Pages

Sunday, June 9, 2013

Perjalanan 54

Beberapa waktu lalu, saya memutuskan untuk pulang sendiri. Tidak mencoba untuk menghubungi orang rumah dua kali hanya untuk menjemput saya di depan jalan. Saya rasa, saya bisa memulai untuk tidak merepotkan orang lain dengan pulang sendiri.

Satu-satunya angkutan umum yang bisa mencapai daerah rumah saya dengan jarak terdekat hanya angkutan dengan nomor 54, dengan pintu masuk dari belakang, angkutan yang sudah tergolong jadul dan tinggal menunggu rubuhnya saja. Itu pun, saya masih harus berjalan kaki selama kurang lebih 10 menit untuk sampai ke rumah. Saya jadi memiliki waktu untuk berenang dalam pikiran saya yang berjelimet.

Hari itu, saat angkutan umum yang saya tumpangi sedang berhenti, atau istilah jalanannya "ngetem", seorang nenek naik, saya yang saat itu duduk di deret kanan dekat pintu masuk, bergeser ke kanan, mempermudah si nenek untuk duduk. Beliau sendirian. Tapi, tidak terlihat kesepian, beliau sesekali bergurau dengan saya, bercerita tentang pasar hari itu. Senyumnya tulus, saya terhenyak. Saat angkutan yang saya tumpangi mulai berjalan, sesekali saya mencuri pandang ke nenek di sebelah saya. Mungkin usianya sudah 70 tahun atau mungkin lebih. Tapi, senyumnya tidak pudar seiring fisiknya. Tangannya terlihat tua, kulitnya keriput, tapi masih terasa kokoh saat menyentuh tangan saya. Tak lama, beliau turun.

Selang beberapa meter, kembali naik penumpang. Kali ini kakek yang naik, sendirian. Beliau tidak jauh berbeda dengan nenek yang saya temui sebelumnya. Beliau memiliki senyum yang tidak pupus termakan usia. Beliau masih kuat untuk berjalan sendirian. Mungkin karena beliau laki-laki.

Saya sempat berpikir, apakah saya akan melewati masa senja saya sendirian seperti kedua orang tua yang saya temui kemarin? Atau apakah Ayah atau Ibu saya akan berjalan sendirian seperti mereka? Apakah nanti saya akan menemukan Ibu saya naik angkutan umum tanpa ada anak-anak atau cucunya? Apakah nanti saya akan menemukan Ayah saya kebingungan di pinggir jalan karena jalanan ramai sedangkan beliau tak lagi lincah? Apakah orang-orang yang berbicara dengan Ibu saya akan menaikkan alis dan menghela nafas saat Ibu saya tidak lagi memiliki daya dengar yang baik?

Apakah saya masih bisa berada di samping mereka untuk setidaknya membimbing mereka menyeberangi jalan seperti yang mereka lakukan saat saya masih kecil? Apakah saya bisa membuat senyum mereka terselip di antara guratan kehidupan di wajah mereka? Apakah saya sudah mampu melunasi setidaknya separuh dari seluruh yang mereka berikan kepada saya? Apakah saya masih bisa berbaring di antara kedua orang tua saya walaupun rambut mereka tak lagi hitam legam?

Saya hanya ingin mencintai mereka sampai waktu yang tak terjamah. Saya sadar, semenjak saya duduk di bangku SMA, waktu saya lebih banyak di luar, dibanding di rumah. Bahkan di rumah pun, saya lebih memilih di kamar. Seperti sekarang ini, saya merasa apa yang saya berikan belum pantas untuk dikata cukup membahagiakan mereka. Saya yang tadinya ingin melukis garis tawa di sekitar bibir mereka, malah menambah garis lekuk di kening mereka. Saya hanya ingin mereka tau, sekalipun saya memikirkan orang lain, mereka adalah orang yang paling berpengaruh dalam hidup saya.

Medan, dalam satu atap kokoh,
Salam,
Anak terakhir kalian, Ma, Pa,
Yas

No comments:

Post a Comment