Pages

Tuesday, November 27, 2012

Tentang Rubik

Hari ini, saya beserta beberapa siswa kelas 1 dan 2 didampingi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia berkumpul di aula Hotel Aryaduta, ada acara semacam diskusi. Ketika itu, jam dipergelangan tangan kiri saya sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Ngaret 1 jam. Emang dasar orang Indonesia.

Selama detik-detik menunggu sang MC memecah kesunyian, laki-laki di sebelah kanan saya meminta ijin untuk mengutak-atik rubiknya. Jangan tanya kenapa dia minta ijin, saya juga heran. Tidak butuh waktu yang lama baginya untuk membuat komposisi warna rubik tersebut menjadi pas. Nah, kalau dia minta ijin menyusun, saya tak mau kalah dengan minta ijin untuk merusak susunannya. Tidak sampai 5 menit warna rubik tersebut sudah kacau di tangan saya.

Kedua kalinya dia menyusun rubiknya, kali ini saya memperhatikan gerakan tangannya yang lihai memutar rubik ke sana ke mari. Otak saya tidak mau diam, dan terus (memaksa) menghubungkannya dengan kehidupan. Si pemain terus memutar rubik tersebut, mencari dan menyusun warnanya supaya seimbang. Dia berpikir untuk menyusun warna lain tanpa merusak susunan warna lainnya. Berusaha menjaganya supaya tetap seimbang. Terus berputar sampai mencapai keseimbangan yang sudah ditentukan. Sadar atau tidak, saya berani jamin, ada kebanggaan tersendiri bagi si pemain karena telah menyeimbangkan rubiknya, hidupnya.

Yah, jujur-jujur saja, saya tidak mahir memutar benta kubus penuh warna tersebut. Jadi, saya tidak tau rasanya bangga karena memecahkan polanya. Mau tidak mau saya akan menunggu sampai pola hidup saya yang terpecahkan.

Monday, November 26, 2012

10 Menit untuk Masa Depan

Akhirnya, tugas untuk nilai ujian Conversation kelar. Baru punya waktu hari ini, dan langsung terjun ke pusat perbelanjaan ternama di Medan demi berburu "bule". Bukan, bukan Bule' Yati, Bule' Tumiyem, atau Bule'-bule' yang lain. Tapi, native speaker. Setelah beberapa menit berputar, berhentilah kami di depan sebuah coffee shop, sekedar mengintip buruan. Ada. Sendirian. Bagus. Berbasa-basi sejenak, kemudian menanyakan pertanyaan standar. Aslinya manusia USA. Ternyata eh ternyata, seorang guru sekolah tinggi swasta di daerah Gatsu. Tau gitu nggak perlu ribet-ribet cuap-cuap bicara bahasa Inggris. Tidak butuh waktu yang lama bagi kami untuk berbincang, karena dia pun hanya menjawab sekenanya. Tidak mencapai batas waktu yang kami inginkan. Oke, yang satu ini dijadikan cadangan saja.

Setelah berunding dengan anggota yang lain, kami sepakat untuk berburu lagi. Setelah berulang kali naik-turun eskalator, mondar-mandir, celingak-celinguk, masih belum ketemu. Susah memang menemukan orang asing di tempat yang strategis untuk di wawancarai. Beberapa dari mereka duduk di dalam restoran yang cukup mahal, kami pun berpikir ulang, mana mungkin masuk hanya sekedar untuk wawancara tanpa memesan salah satu dari menu mereka. Bisa dikira kurang ajar, terus diusir. Kami memilih diam dan memperhatikan. Sebenarnya, ada 2 orang asing di dekat tempat kami berdiri. Ayah dan anaknya. Tapi, tidak, terima kasih. Mukenye sangar bos. Lebih baik cari jalan amannya saja.

Kami kembali berkeliling. Oke, dapat. Kali ini sudah cukup berumur. Laki-laki, di kelilingi Ibu-ibu Indonesia sekitar 3 orang. Kami mengikuti mereka untuk mencari tempat yang pas untuk dijadikan tempat berbincang. Namun, kami lebih terlihat seperti penguntit dibandingkan siswa yang berusaha menyelamatkan masa depannya. Berhentilah beliau di depan book store di pusat perbelanjaan tersebut. Setelah bergelut dengan pikiran masing-masing, kami nekat mengganggu ketenangan "bule" yang kami targetkan sejenak. Kami berbicara pada salah satu dari Ibu-ibu tadi yang tetap tinggal bersama target kami, selagi 2 lainnya ngeloyor pergi menyelamatkan diri dari sergapan 6 anak SMA yang masih berseragam batik. Setelah menjelaskan maksud dan tujuan kami mengganggu mereka, kami meminta izin untuk mencuri 10 menit dari waktu yang mereka punya. Mereka setuju. Bagus. Mereka tidak tau kalau mereka telah menyelamatkan 6 anak muda Indonesia dari masa depan yang suram.

Beliau seorang Belanda. Datang untuk mengunjungi keluarganya di sini. Kami beruntung bisa bertemu dengan orang yang mau berbagi pengalaman dengan anak SMA yang berisik seperti kami. Di sela-sela jawabannya, beliau bercerita dan saya menangkap beberapa kesan dan pelajaran. Beliau mengatakan, dia menyukai anak muda Indonesia seperti kami, yang ramah dan mau berbicara kepada orang asing. Karena, di beberapa negara yang dia ketahui, tidak ada orang yang mau sekedar menoleh untuk membalas sapaan, tidak seperti orang Indonesia. Beliau juga mengatakan bahwa kami adalah aset negara. Dengan senyumnya dia berkata kepada setiap dari kami, "For you all, he could be a President, she could be a President.", dan pada saat melihat ke arah saya, dia menepuk pundak saya, dan berkata sekali lagi, "and you, also could be a President.". Secara tidak langsung, beliau mengatakan bahwa setiap anak muda di Indonesia memiliki potensi menjadi pemimpin.

Yang membuat saya tergelak adalah ketika kami menanyakan tentang tempat di Medan yang menjadi favoritnya. Na'as sekali, beliau menjawab tidak tau, karena selama beliau berkunjung ke  Medan, dia tidak menemukan taman yang indah, tempat bagi turis untuk dikunjungi, yang ada hanya tempat perbelanjaan seperti tempat kami berjumpa tadi. Setelah saya pikir, memang sedikit tempat yang saya ketahui bisa menjadi daya tarik turis mancanegara seperti beliau. Hanya beberapa tempat seperti di kawasan Kesawan. Namun, beliau tau tentang tari tradisional Batak. Kesan yang didapatnya sangat bagus, dia menyukainya karena gerakan tari yang lembut dan unik, beliau menikmatinya saat berkunjung ke Toba.

Tidak hanya itu, dia juga berpesan kepada kami untuk terus mengasah kemampuan berbahasa kami. Karena, dengan berbahasa bisa membawa kita kemana saja, berbicara dengan siapa saja. Dia benar.

Selama 10 menit itu, banyak pelajaran yang yang bermanfaat bagi kami. Memberikan kami gambaran tentang pandangan turis mancanegara mengenai kota yang saya tinggali selama belasan tahun ini, dan 10 menit yang dia luangkan telah menyelamatkan kami dari ancaman tidak lulus mata pelajaran yang bersangkutan yang bisa mempengaruhi rata-rata nilai dan berpengaruh untuk seterusnya. Untuk saat ini, kami aman.

Thank you for your time, Sir. We glad to met you.
*saya akan merampungkan cerita ini setelah mendengarkan kembali wawancara kami.

Catch your dream, Young People!
Love,
T

Thursday, November 22, 2012

Rekaman ini diam-diam kuambil disela-sela hubungan telepon yang payah. Tidak sampai 20 menit, itupun hilang timbul. Jaringan memang tidak pernah bersahabat. Senandung singkat yang masih kucoba pertahankan. Suaramu masih mampu membuatku bungkam, walaupun hanya sekedar rekaman. Aku selalu hanyut dalam suaramu. Kurasa semua orang juga begitu.

Hari ini, aku sadar. Aku amat merindukanmu. Maaf.

Wednesday, November 21, 2012

Bukan Jarak, tapi Kita

"Putus?" "Iya." "Kenapa? Gatahan LDR? Jaraknya?"

***

People, please. Sampai kapan menyalahkan benda mati? Apa-apa yang dituduh waktu, apa-apa jarak. Lah memang waktu harus terus berputar dan jarak memang harus terbentang, jadi siapa yang harus menyesuaikan? Mana mungkin kita memaksa yang sudah terpatok mati berubah, mau tidak mau kitalah yang menyesuaikan diri. Spekulasi kalian mengenai jaraklah yang mensugesti jiwa-jiwa yang masih ragu melangkah untuk memutuskan hendak berhubungan seperti apa, dengan jarak yang bagaimana. Semua tergantung cara kita menjalaninya. Kalau pun memang tidak bertahan, jangan melulu menyalahkan jarak, ada masalah yang kita (coba) anggap sepele dan kita kira tidak terlalu penting untuk diperbesar, ternyata malah menjadi bumerang tersendiri bagi emosi kita.

Bukan jaraknya, tapi orangnya.

Sunday, November 18, 2012

Alhamdulillah, semalam, pementasan Komburita sukses. Rasanya bahagia saat diakhir pertunjukkan melantangkan salam Teater di hadapan ratusan penonton, di hadapan Mama Papa juga yang duduk di depan. Tersenyum, sambil melambaikan tangan kearahku. Aku bangga.

Lihat, aku berhasil. Sayangnya, kau tidak disini. Aku ingin tau bagaimana reaksimu kalau melihatku bermain seperti semalam. Masih sedikit berharap sih, tapi ya mau gimana lagi?

Ah, yasudahlah.

Friday, November 16, 2012

Lihat Aku, Matahari

"Belum pernahkan berdiri di situ?" ledekmu sambil menunjuk ke panggung Taman Budaya. Aku hanya tersenyum, lagipula aku tidak bisa menjawab apa-apa.
"Kakak udah dua kali dong." lanjutmu menyombongkan diri. Aku hanya memasang wajah menjijikan. Toh tidak lama lagi aku akan berdiri di situ, pikirku dalam hati.

***
Ingat tidak pembicaraan singkat itu? Iya, terlalu menyebalkan untuk diingat. Rinduku semakin berusaha mendobrak pertahananku. Tapi, lihat, besok aku sudah akan bermain di panggung itu. Akan kutunjukkan padamu, Matahari.
Aku merindukanmu. Sangat. Padahal, tadinya aku pikir, aku bisa menyombongkan diri dihadapanmu, dan kau akan menanggapinya dengan tertawa sambil mengacak rambutku. Iya, aku tau. Sudah terlalu jauh imajinasi yang aku lukis, semuanya sudah bukan yang seperti itu.
Kenyataannya, besok aku bermain hanya untuk diriku sendiri, untuk angkatanku, untuk ekskulku. Harusnya, ada dirimu. Harusnya. Kalau seandainya, masih ada "kita". Kalau, kalau, kalau, hahaha. Angan-angan menyebalkan.
Aku masih belum bisa benar-benar pergi. Maaf. Aku masih berusaha untuk mencari celah supaya bisa mendapat sedikit saja dari sinarmu. Kalau kau tidak mau membaginya, akan kucuri saat kau terlelap, tenggelam dalam mimpimu. Akan ku telusuri bayang-bayangmu yang aku rangkai dari sisa-sisa kepingan dirimu yang tertinggal. Tapi, kau bahagia. Kau tidak terlihat mempertimbangkan kembali tentang ini. Kau sudah bergerak menjauh, jauh dari jangkauanku.

Monday, November 12, 2012

Hai

Matahari, apa kabar? Aku kesulitan bernafas sejak kehilangan sinarmu. Bagaimana dirimu? Masihkah seterang dulu? Aku tidak tau, karena kau menolak untuk berbagi sinar denganku.
Aku mencoba bertahan dan memasang muka palsu, tapi kurasa sebentar lagi aku akan menanggalkan kepalsuan yang aku ciptakan. Aku terlalu lelah bersembunyi, aku terlalu lelah menganggap semuanya tidak jadi masalah. Aku sudah mencoba untuk tidak buru-buru menekan nomor teleponmu dan berbicara panjang lebar mengemukakan apa yang ada di kepalaku. Karena aku tau, pada akhirnya tidak ada yang keluar dari mulutku. Suaramu sudah mampu membungkamku. Terlalu banyak kata-kata yang berlalu lalang di kepalaku yang tidak seberapa ini.

And there's nothing left to say to change your mind, and if you're unhappy still I will be hanging on your line. Should you return...

Ternyata semua yang berawal pahit tidak selamanya akan berakhir manis. Kau dan aku terlalu banyak berkhayal.

Friday, November 9, 2012

Matahariku Padam Mulai Hari Ini

Medan-Jogjakarta tidak sejauh matahari dan bulan.
Kau-aku tidak sedekat buah dan pohon.
"Kita" telah terjabarkan.

Aku mencintaimu, semampuku. Akan kukikis pula secepat yang kubisa. Kurangkum khayalan dan kenangan yang pernah muncul dalam bingkai kecil. Akan kubiarkan dia berdebu digerogoti waktu.

Wednesday, November 7, 2012

Tidak Kali Ini

Aku anak teater sekolahan. Tampak jelas di lengan kiri kemeja seragam sekolahku. Apalagi, yang menjadi mimpi seorang anak teater selain bermain di panggung luas nan megah setelah tirai utama di buka, di bawah beberapa lampu sorot dalam sebuah pementasan tunggal?

Merasakan peningkatan ritme detak jantung selama detik-detik menjelang tirai dinaikkan, masuk sebagai karakter yang berbeda, dengan riasan tebal menempel di wajah, bertukar dialog dengan lawan main, ditutup dengan salam menggelegar yang menggemparkan seantreo gedung utama, berbaris sepanjang panggung dengan jemari saling terkait satu sama lain menunggu aba-aba. Sampai terdengar suara lantang, "SALAM TEATER, MULAI", dan pemain lainnya mengikuti dengan suara yang tak kalah lantangnya seraya mengangkat tangan bersama "AKU KAMI KITA SATU TEMUGA", diikuti dengan riuh tepuk tangan yang memecah gedung, dan senyum bangga mengembang di wajah orangtuaku yang ada diantara barisan kursi penonton, ada bekal yang bisa diceritakan mereka ke orang-orang, bercerita dengan perasaan yang menggebu-gebu "Itu anakku. Anakku! Dia hebat di panggung. Aku Ibunya. Aku Ayahnya. Kami orangtuanya!". Kelegaan seketika menghampiri wajah-wajah lelah di atas panggung.

Baiklah, selamat berjuang saudara! Gemparkan Taman Budaya. Nikmati lampu sorot yang membakar kulit kalian, curi fokus mereka. Semangat Komburita!

Monday, November 5, 2012

Tawa yang Hilang

"Awannya mirip pegasus!" seruku lantang menunjuk langit.
"Mana? Itu harimau." bantah laki-laki yang duduk di balik kemudi.
"Ah iya, bukan. Itu kura-kura."
"Semut!"
"Amuba!" sanggahku tidak mau kalah, yang mau tidak mau menyebabkan keheningan sejenak.
"Amuba nggak ada bentuknya."
"Kan sama kayak awan, gak jelas bentuknya. Jadi, awan itu amuba." jelasku sok tau.
"Iya deh iya." perdebatanpun diakhiri dengan tawa yang sudah lama hilang dari wajahku. Tidak bisa kupungkiri aku merindukan bahagiaku sendiri. Bahagia yang seharusnya aku ciptakan, bukan aku tunggu. Terkadang, memang lelucon seperti inilah yang aku butuhkan. Perbincangan sederhana yang diakhiri dengan gelak tawa.

Siapa sangka untuk tertawa saja kita hanya perlu ikhlas. Tidak perlu pusing-pusing mencari alasan untuk tertawa. Toh, kita bisa menertawakan diri kita sendiri. Tertawa itu bagian dari penyembuhan. Jangan rutuki waktu, dia tidak bersalah, memang sudah tugasnya untuk tetap berputar. Kalau pun memang sakit, nikmati saja. Itu adalah proses.

Selamat bahagia!
Love,
T

Sunday, November 4, 2012