Pages

Saturday, June 15, 2013

Saya Butuh Mental

Assalamualaikum. Hai, selamat malam.

Kalian pernah merasa suatu masalah terasa amat kompleks di dalam otak kalian, padahal itu hanya masalah kecil yang tidak penting? Saya pernah. Saya memiliki masalah dalam memproyeksikan satu hal sepele menjadi hal yang terasa sangat berat di kepala saya. Sebuah pemikiran yang membunuh saya setiap malam, membuat saya kehabisan nafas karena sesenggukan. Saya tenggelam selama satu minggu belakangan tanpa saya tau kenapa saya bisa tenggelam.

Tapi, saya hampir tidak pernah merasa sesesak tadi, selemas tadi, bahkan sampai tidak saya rasakan lagi kekuatan di lutut saya. Saya meledak di hadapan orang. Padahal saya sudah meyakinkan diri saya sendiri kalau saya tidak boleh sefrontal itu. Saya ingin bicara, tapi seketika saya lupa bagaimana caranya berkomunikasi. Saya bahkan tidak membuka mata saya sekedar untuk melihat siapa yang berdiri di depan saya. Yang saya tau, saya telah kalah dengan monster di kepala saya. Mereka berhasil menguasai saya dengan segala asumsi negatif yang mereka cecoki setiap malam.
Berulang kali saya mencoba untuk bicara, tapi kemudian saya lebih memilih diam. Karena saya tau, mereka tidak mungkin mengerti. Jangankan mereka, saya sendiri tidak pernah mengerti dan saya menolak untuk itu. Semakin saya mengerti, semakin besar pula rasa benci terhadap diri saya sendiri. Saya tau saya tidak sendiri. Rasanya terlalu muna kalau saya katakan saya tidak punya siapa-siapa untuk berlari. Saya punya, hanya saja saya yang terlalu payah untuk melisankan sesuatu. Kalau saya mengatakan apa yang saya rasakan, saya takut hanya kerutan di kening yang akan saya dapati. Saya pun tidak pernah menang melawan emosi. Sebisa mungkin saya mencoba untuk tidak terlihat cengeng di muka umum, tapi saya selalu berakhir seperti ini. Seolah-olah saya tidak cocok dengan image wanita tegar.

Bulan depan, saya akan menghadapi hal yang besar. Hal yang membutuhkan mental baja, sedangkan saya tidak punya. Sekalipun saya sudah pernah dikukuhkan, dan menghadapi ratusan mata, bukan berarti saya sudah kebal. Bulan depan membutuhkan kerja tim yang hebat, sedangkan saya sering berpikir, malangnya sebuah tim apabila saya ikut ambil andil di dalamnya. Sepertinya saya belum siap untuk hal sebesar ini.

Kalau berbicara tentang mental, siapa pun setuju kalau mental saya lebih cetek daripada anak TK. Entah apa yang salah dengan otak saya, saya berharap orang-orang mendengar apa yang saya pikirkan tanpa harus menilai saya yang gimana-gimana. Saya memiliki alasan memilih untuk duduk di belakang. Saya takut mereka akhirnya mengenal saya, lalu mereka pergi dan saya akan seperti orang linglung membenahi diri saya. Walaupun begitu, saya tetap berterima kasih karena masih ada segelintir orang yang bertahan di sekitar saya. Mendengar dan melihat saya jatuh bangun. Untuk orang-orang yang masih mau duduk atau pun berjalan di sebelah saya, sekalipun saya menolak untuk berbicara. Apapun penilaian mereka terhadap saya, saya tetap bersyukur untuk itu.

Saya tidak berharap dengan posting-an kali ini kalian akan mengerti. Saya tidak berusaha menjelaskan kenapa saya bisa sehisteris tadi. Saya tidak berusaha memamerkan kelemahan saya ataupun kekalutan saya. Saya juga tidak berusaha terlihat menyedihkan, karena tanpa ini pun, semua orang sepertinya sudah bisa melihat. Saya hanya bercerita kalau memang bisa dikatakan begitu. Karena hanya dengan tulisan saya bisa menggambar.

Salam,
T.

No comments:

Post a Comment