Pages

Sunday, June 8, 2014

Penghujung Abu-Abu (I)

Assalamualaikum.

Baru bulan lalu saya resmi dinyatakan lulus sekolah menengah atas, menanggalkan seragam sekolah saya untuk seterusnya. Jadilah saya bukan siswa, belum pula mahasiswa walaupun saya sudah tahu di mana saya akan melanjutkan pendidikan saya. Saya ingin bercerita bagaimana tiga tahun saya tumbuh dalam warna abu-abu.

Mungkin waktu itu bulan Juni atau Juli 2 tahun lalu, saya lupa, rok seragam saya abu-abu alih-alih biru. Bukan lagi seragam pendek, melainkan panjang. Saya masuk dengan pemikiran masa orientasi yang akan saya hadapi waktu itu adalah salah satu dari pembodohan yang akan saya temui. Saya bukannya menentang masa orientasi, saya hanya kesal dengan ulah kakak kelas saya yang terkesan mencari-cari alasan untuk marah-marah selama masa orientasi tersebut. Saya dulu saya termasuk orang yang sewot terhadap senioritas yang berlebihan, bahkan mungkin sampai saat ini saya merasa begitu. Kalau boleh jujur dan tidak bermaksud berburuk sangka, saya selalu merasa beberapa kakak kelas saya ingin membuat juniornya merasakan apa yang dulu mereka rasakan saat ada di posisi kami saat itu. Saya tidak pernah pulang dengan hati yang berbunga-bunga selama 3 hari itu. Selalu ada umpatan yang saya sumbangkan setiap sore untuk tingkah mereka. Tapi, tidak semua kakak kelas seperti itu. Selalu ada kakak kelas yang lebih menghargai juniornya tanpa membuatnya dilupakan sebagai senior. Saya senang dengan orang-orang yang tahu kapan harus memasang sikap sebagai senior dan kapan tidak. Karena percayalah, kalian akan lebih senang jika disegani daripada ditakuti.

Berakhirnya masa orientasi, ternyata tidak mengakhiri kesewotan saya. Saya sendiri sampai heran, apa saya yang terlalu sensitif atau memang semua yang saya temui saat itu terlalu berlebihan. Saya tidak terlalu ingat bagaimana tahun pertama saya sebagai siswa SMA. Saya duduk di kelas X-2, saya ikut ekstrakulikuler Teater Temuga yang juga ada masa orientasi tersendirinya yang membuat saya makin sewot. Pertama kali diumumkan saya masuk ke kelas itu, saya langsung heboh celingukan berusaha menemukan orang yang saya kenal. Beruntung, ada beberapa orang dari SMP saya dulu, dan di antara yang banyak itu hanya 2 orang yang benar-benar dekat, Alfi dan Auzan, sedangkan yang lainnya seperti teman pada umumnya. Di sini saya pertama kali berkenalan dengan manusia bertubuh padat berkacamata, Hilda. Kebetulan kami mendaftar di ekskul yang sama.

Teater Temuga adalah ekskul kesenian yang berdiri 15 tahun lalu di bidang seni peran dan seni musik. Awalnya saya punya pilihan yang lain; ada Paskibra, English Club, Jurnalis, bahkan Pramuka, namun manusia berkulit hitam yang pernah saya ceritakan 22 Maret tahun lalu berhasil menghasut saya untuk memilih Temuga sebagai ekskul. Saya setuju karena bajunya yang bagus. Tahukah kalian? Ternyata saya bukan satu-satunya orang yang terhasut, banyak lagi teman SMP saya yang ikut terlena akan hasutan bocah satu itu. Sekarang saya bersyukur, pilihan saya tidak salah.

Beruntungnya saya, tahun pertama SMA bisa saya lewati tanpa kurang apapun.

***

No comments:

Post a Comment