Tapi, who knows?

Kembali ke paragraf awal, menyedihkan memang, bertarung tanpa tameng, senjata dan baju zirah. Belum ada satu minggu menginjakkan kaki di kelas yang sekarang, tapi rasanya mulai ragu. Mulai berpikir sepertinya sudah salah kelas dari awal. Mereka ini orang-orang yang mungkin akan tetap melangkah di sampingku, atau bahkan di depanku sampai 2 tahun ke depan. Bedanya, mereka sudah punya tujuan, sedangkan aku sendiri masih ragu untuk mengambil langkah. Masih sulit untuk menganggap mereka teman, belum terbiasa mungkin. Tapi, memang sepertinya tidak bisa, mereka itu orang "atas".

Oke intinya, tembok saya masih cukup untuk saat ini.

Wednesday, June 27, 2012

Deretan Abjad Bisu Untukmu

Kepada yang tersayang, Matahari pagiku yang bersedia membagi cahayanya untukku

Kalau kau berpikir kau tidak bisa menjadi seperti apa yang kumau, sebaiknya kau menjernihkan pikiranmu. Karena aku telah berani mencintaimu, dengan kata lain aku juga harus berani untuk mencintai apa yang ada dalam dirimu, tanpa harus merubahnya menjadi yang kumau. Aku berani untuk jatuh kepadamu, dan merasakan sakitnya terjerembab karenamu adalah konsekuensi yang harus berani kuterima. Memang, sering kali gambaran tentang apa-yang-harusnya-kau-katakan dan apa-yang-harusnya-kau-perbuat melintasi pikiranku yang masih kekanak-kanakan ini. Tentu saja halusinasi itu tidak kubiarkan berlama-lama menari di kepalaku. Mungkin sebaiknya aku mengurangi kebiasaanku membaca buku yang berbau kisah romantis memuakkan. Salahkan para pengarang itu, mereka yang membuatku berharap kau melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan peran yang ada di sana itu. Aku tidak bermaksud menuntut kau harus menjadi seperti apa. Toh aku menyayangi dirimu yang ku-kenal bukan yang ku-mau

Bersamamu saat ini adalah hal yang di luar dugaanku, walaupun tak bisa kupungkiri kalau aku pernah membayangkannya, tapi aku tidak pernah mengira hal ini sungguh-sungguh terjadi. Terkadang kau membuatku berpikir, apakah aku benar-benar bersamamu? Apakah sekarang kau benar-benar menganggapku penting? Kalau aku singgah ke saat-saat berbatu itu, aku tidak percaya kalau aku telah berjalan sejauh ini. Ada rasa lega yang menggelitik batinku, seakan-akan terbayar sudah waktu yang tertinggal di belakang. Tapi, perasaan bersalah masih menggangguku sesekali. Mungkin ini hanya masalah waktu sampai aku benar-benar terbiasa menjalani semuanya.

Kisah lamamu membuatku membandingkan diriku sendiri. Apakah aku cukup pantas? Kau memang memintaku untuk mempercayaimu, dan ya, aku memang percaya. Tapi, semua gambaran yang membuatku merasa tidak lebih baik untuk bersamamu jauh lebih banyak daripada alasan untuk tetap percaya. Lucunya, entah kenapa aku merasa kehilangan dirimu yang dulu atau mungkin hanya perasaanku, tapi entahlah.

Aku selalu takut kau akan merasa bosan dengan semua keluhan yang kucurahkan padamu, muak dengan segala ocehanku, dan aku juga takut kalau sewaktu-waktu kau mulai malas menanggapiku. Aku masih belum mengerti jalan pikiranmu, jadi aku masih belum bisa membaca apa yang kau pikirkan tentangku kalau aku begini, atau bagaimana pikiranmu tentangku kalau aku begitu. Aku merasa kalau aku masih terlalu buta tentangmu.

Aku merasa aneh saat aku merindukanmu, tapi tidak ada yang bisa kulakukan, padahal seharusnya mudah untuk mengobatinya. Hasilnya apa? Aku hanya memandangi telepon genggamku seolah-olah benda dingin itu akan mengatakan kalau kau juga benar-benar merindukanku. Aku harap kau tau, aku membutuhkanmu. Entah untuk membuatku merasa lebih baik, membuatku tau kalau aku tidak sendirian, membuatku merasa kalau aku benar-benar memilikimu ataupun membuatku merasa kalau kau tidak ingin kehilanganku. Aku percaya padamu.

Salam hangat,
aku menyayangimu

Wednesday, June 20, 2012

Hmm, hai. Sudah memasuki akhir bulan, dan yah seperti biasa, semuanya berantakan. Maksudku, benar-benar semuanya. Lucu, ya, menderitanya terjadwal. Kalo mau ketawa, ketawalah.
Ilangnya bertahap dia, satu satu, tapi pasti. Entah emang udah nggak cocok, udah nggak sepaham, udah nggak sejalan, atau memang akunya yang gatau diri, gataulah. Aku pun lucu yakan, heboh bolak balik minta maaf, tapi tetep dilakuin lagi. Gatau ngerasa gimana ya, yaa ngerasa macem orang yang paling...gak guna mungkin hahaha

Tadi pagi, jatuh tepelanting, untungnya dengkul duluan yang kenak lantai, bukan kepala, jadi ya aman. Refleks terucap 'kalo pun aku kenapa kenapa kelen gak bakal tau kan?'. Udah lama sebenernya kalimat menyeramkan itu mondar mandir di kepala. Tapi, bener. Gak ada yang mau repot-repot nyari tau. Iya, kan? Kalo salah ya maap. Ya ampun, anak-anak kali aku ya, iss! Entalawe -_-
Aku pun sekarang bingung mau nangis sama siapa, sama si mbok ini gamungkin (re:cerita di balik tembok), tengik kali dia gamau ngasi solusi. Yaaaaudahlah, tahankan ajalah yakan hahaha

Monday, June 11, 2012

Cerita di Balik Tembok

Tengah malam, dan saya masih terjaga di depan layar laptop yang menyala terang benderang ngalah-ngalahin bulan di luar sana. Oke, kalo dalam bahasa Indonesia, ini namanya hiperbola. Kalimat yang berlebihan, dan Allah tidak menyukai yang dilebih-lebihkan. Jadi, intinya apa? Oke, lewatkan.

Iya, iya kalimat pembuka yang panjang dan tidak memiliki inti seperti di atas memang bukan contoh permulaan yang bagus, tapi yah, beginilah hidup kadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Lantas, apa hubungannya? Tidak ada. Jadi, tembok di sebelah kiri saya sudah sewot teriak-teriak minta supaya langsung ke pokok pembicaraannya. Iya, tembok, bukan orang. Oiya, belum kenal ya? Mari kita berkenalan :-)
Kenalkan, namanya tembok, panggil aja mbok, bukan mbok-mbok tukang pecel apalagi tukang jamu. Permukaannya mulus, halus, tidak bergelombang dan tanpa cacat, tapi tidak begitu kalau ditinjau dari hukum pemantulan cahaya dalam ilmu fisika, karena si mbok ini selalu dinyatakan tidak rata. Harus siap-siap mental, dia termasuk benda yang mudah terbawa suasana, dingin kalau cuaca dingin, panas kalau cuaca panas. Iya, dia masih labil, masih dalam tahap pendewasaan. Nggak, dia nggak suka makan apa-apa, nggak suka minum apa-apa. Grrr, berisik! Eh, maaf, si mbok emang bawel.

Oke, kayaknya perkenalannya segitu aja ya. Sekarang kita ngomongin apa? Oh iya, iya. Si Mbok ini temen yang paling setia, paling nggak banyak cincong, di maki sampe nyebutin seluruh binatang yang ada di dunia pun dia gabakal ngebales maki apalagi ngamuk. Yaiyalaah, mulut aja nggak punya! Iye nggak, mbok? Tuh, nggak nyaut kan, tau dah emang gadenger, gabisa denger, apa pura-pura gadenger. Bahkan, tembok pun mempunyai banyak sisi untuk dikomentari :-)

Iyaloh, iya, gapenting kan? Selalu. Beginilah kalau menjadi yang terlupakan, yang ditinggalkan berdebu, yang dibiarkan merangkak sendiri, dan menjadi yang invisible. Menjadi yang tidak terlihat mungkin akan menyenangkan kalau dalam kondisi yang tepat, tapi ini realita, di mana menjadi tidak terlihat sama dengan tidak dianggap, yang sama dengan tidak berarti apa-apa, yang sama dengan worthless, yang sama dengan hmm-maaf-anda-siapa, dan itu bukan hal yang baik. Bahkan tembok pun ingin dianggap penting. Selaw mbok, I'll always be there *ngelus tembok*. Seperti yang banyak orang bilang: "Time flies, people change", apa memang seperti itu? Atau jangan-jangan mereka sama sekali tidak berubah, tapi inilah wujud mereka yang asli? Atau lagi itu hanyalah spekulasi yang diciptakan agar orang-orang berpikir tidak ada salahnya menjadi orang yang berbeda? Kalo kata orang Arab wallahualam. Ya, terkadang memang kita yang harus mengerti bagaimana keadaan mereka, yang tanpa disadari membuat kita sendiri tidak mengerti di mana kita berdiri, dan terkadang yang ingin kita lakukan hanyalah berlari mencari petunjuk, atau pun teman berbagi, setidaknya kita tau kalau kita tidak sendiri. Bukankah begitu? Kalau salah, ya harap maklum, namanya juga manusia. Oh, mungkin tidak bagi kalian, kalian benar. Mari kita ralat: ya harap maklum, namanya juga saya manusia yang tergambar seperti yang di atas itu.

Entahlah, mungkin memang aku yang berpikiran terlalu rumit, mungkin kalian memang sedang mempunyai kesibukan sendiri, yah, dalam jangka waktu yang lama, mungkin kita memang berbeda paham, mungkin tanpa disadari kita telah berbeda arah sejak lama, dan sekarang kita sudah terlalu jauh. Tidak, bukan hanya kalian, aku tau kalau aku juga demikian, maaf untuk itu. Yang aku tanyakan, apa masih ada jalan pintas ke tempat yang kau tuju di sekitar sini? Setidaknya kita tidak harus berjauhan, setidaknya aku tau aku masih memiliki seseorang untuk menarik tanganku kalau-kalau aku terperosok ke jurang, dan setidaknya aku bisa berjalan dibelakang kalian, atau mungkin berdampingan. Apa kalian juga memiliki pikiran yang sama? Tidak? Oiya, aku lupa kalau kalian sudah menemukan tujuan :-)

Tidak bisa dipungkiri aku merindukan saat di mana aku tertawa selepas-lepasnya, berbicara seterang-terangnya, berteriak sekeras-kerasnya, bahkan menangis sejadi-jadinya dihadapan kalian. Entah kalian merindukannya atau tidak, yang jelas aku sangat merindukannya. Ingat tidak, kita sama sekali tidak membiarkan jarum jam itu bernafas di sela-sela perbincangan kita? Iya, karena kita selalu menimpalinya dengan ocehan anak SMP. Bagus, sekarang aku bingung apakah harus tertawa atau menangis mengingatnya. Kita sama-sama sadar kalau kita tidak seperti dulu. Sangat jauh berbeda, nggak tau berapa derajat bedanya. Mungkin kita memang berjalan di rute yang berbeda, tapi kalian tau di mana bisa menemukanku, dan ke mana bisa menghubungiku. :-)

Duh, si Mbok mulai sewot lagi, katanya makin larut kok makin mendayu melambai nyiur di pantai. Iya, tau, emang gak lucu kok. Yasudah deh, udah kepanjangan juga ceritanya. Terima kasih telah membuang waktumu yang berharga ☺

Note: Miss you so sa, tam, be, yul *hugs and kisses*