Pages

Monday, March 17, 2014

Sebuah Cerita dari Balik Dinding

Menyenangkan rasanya ternggelam dalam rengkuhan yang kuciptakan sendiri. Menjalari hangat yang menyelinap di antara sergapan dinginnya tembok di sekelilingku. Butir-butir rasa nyaman yang kupungut satu per satu di jalan yang mulai terlupakan. Entah aku yang terlalu sensitif atau memang aku yang selalu di belakang.

Aku merasa terlampau monoton, terlampau konsisten dalam arti yang tidak menyenangkan, aku nyaris bisa menebak kemana angin akan membawa kisah yang kuhadapi. Aku tidak menyalahi apa-apa, atau siapa-siapa. Aku hanya...mungkin aku hanya lelah. Sangking lelahnya, aku buta arah, tak lagi tahu kemana harus berlari, tak lagi tahu kemana harus pulang.
Dalam beberapa malam, aku membutuhkan teman untuk bercerita. Tak hanya mendengarkan dalam diam seperti dinding-dinding dingin ini, melainkan turut merutuki pilihanku yang acap kali salah. Mungkin aku akan terdengar seperti gadis egois agresif yang kurang bersyukur kalau kukatakan, aku merindukan saat-saat aku merupakan potongan penting dalam hidup seseorang, saat pendapatku merupakan perhitungan yang berharga, saat eksistensiku tak sekedar menjadi benalu pengganggu.

Aku mungkin akan lebih memilih bercengkrama dengan makhluk fiksi dari buku-buku yang aku kumpulkan, ketimbang harus menjelaskan pada orang-orang tentang apa yang kurasakan, apa yang kuhadapi, apa yang kutakutkan. Aku bukannya menolak dunia luar, hanya saja terkadang dunia rekaan itu terasa lebih realistis. Terlebih lagi aku merasa hidup dalam sisi lain dari kenormalan. Aku berbicara dalam cara yang tak banyak orang mengerti. Aku mengisi hari dalam cara yang tak banyak dipilih orang sebagai cara menikmati hidup. Mungkin itu pula yang membuat satu per satu dari mereka yang mengenalku enggan masuk lebih jauh untuk sekedar melihat-lihat seperti apa diri yang kubangun jauh di dalam sana. Mereka cenderung kembali setelah melihat betapa "kosong"nya bangunanku, dan memilih untuk melihat dunia yang lebih nyata menurut mereka. Bukannya keadaanku tidak nyata, keadaanku nyata, hanya saja lebih sunyi.

Aku masih seperti remaja pada umumnya, aku bersosialisasi, aku memiliki teman, aku jatuh hati walaupun aku ragu aku pernah dijatuhi hati. Beberapa datang, menciptakan keadaan nyaman yang membuatku terbiasa, lalu kembali pergi meninggalkanku yang telah terbiasa dan harus menata ulang semua dari awal, lagi dan lagi.

Satu hal, aku tak pernah menyalahi dinding-dinding dingin ini.

Saat malam bertambah malam, namun pagi tak kunjung menyapa,
Buntalan makhluk hidup dalam tubuh seorang gadis

No comments:

Post a Comment