Pages

Monday, June 11, 2012

Cerita di Balik Tembok

Tengah malam, dan saya masih terjaga di depan layar laptop yang menyala terang benderang ngalah-ngalahin bulan di luar sana. Oke, kalo dalam bahasa Indonesia, ini namanya hiperbola. Kalimat yang berlebihan, dan Allah tidak menyukai yang dilebih-lebihkan. Jadi, intinya apa? Oke, lewatkan.

Iya, iya kalimat pembuka yang panjang dan tidak memiliki inti seperti di atas memang bukan contoh permulaan yang bagus, tapi yah, beginilah hidup kadang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Lantas, apa hubungannya? Tidak ada. Jadi, tembok di sebelah kiri saya sudah sewot teriak-teriak minta supaya langsung ke pokok pembicaraannya. Iya, tembok, bukan orang. Oiya, belum kenal ya? Mari kita berkenalan :-)
Kenalkan, namanya tembok, panggil aja mbok, bukan mbok-mbok tukang pecel apalagi tukang jamu. Permukaannya mulus, halus, tidak bergelombang dan tanpa cacat, tapi tidak begitu kalau ditinjau dari hukum pemantulan cahaya dalam ilmu fisika, karena si mbok ini selalu dinyatakan tidak rata. Harus siap-siap mental, dia termasuk benda yang mudah terbawa suasana, dingin kalau cuaca dingin, panas kalau cuaca panas. Iya, dia masih labil, masih dalam tahap pendewasaan. Nggak, dia nggak suka makan apa-apa, nggak suka minum apa-apa. Grrr, berisik! Eh, maaf, si mbok emang bawel.

Oke, kayaknya perkenalannya segitu aja ya. Sekarang kita ngomongin apa? Oh iya, iya. Si Mbok ini temen yang paling setia, paling nggak banyak cincong, di maki sampe nyebutin seluruh binatang yang ada di dunia pun dia gabakal ngebales maki apalagi ngamuk. Yaiyalaah, mulut aja nggak punya! Iye nggak, mbok? Tuh, nggak nyaut kan, tau dah emang gadenger, gabisa denger, apa pura-pura gadenger. Bahkan, tembok pun mempunyai banyak sisi untuk dikomentari :-)

Iyaloh, iya, gapenting kan? Selalu. Beginilah kalau menjadi yang terlupakan, yang ditinggalkan berdebu, yang dibiarkan merangkak sendiri, dan menjadi yang invisible. Menjadi yang tidak terlihat mungkin akan menyenangkan kalau dalam kondisi yang tepat, tapi ini realita, di mana menjadi tidak terlihat sama dengan tidak dianggap, yang sama dengan tidak berarti apa-apa, yang sama dengan worthless, yang sama dengan hmm-maaf-anda-siapa, dan itu bukan hal yang baik. Bahkan tembok pun ingin dianggap penting. Selaw mbok, I'll always be there *ngelus tembok*. Seperti yang banyak orang bilang: "Time flies, people change", apa memang seperti itu? Atau jangan-jangan mereka sama sekali tidak berubah, tapi inilah wujud mereka yang asli? Atau lagi itu hanyalah spekulasi yang diciptakan agar orang-orang berpikir tidak ada salahnya menjadi orang yang berbeda? Kalo kata orang Arab wallahualam. Ya, terkadang memang kita yang harus mengerti bagaimana keadaan mereka, yang tanpa disadari membuat kita sendiri tidak mengerti di mana kita berdiri, dan terkadang yang ingin kita lakukan hanyalah berlari mencari petunjuk, atau pun teman berbagi, setidaknya kita tau kalau kita tidak sendiri. Bukankah begitu? Kalau salah, ya harap maklum, namanya juga manusia. Oh, mungkin tidak bagi kalian, kalian benar. Mari kita ralat: ya harap maklum, namanya juga saya manusia yang tergambar seperti yang di atas itu.

Entahlah, mungkin memang aku yang berpikiran terlalu rumit, mungkin kalian memang sedang mempunyai kesibukan sendiri, yah, dalam jangka waktu yang lama, mungkin kita memang berbeda paham, mungkin tanpa disadari kita telah berbeda arah sejak lama, dan sekarang kita sudah terlalu jauh. Tidak, bukan hanya kalian, aku tau kalau aku juga demikian, maaf untuk itu. Yang aku tanyakan, apa masih ada jalan pintas ke tempat yang kau tuju di sekitar sini? Setidaknya kita tidak harus berjauhan, setidaknya aku tau aku masih memiliki seseorang untuk menarik tanganku kalau-kalau aku terperosok ke jurang, dan setidaknya aku bisa berjalan dibelakang kalian, atau mungkin berdampingan. Apa kalian juga memiliki pikiran yang sama? Tidak? Oiya, aku lupa kalau kalian sudah menemukan tujuan :-)

Tidak bisa dipungkiri aku merindukan saat di mana aku tertawa selepas-lepasnya, berbicara seterang-terangnya, berteriak sekeras-kerasnya, bahkan menangis sejadi-jadinya dihadapan kalian. Entah kalian merindukannya atau tidak, yang jelas aku sangat merindukannya. Ingat tidak, kita sama sekali tidak membiarkan jarum jam itu bernafas di sela-sela perbincangan kita? Iya, karena kita selalu menimpalinya dengan ocehan anak SMP. Bagus, sekarang aku bingung apakah harus tertawa atau menangis mengingatnya. Kita sama-sama sadar kalau kita tidak seperti dulu. Sangat jauh berbeda, nggak tau berapa derajat bedanya. Mungkin kita memang berjalan di rute yang berbeda, tapi kalian tau di mana bisa menemukanku, dan ke mana bisa menghubungiku. :-)

Duh, si Mbok mulai sewot lagi, katanya makin larut kok makin mendayu melambai nyiur di pantai. Iya, tau, emang gak lucu kok. Yasudah deh, udah kepanjangan juga ceritanya. Terima kasih telah membuang waktumu yang berharga ☺

Note: Miss you so sa, tam, be, yul *hugs and kisses*








No comments:

Post a Comment