Monday, October 29, 2012
Masih Amat Sangat Merindukanmu
Aku teringat sepasang kornea yang membuat rasa hangat menjalari kapilerku, melumpuhkan persendianku, membuatku tak berkutik, hanyut dalam tatapan yang membuatku mengangguk yakin bahwa aku mencintaimu. Sepasang berlian itu milikmu, sepasang mata yang membakar pipiku, meninggalkan rona hangat bahkan sampai kurebahkan tubuhku, bahkan sampai puluhan hari telah terkoyak dari kalender. Perasaanku masih sama. Bahkan sampai kata-kata ini kurangkai, ada rasa yang menggelitik di darahku. Aku terlalu merindukanmu. Tatapanmu sudah menjadi candu bagiku. Bagaimana caranya aku mendapatkan tatapanmu lagi? Baiklah, tunggu aku di sana 2 tahun lagi.
Sunday, October 28, 2012
Ternyata Medan-Jogja tidak sejauh yang kita bayangkan. Dan, ternyata kita tidak sedekat yang kita kira. Jarak itu relatif, tergantung dari mana kita melihatnya. Siapa sangka yang kita anggap dekat adalah yang berjarak lebih jauh. Ah, jauh ataupun dekat pasti akan tetap mencapai akhir.
Prepare for the worst, get ready for something better.
Prepare for the worst, get ready for something better.
Saturday, October 27, 2012
Semakin lama kita menghabiskan waktu bersama orang yang kita cintai, semakin sedikit kita merasa mengenalnya.—In the end, even your loved ones are strangers. - (Hanny Kusumawati)
Setiap pilihan punya konsekuensi yang harus ditanggung. Dan kita, kita sudah bukan anak-anak lagi. - (Hanny Kusumawati)
Tidak ada rasa yang lebih menyakitkan daripada ditinggal pergi tanpa kabar, tanpa tahu apa salahku. Rasa dicampakkan lebih mengiris daripada kehilangan itu sendiri. - (Ainun Chomsun)
Biarlah hidup berjalan mengikuti irama matahari, mengalir bersama takdir. Mungkin di salah satu tikungan kita akan bertemu lagi. - (Ainun Chomsun)
Dalam kesedihan dan kearifannya, waktu adalah teman yang baik. - (Ndoro Kakung)
Boleh saja kau mengutuk semua kenangan sebagai kesalahan. Tapi, hendaknya kau jangan sampai lupa bahwa kita memang harus terus mencari bagaimana sebaiknya menjadi benar. - (Ndoro Kakung)
Setiap pilihan punya konsekuensi yang harus ditanggung. Dan kita, kita sudah bukan anak-anak lagi. - (Hanny Kusumawati)
Tidak ada rasa yang lebih menyakitkan daripada ditinggal pergi tanpa kabar, tanpa tahu apa salahku. Rasa dicampakkan lebih mengiris daripada kehilangan itu sendiri. - (Ainun Chomsun)
Biarlah hidup berjalan mengikuti irama matahari, mengalir bersama takdir. Mungkin di salah satu tikungan kita akan bertemu lagi. - (Ainun Chomsun)
Dalam kesedihan dan kearifannya, waktu adalah teman yang baik. - (Ndoro Kakung)
Boleh saja kau mengutuk semua kenangan sebagai kesalahan. Tapi, hendaknya kau jangan sampai lupa bahwa kita memang harus terus mencari bagaimana sebaiknya menjadi benar. - (Ndoro Kakung)
Gadis di Balik Cermin (2)
Dia masih bungkam. Menyibukkan diri dengan kata-kata yang terangkai dalam benaknya, yang masih belum mampu dia ungkapkan. Entah apa yang dia tunggu, entah apa yang dia nantikan. Waktu semakin menekannya, dia tetap bergeming. Nafasnya mulai terlihat teratur, namun pandangannya masih sesekali menerawang ke bulan-bulan yang telah lalu. Dia masih menimbang-nimbang langkah kecil yang harus diambilnya.
Dia menyesap oksigen dengan seksama sekali lagi. Memadati paru-parunya yang semakin sesak. Terlalu lelah percaya untuk kemudian kembali dikecewakan. Dia tetap berpegang pada harapan yang tidak pernah ada, harapan yang diciptakannya sendiri, harapan yang ia karang keberadaannya.
Dalam pikirannya, ada suara lirih berbisik padanya, "suatu hari nanti, kau akan mendapati dirimu menertawakan kondisimu yang seperti ini, kau akan tetap merindukannya". Dia tau, dia harus tetap berjalan, bernafas, dia harus tetap hidup untuk bisa tertawa. Tapi, dia bersedia menunggu lebih lama lagi. Bersabar sedikit lagi.
Dia menyesap oksigen dengan seksama sekali lagi. Memadati paru-parunya yang semakin sesak. Terlalu lelah percaya untuk kemudian kembali dikecewakan. Dia tetap berpegang pada harapan yang tidak pernah ada, harapan yang diciptakannya sendiri, harapan yang ia karang keberadaannya.
Dalam pikirannya, ada suara lirih berbisik padanya, "suatu hari nanti, kau akan mendapati dirimu menertawakan kondisimu yang seperti ini, kau akan tetap merindukannya". Dia tau, dia harus tetap berjalan, bernafas, dia harus tetap hidup untuk bisa tertawa. Tapi, dia bersedia menunggu lebih lama lagi. Bersabar sedikit lagi.
Wednesday, October 24, 2012
Matahari bukan untukku Sendiri
Kenyataan menamparku dengan geram sekali lagi. Ada hal kecil yang terlewat dari pandanganku selama ini. Matahariku bukan milikku sendiri. Aku sadar, dia bersinar dengan teramat sangat mempesona dan memukau, memikat setiap orang yang ada di dekatnya. Masalahnya, selama ini aku menganggap bahwa akulah alasan dia bersinar seluar biasa itu, akulah satu-satunya jiwa yang membutuhkan sinarnya. Terlambat kusadari kalau aku hanyalah segelintir orang yang mengagumi bahkan mencintainya. Aku terlalu egois kalau beranggapan dia hanya milikku.
Kini, matahariku menolak untuk bersinar. Dia redup, tapi tidak terlihat redup. Jelas saja, sumber energiku menghilang, jantungku kesulitan memompa darah ke otak dan organ lainnya, aku kesulitan bernafas. Tapi, aku tau, tidak ada yang bisa kulakukan untuk menahannya tetap bersinar, tetap hangat.
Kini, matahariku menolak untuk bersinar. Dia redup, tapi tidak terlihat redup. Jelas saja, sumber energiku menghilang, jantungku kesulitan memompa darah ke otak dan organ lainnya, aku kesulitan bernafas. Tapi, aku tau, tidak ada yang bisa kulakukan untuk menahannya tetap bersinar, tetap hangat.
Friday, October 19, 2012
Berbahagialah kalau memang itu yang kau mau. Lepaslah kalau memang itu yang membuatmu tenang. Jangan bertahan kalau memang tidak dari hatimu. Jangan diam kalau kau memang mau berteriak. Aku siap mendengarkan. Beteriaklah di mukaku. Akan kunikmati sayatan dari alunan kata yang kau lontarkan. Sampai sekarang, aku tidak pernah rela kalau harus membiarkanmu pergi. Aku terlalu pemikir untuk berteriak dan menumpahkan emosiku. Aku terlalu lelah menangis. Belajarlah dari kesalahan, sadarlah.
Wednesday, October 17, 2012
Gadis di Balik Cermin
Gadis di balik cermin itu tersenyum, tampak air mata telah kering di sudut korneanya. Matanya sayu, sembab, menyiratkan ia terlalu lelah menangis, tidak kuasa lagi untuk sekedar membiarkan air mata berlari riang di pipinya. Pandangannya menerawang, jauh mengintip dirinya yang dulu. Tak jarang rasa iri menggelitik batinnya. Dia iri pada dirinya sendiri. Pundaknya turun, seakan bebannya terasa nyata di bahunya. Nafasnya berat, sesekali dia berusaha menyesap oksigen dengan seluruh jiwanya, namun tak juga mampu menenangkan hatinya.
Dia diam, namun jutaan pertanyaan menggaung di kepalanya. Dia mencoba ikhlas, menerima segala keputusan yang harus menamparnya sekali lagi. Dia tetap tersenyum, berusaha untuk tetap berdiri di atas kakinya sendiri. Dia tertawa, mencoba terlihat bahagia dengan menertawakan air matanya yang tumpah. Dia menengadah ke angkasa, menunggu hujan bersedia meluruhkan sakitnya, menghapuskan tangisnya, menghanyutkan lelahnya. Dia di sana, menunggu sang waktu berbaik hati membuktikan padanya bahwa dia memang pantas bahagia.
Dia terlalu lelah menanggung rindu yang harus ditelannya sendiri. Dia terlalu mencintai lelaki di seberang Selat Sunda sana. Tapi, dia bersedia menunggu. Dia menunggu, tetap menunggu, memperhatikan detik yang seakan melambat saat dia memintanya bergerak lebih cepat. Terlukis jelas di matanya kelelahan hatinya. Tampak sesekali dia menelan ludah, peluh kegelisahan membasahi pelipisnya. Banyak yang ingin dia sampaikan, tapi tak juga dia temukan kosa kata yang tepat. Dia memilih untuk tetap diam. Membiarkan semuanya terjadi atas kehendak yang Maha Kuasa. Dia lebih memilih menikmati rasa sakit yang didapatnya. Dia lebih memilih tertawa demi mencegah air matanya terjun bebas di lekukan wajahnya.
Dia menarik nafas sedalam mungkin untuk yang kesekian kalinya. Rasa sesak yang mengikat paru-parunya tak kunjung hilang. Dia mencoba terlihat baik-baik saja, tapi dia lupa bagaimana cara bahagia. Dia lupa bagaimana caranya kembali ke dirinya yang dulu. Dia lupa bagaimana rasa nyaman yang menghangatkan mimpinya. Dia sudah terlalu jauh dan buta. Pikirannya sudah terlalu kompleks untuk gadis seumurannya, yang mestinya tertawa lepas menikmati hidup. Dia hanya ingin dibutuhkan, walaupun hanya diingat sedetik, itu terasa amat cukup baginya.
Kenalkan, dia itu aku. Aku mencintaimu.
Dia diam, namun jutaan pertanyaan menggaung di kepalanya. Dia mencoba ikhlas, menerima segala keputusan yang harus menamparnya sekali lagi. Dia tetap tersenyum, berusaha untuk tetap berdiri di atas kakinya sendiri. Dia tertawa, mencoba terlihat bahagia dengan menertawakan air matanya yang tumpah. Dia menengadah ke angkasa, menunggu hujan bersedia meluruhkan sakitnya, menghapuskan tangisnya, menghanyutkan lelahnya. Dia di sana, menunggu sang waktu berbaik hati membuktikan padanya bahwa dia memang pantas bahagia.
Dia terlalu lelah menanggung rindu yang harus ditelannya sendiri. Dia terlalu mencintai lelaki di seberang Selat Sunda sana. Tapi, dia bersedia menunggu. Dia menunggu, tetap menunggu, memperhatikan detik yang seakan melambat saat dia memintanya bergerak lebih cepat. Terlukis jelas di matanya kelelahan hatinya. Tampak sesekali dia menelan ludah, peluh kegelisahan membasahi pelipisnya. Banyak yang ingin dia sampaikan, tapi tak juga dia temukan kosa kata yang tepat. Dia memilih untuk tetap diam. Membiarkan semuanya terjadi atas kehendak yang Maha Kuasa. Dia lebih memilih menikmati rasa sakit yang didapatnya. Dia lebih memilih tertawa demi mencegah air matanya terjun bebas di lekukan wajahnya.
Dia menarik nafas sedalam mungkin untuk yang kesekian kalinya. Rasa sesak yang mengikat paru-parunya tak kunjung hilang. Dia mencoba terlihat baik-baik saja, tapi dia lupa bagaimana cara bahagia. Dia lupa bagaimana caranya kembali ke dirinya yang dulu. Dia lupa bagaimana rasa nyaman yang menghangatkan mimpinya. Dia sudah terlalu jauh dan buta. Pikirannya sudah terlalu kompleks untuk gadis seumurannya, yang mestinya tertawa lepas menikmati hidup. Dia hanya ingin dibutuhkan, walaupun hanya diingat sedetik, itu terasa amat cukup baginya.
Kenalkan, dia itu aku. Aku mencintaimu.
Monday, October 15, 2012
Surat Ini Masih Untukmu
Sayang,
aku tau, amat tau, perjalanan kita masih sangat panjang. Terlalu dini bagi kita
untuk menentukan siapa yang terbaik. Akan selalu ada sosok yang datang silih
berganti baik di ruang hatimu maupun di hatiku. Semua kisah yang memiliki awal
akan selalu memiliki waktunya untuk mencapai akhir. Imajinasi yang acap kali
muncul akibat asupan cerita romantis menyesatkan membuatku berharap lebih.
Padahal, aku hidup dalam realita. Aku bersamamu yang berbeda dengan tokoh-tokoh
fiktif buah pikir manusia. Kau dan aku yang hidup beralaskan bumi yang sama,
dalam naungan langit yang sama, serta menghirup oksigen yang sama, tapi jelas
dengan pola pikir dan cara pandang serta takdir yang berbeda. Kita yang berbagi
panggung dengan ratusan juta jiwa manusia lainnya. Kita berbagi skenario dengan
manusia lainnya. Kita yang memutuskan untuk bersama sejak Mei lalu.
Sayang,
kalaupun kisah kita tidak mencapai akhir bahagia, setidaknya kita telah belajar
untuk tidak menyerah pada jarak, untuk tidak tunduk oleh rindu, dan tidak mati
karena waktu. Masing-masing dari kita menuntun diri kita sendiri ke seseorang
yang akan mengajarkan kita lebih dari ini. Membuka mata kita lebih dari yang
kau dan aku lakukan. Sebagai seorang perempuan, aku memang sering mengkhayalkan
kisah yang terlalu jauh untuk aku halusinasikan sekarang, aku selalu berharap
kalau yang terbaik bagimu adalah aku. Kalaupun kelak bukanlah dirimu yang
akhirnya duduk bersamaku, aku bahagia menjadi milikmu sekarang, ijinkan aku
memeluk hatimu lebih lama lagi, biarkan aku merangkai lebih banyak kata
untukmu. Aku tidak ingin setiap dari kita mengenang satu sama lain bukan
sebagai pelajaran melainkan kesalahan. Tidak ada yang salah, tidak aku, tidak
juga dirimu. Aku ingin, kalau aku memang harus mengenangmu, yang tersirat di
wajahku adalah rasa syukur karena aku telah diijinkan untuk mengenalmu, untuk
memiliki hatimu, untuk menjadi milikmu. Rasa syukur karena kaulah yang
membawaku pada diriku kelak, kaulah yang mengubah pandanganku terhadap sesuatu.
Aku juga berharap kau melakukan yang sama. Mengenangku tanpa umpatan, tanpa
penyesalan, tetapi rasa syukur yang menghangatkan dirimu. Saat ini, aku
menyayangimu dengan hati, jiwa, dan pikiranku, dengan kesadaran yang aku
kuasai.
Sayang,
sering kali dari ribuan kata yang mengalun, tak satupun dari mereka yang mampu
mendeskripsikan hati dengan spesifik. Kita terlalu sering memilih abjad bisu
untuk menjelaskan semuanya ketimbang hati. Karena, apa yang perlu diuraikan itu
adalah sesuatu yang dirasakan, bukan diucapkan secara singkat. Kerinduan yang
sering menghantam tanpa pernah sanggup aku jabarkan keberadaannya, membawa kesadaranku jauh kedalam dunia tidurku, dunia di mana
aku bisa merengkuhmu tanpa harus memikirkan yang lain, dunia di mana dirimu
terasa amat dekat, dunia di mana jarak itu hancur tanpa sisa. Kerinduan yang
bahkan aku tidak tau bagaimana rasa yang sesungguhnya, gejolak yang terus
memainkan ritme detak jantungku, menyulitkanku untuk sekedar menghirup udara
kotor.
Kita
memang tidak bisa menentukan dengan siapa, di mana, dan bagaimana kita kelak,
tapi setidaknya kau dan aku menciptakan “kita” sebagai bekal yang bisa kita
bawa. Sebagai album yang kelak akan kita buka dengan segala kerinduan yang
membabi buta. Sebagai kenangan yang kita jadikan pelajaran. Aku bahagia dengan
kita.
Friday, October 5, 2012
Masih Cerita Tentangmu
Jum'at sore, rutinitas seperti biasanya, ekstrakulikuler.
Langit sudah menghitam dan adzan Magrib sudah dilantunkan saat aku menapaki jalan menuju yang kusebut dengan rumah. Jaraknya lumayan, 15 menit berjalan kaki. Sama sekali tidak ada angin yang berhembus, melainkan kilat yang saling menyambar di langit. Aku berjalan diiringi nyanyian serangga-serangga malam yang merapalkan doa supaya hujan lekas turun, serasa layaknya resepsi. Bedanya, aku berjalan, bukan berdiri diam di hamparan karpet merah bertabur kelopak bunga di depan kursi pelaminan, dan tidak ada laki-laki yang berjalan menghampiri.
Aku sengaja memperlambat langkahku, dengan harapan aku bisa berdampingan dengan rintik hujan, supaya semua sisa-sisa air mata yang tertempel luntur tanpa sisa. Tapi, di luar perkiraan, hujan bahkan belum tumpah sampai detik ini aku berbaring di bawah bulan dan bintang yang akan bercahaya kalau gelap yang ditempel di langit-langit kamarku, dan menuangkan segala kata-kata yang sudah kurangkai sejak aku turun dari angkutan umum yang aku tumpangi.
Hari ini terasa lebih berat dari hari kemarin. Kepala yang sakitnya kian menjadi memperburuk keadaan. Aku bahkan tidak tau apa yang harus kuutamakan terlebih dulu. Aku terlalu buta karena merindukanmu.
Entah sudah berapa kali aku mengulang-ulang cerita yang sama. Masih dengan masalah yang sama, dan dengan ending yang masih juga belum kelihatan jelas. Aku masih sangat merindukanmu. Entah sudah berapa protes yang aku tumpahkan kepadamu, tapi tak kunjung mendapat respon darimu. Aku tidak tau apakah hatimu sudah berubah atau memang kau masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Yang jelas, aku sangat kehilangan dirimu yang dulu. Dirimu yang meyakinkanku supaya tetap pada tempatku, tetap menunggumu. Aku hanya merindukanmu. Apa aku salah? Aku hanya memintamu mengerti di tengah kesibukanmu. Mengertilah.
Langit sudah menghitam dan adzan Magrib sudah dilantunkan saat aku menapaki jalan menuju yang kusebut dengan rumah. Jaraknya lumayan, 15 menit berjalan kaki. Sama sekali tidak ada angin yang berhembus, melainkan kilat yang saling menyambar di langit. Aku berjalan diiringi nyanyian serangga-serangga malam yang merapalkan doa supaya hujan lekas turun, serasa layaknya resepsi. Bedanya, aku berjalan, bukan berdiri diam di hamparan karpet merah bertabur kelopak bunga di depan kursi pelaminan, dan tidak ada laki-laki yang berjalan menghampiri.
Aku sengaja memperlambat langkahku, dengan harapan aku bisa berdampingan dengan rintik hujan, supaya semua sisa-sisa air mata yang tertempel luntur tanpa sisa. Tapi, di luar perkiraan, hujan bahkan belum tumpah sampai detik ini aku berbaring di bawah bulan dan bintang yang akan bercahaya kalau gelap yang ditempel di langit-langit kamarku, dan menuangkan segala kata-kata yang sudah kurangkai sejak aku turun dari angkutan umum yang aku tumpangi.
Hari ini terasa lebih berat dari hari kemarin. Kepala yang sakitnya kian menjadi memperburuk keadaan. Aku bahkan tidak tau apa yang harus kuutamakan terlebih dulu. Aku terlalu buta karena merindukanmu.
Entah sudah berapa kali aku mengulang-ulang cerita yang sama. Masih dengan masalah yang sama, dan dengan ending yang masih juga belum kelihatan jelas. Aku masih sangat merindukanmu. Entah sudah berapa protes yang aku tumpahkan kepadamu, tapi tak kunjung mendapat respon darimu. Aku tidak tau apakah hatimu sudah berubah atau memang kau masih membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Yang jelas, aku sangat kehilangan dirimu yang dulu. Dirimu yang meyakinkanku supaya tetap pada tempatku, tetap menunggumu. Aku hanya merindukanmu. Apa aku salah? Aku hanya memintamu mengerti di tengah kesibukanmu. Mengertilah.
Thursday, October 4, 2012
Anggap Saja Aku Menegurmu
Iya, aku cemburu dengan semua teman perempuan yang bisa kau ajak berbicara bahkan berjumpa, tidak seperti aku yang hanya bisa menahan diri supaya tidak memeluk telepon genggamku saat membaca pesan yang kau kirimkan berbulan-bulan yang lalu.
Iya, aku sudah terlalu lelah menanggung rindu yang terus kau acuhkan, seolah-olah hanya aku yang merasa tersiksa karena jarak ini, seolah-olah hanya aku yang memiliki masalah ini.
Iya, aku memang selalu protes karena tanggapanmu sangat jauh berbeda dengan apa yang aku harapkan, berbeda dengan apa yang seharusnya kau lakukan kalau seandainya kau masih di sini.
Iya, aku mendiktemu secara tidak langsung dengan semua protes-protes, keluhan-keluhan yang aku berikan, dengan harapan kau bersedia meluangkan sedikit dari waktumu yang sangat berharga itu.
Iya, aku masih terlalu mencintaimu dengan seluruh hati dan pikiranku, apakah kau juga masih menjadi orang yang sama seperti dua bulan yang lalu? Saat semua berjalan sangat sempurna, seperti yang aku idam-idamkan.
Iya, apa yang aku rasakan masih sama seperti kali terakhir kita bertatap muka, dengan segala tekanan yang harus aku terima selama dua bulan terakhir ini, dengan segala sikapmu, dengan segala emosi yang harus terpaksa kutahan sebelum aku menyerah dan meneriakimu.
Iya, aku meragukan perasaanmu masih sama, meragukan kau masih orang yang sama yang aku cintai, karena dirimu sama sekali berbeda.
Iya, aku memang payah dalam hal bersabar, aku tidak tau bagaimana harus memasang sikap, karena biasanya aku memilikimu untuk menyabarkanku, untuk membuatku berpikir kembali tentang apa yang harus aku lakukan.
Iya, aku tidak bisa mengenyahkan pikiran negatif tentangmu di sana, tentangmu yang mungkin saja menemukan sosok yang lebih baik dariku dalam segala hal, yang bisa menemanimu di sana tanpa harus terganggu oleh jaringan telepon yang payah.
Iya, aku berharap kau bergegas meraih telepon genggammu, dan menanyakan apa yang terjadi, dengan tingkat kekhawatiran dari hatimu, tapi aku tau, harapan hanya akan menjadi harapan, sulit bagimu untuk merealisasikannya, bukan?
Iya, aku memang seperti anak kecil, tidak seperti kakak-kakak dengan pikiran dewasa mereka yang ada di sekelilingmu. Aku bukan mereka yang bisa dengan sabar menunggu. Aku bosan menunggu.
Iya, aku memang memuakkan. Aku pandai melebih-lebihkan masalah sepele, aku masih tidak bisa terima dengan perubahan yang terjadi, aku mengharapkan kau melakukan hal-hal yang tidak mungkin kau lakukan.
Aku sama sekali tidak menyalahkan jarak, aku tidak menyalahkanmu. Jujur saja, aku tidak tau siapa yang harus disalahkan. Mungkin aku yang salah, karena memang selalu seperti itu, bukan? Aku terlalu memusingkan hal-hal kecil yang seharusnya bisa kuhadapi dengan dewasa. Bahkan, seharusnya aku tidak seperti ini.
Aku memang selalu berdoa yang terbaik untukmu, tapi diam-diam aku berdoa supaya akulah yang terbaik untukmu. Aku kira, kita bisa melewatinya dengan mudah. Tapi, ternyata kenyataannya berbeda dengan yang kita harapkan, ditambah lagi pertahanan kita yang sangat buruk. Aku takut memikirkan kemungkinan yang bisa saja terlontar dari mulutmu. Kalau kau membaca ini, aku harap kau tau aku masih menyayangimu, aku mengharapkanmu. Aku membutuhkanmu. Aku masih bersedia menunggumu kembali.
Iya, aku sudah terlalu lelah menanggung rindu yang terus kau acuhkan, seolah-olah hanya aku yang merasa tersiksa karena jarak ini, seolah-olah hanya aku yang memiliki masalah ini.
Iya, aku memang selalu protes karena tanggapanmu sangat jauh berbeda dengan apa yang aku harapkan, berbeda dengan apa yang seharusnya kau lakukan kalau seandainya kau masih di sini.
Iya, aku mendiktemu secara tidak langsung dengan semua protes-protes, keluhan-keluhan yang aku berikan, dengan harapan kau bersedia meluangkan sedikit dari waktumu yang sangat berharga itu.
Iya, aku masih terlalu mencintaimu dengan seluruh hati dan pikiranku, apakah kau juga masih menjadi orang yang sama seperti dua bulan yang lalu? Saat semua berjalan sangat sempurna, seperti yang aku idam-idamkan.
Iya, apa yang aku rasakan masih sama seperti kali terakhir kita bertatap muka, dengan segala tekanan yang harus aku terima selama dua bulan terakhir ini, dengan segala sikapmu, dengan segala emosi yang harus terpaksa kutahan sebelum aku menyerah dan meneriakimu.
Iya, aku meragukan perasaanmu masih sama, meragukan kau masih orang yang sama yang aku cintai, karena dirimu sama sekali berbeda.
Iya, aku memang payah dalam hal bersabar, aku tidak tau bagaimana harus memasang sikap, karena biasanya aku memilikimu untuk menyabarkanku, untuk membuatku berpikir kembali tentang apa yang harus aku lakukan.
Iya, aku tidak bisa mengenyahkan pikiran negatif tentangmu di sana, tentangmu yang mungkin saja menemukan sosok yang lebih baik dariku dalam segala hal, yang bisa menemanimu di sana tanpa harus terganggu oleh jaringan telepon yang payah.
Iya, aku berharap kau bergegas meraih telepon genggammu, dan menanyakan apa yang terjadi, dengan tingkat kekhawatiran dari hatimu, tapi aku tau, harapan hanya akan menjadi harapan, sulit bagimu untuk merealisasikannya, bukan?
Iya, aku memang seperti anak kecil, tidak seperti kakak-kakak dengan pikiran dewasa mereka yang ada di sekelilingmu. Aku bukan mereka yang bisa dengan sabar menunggu. Aku bosan menunggu.
Iya, aku memang memuakkan. Aku pandai melebih-lebihkan masalah sepele, aku masih tidak bisa terima dengan perubahan yang terjadi, aku mengharapkan kau melakukan hal-hal yang tidak mungkin kau lakukan.
Aku sama sekali tidak menyalahkan jarak, aku tidak menyalahkanmu. Jujur saja, aku tidak tau siapa yang harus disalahkan. Mungkin aku yang salah, karena memang selalu seperti itu, bukan? Aku terlalu memusingkan hal-hal kecil yang seharusnya bisa kuhadapi dengan dewasa. Bahkan, seharusnya aku tidak seperti ini.
Aku memang selalu berdoa yang terbaik untukmu, tapi diam-diam aku berdoa supaya akulah yang terbaik untukmu. Aku kira, kita bisa melewatinya dengan mudah. Tapi, ternyata kenyataannya berbeda dengan yang kita harapkan, ditambah lagi pertahanan kita yang sangat buruk. Aku takut memikirkan kemungkinan yang bisa saja terlontar dari mulutmu. Kalau kau membaca ini, aku harap kau tau aku masih menyayangimu, aku mengharapkanmu. Aku membutuhkanmu. Aku masih bersedia menunggumu kembali.
Subscribe to:
Posts (Atom)