Pages

Thursday, October 4, 2012

Anggap Saja Aku Menegurmu

Iya, aku cemburu dengan semua teman perempuan yang bisa kau ajak berbicara bahkan berjumpa, tidak seperti aku yang hanya bisa menahan diri supaya tidak memeluk telepon genggamku saat membaca pesan yang kau kirimkan berbulan-bulan yang lalu.

Iya, aku sudah terlalu lelah menanggung rindu yang terus kau acuhkan, seolah-olah hanya aku yang merasa tersiksa karena jarak ini, seolah-olah hanya aku yang memiliki masalah ini.

Iya, aku memang selalu protes karena tanggapanmu sangat jauh berbeda dengan apa yang aku harapkan, berbeda dengan apa yang seharusnya kau lakukan kalau seandainya kau masih di sini.

Iya, aku mendiktemu secara tidak langsung dengan semua protes-protes, keluhan-keluhan yang aku berikan, dengan harapan kau bersedia meluangkan sedikit dari waktumu yang sangat berharga itu.

Iya, aku masih terlalu mencintaimu dengan seluruh hati dan pikiranku, apakah kau juga masih menjadi orang yang sama seperti dua bulan yang lalu? Saat semua berjalan sangat sempurna, seperti yang aku idam-idamkan.

Iya, apa yang aku rasakan masih sama seperti kali terakhir kita bertatap muka, dengan segala tekanan yang harus aku terima selama dua bulan terakhir ini, dengan segala sikapmu, dengan segala emosi yang harus terpaksa kutahan sebelum aku menyerah dan meneriakimu.

Iya, aku meragukan perasaanmu masih sama, meragukan kau masih orang yang sama yang aku cintai, karena dirimu sama sekali berbeda.

Iya, aku memang payah dalam hal bersabar, aku tidak tau bagaimana harus memasang sikap, karena biasanya aku memilikimu untuk menyabarkanku, untuk membuatku berpikir kembali tentang apa yang harus aku lakukan.

Iya, aku tidak bisa mengenyahkan pikiran negatif tentangmu di sana, tentangmu yang mungkin saja menemukan sosok yang lebih baik dariku dalam segala hal, yang bisa menemanimu di sana tanpa harus terganggu oleh jaringan telepon yang payah.

Iya, aku berharap kau bergegas meraih telepon genggammu, dan menanyakan apa yang terjadi, dengan tingkat kekhawatiran dari hatimu, tapi aku tau, harapan hanya akan menjadi harapan, sulit bagimu untuk merealisasikannya, bukan?

Iya, aku memang seperti anak kecil, tidak seperti kakak-kakak dengan pikiran dewasa mereka yang ada di sekelilingmu. Aku bukan mereka yang bisa dengan sabar menunggu. Aku bosan menunggu.

Iya, aku memang memuakkan. Aku pandai melebih-lebihkan masalah sepele, aku masih tidak bisa terima dengan perubahan yang terjadi, aku mengharapkan kau melakukan hal-hal yang tidak mungkin kau lakukan.

Aku sama sekali tidak menyalahkan jarak, aku tidak menyalahkanmu. Jujur saja, aku tidak tau siapa yang harus disalahkan. Mungkin aku yang salah, karena memang selalu seperti itu, bukan? Aku terlalu memusingkan hal-hal kecil yang seharusnya bisa kuhadapi dengan dewasa. Bahkan, seharusnya aku tidak seperti ini.

Aku memang selalu berdoa yang terbaik untukmu, tapi diam-diam aku berdoa supaya akulah yang terbaik untukmu. Aku kira, kita bisa melewatinya dengan mudah. Tapi, ternyata kenyataannya berbeda dengan yang kita harapkan, ditambah lagi pertahanan kita yang sangat buruk. Aku takut memikirkan kemungkinan yang bisa saja terlontar dari mulutmu. Kalau kau membaca ini, aku harap kau tau aku masih menyayangimu, aku mengharapkanmu. Aku membutuhkanmu. Aku masih bersedia menunggumu kembali.

No comments:

Post a Comment