Pages

Saturday, December 29, 2012

Jempol dan Only Truth

Tau permainan "Truth or Dare"? Tentu tau. Biasanya, beberapa orang duduk membentuk lingkaran dengan benda penunjuk yang bisa berputar sebagai pusat lingkaran. Sebut saja penunjuknya adalah anak panah. Jadi, kepada siapapun anak panah itu mengarah saat telah benar-benar berhenti, maka dia diperkenankan untuk memilih "Truth" atau "Dare. Kalau korban memilih "Truth", maka dia harus menjawab dengan sejujur-jujurnya pertanyaan apapun yang diajukan oleh pemain lainnya. Lain pula dengan "Dare", si korban harus rela melakukan apapun yang telah disepakati oleh para pemain.

Namun, dalam permainan kali ini, "Truth or Dare" kembali menjadi "ONLY TRUTH", dengan ketentuan siapapun yang kalah dalam permainan "jempol", harus rela ditanya-tanya. Nah, apakah gerangan permainan jempol? Permainan ini membutuhkan 2 orang atau lebih. Lebih banyak pemain, maka lebih seru. Permainan ini lebih menjunjung ke-hoki-an seseorang. Semakin hoki dia, maka semakin cepatlah dia memenangkan permainan. Jadi, setiap pemain menampakan tangannya dalam keadaan digenggam. Pemain yang mendapatkan giliran harus menyebutkan angka berapapun, dengan batas angka jumlah "jempol tangan" keseluruhan pemain. Sedangkan pemain lainnya (beserta pemain yang menyebutkan angka tadi) boleh mengangkat jempolnya secepat mungkin atau bahkan tidak mengangkatnya sama sekali. Jika, jumlah jempol yang terangkat tersebut sesuai dengan nominal angka yang disebutkan si pemain yang mendapat giliran tadi, maka yang mendapat giliran tersebut bisa membebaskan satu jempol tangannya. Kalau dia bisa menyesuaikan sampai dua kali (secara tangan manusia paling banyak itu 2), maka dialah pemenangnya karena telah membebaskan kedua tangannya. Bingung sama kalimatku?

Misal deh, yang main itu 3 orang, berarti jumlah jempol tangan pemain ada 6. Nah, siapapun yang mendapat giliran menyebutkan angka, harus menyebutkan angka yang dia mau dari 1-6. Dan mereka semua bebas mau ngangkat jempol atau nggak. Kalau dia menyebutkan 4, dan jempol yang terangkat seluruhnya berjumlah 4, maka dia bisa membebaskan 1 jempolnya. Berarti, jempol tangan yang tersisa ada 5. Begitu seterusnya sampai ditemukan siapa yang jempolnya masih bersisa. Paham? Paham ajadeh ya, bingung jelasinnya.

Naasnya, Alfi, Randi, Tasya, ngajak main jempol dengan hukuman yang kalah harus kena "ONLY TRUTH". Buset, trauma bo'. Truth or Dare-ku yang terakhir bukan kenangan yang menyenangkan. Aku lupa siapa yang kalah pertama kali di permainan jempol ini, pokoknya bukan aku. Gila bener-bener sakit jiwa mereka, pertanyaannya cyin, ampun. Malangnya, aku kalah, dan mereka kayaknya gak puas udah nanya yang cukup bikin aku mendadak bego, gak bisa ngomong apa-apa. Masalah pilihan ini, udah gitu pertanyaan mereka bener-bener khayalan semua. Mikirinnya aja ngeri, hih. Alhamdulillah-nya, aku cuma kalah sekali setelah 5 putaran, Tasya sama Randi dapat kehormatan 2 kali ditanya-tanya hihihi *selaw mamen kita bersaudara*. Karena, kami bertiga telah di-bully, maka mau tidak mau Alfi harus pasrah harus ditanya karena kagak kalah-kalah. Ini anak jawabannya enteng semua.

Jadi, bagi siapapun yang mau main permainan di atas, mohon siapkan mental dan sembunyikan aib-aib kalian supaya tidak tercium siapapun. Karena, rahasia sekecil apapun bisa dijadikan senjata dalam permainan ini.

*NB: InsyaAllah, selagi masih dalam batas kewajaran manusia normal, permainan ini aman.

Enjoy the game!

Sabtu, Berbulan-bulan yang Lalu

Sabtu dengan awan hitam menggantung. Tidak, bukan Sabtu sekarang, tapi beberapa bulan yang lalu.

Seragam pramuka sesegera mungkin ku tanggalkan, berganti baju 'wajib' saat kuterima pesan singkat yang ternyata adalah balasan darimu kembali menanyakan kepastian untuk hari itu. Aku menghirup napas panjang sebelum membalas, terserah saja, begitulah kira-kira yang berhasil kukirim. Kuhempaskan tubuhku ke kursi kayu yang menimbulkan sedikit nyeri saat beradu dengan tulang punggungku. Geram. Yasudah, kurang lebih seperti itu balasanmu, aku lupa.

Kutelusuri jalanan sampai persimpangan, menghentikan angkutan umum dengan nomor yang sesuai. Awan makin menghitam, jarum jam pun terasa bergerak lebih cepat. Kukabari dirimu kalau aku terjebak macet di Glugur, daerah yang langganan macet saat waktu telah lewat dari jam 12 siang. Sekali lagi aku menghirup udara beracun sedalam mungkin. Kembali memikirkan balasan terakhir darimu. Seharusnya aku tidak memaksamu, aku hanya ingin bersamamu.

Kuteriaki supirnya supaya berhenti tepat di depan Taman Budaya. Belum tampak seorang pun. Sepertinya kebiasaan mengulur waktu sudah mendarah daging bagi manusia Indonesia. 2 lembar tiket masuk yang kubeli di depan pintu masuk sudah di tangan, tinggal menunggu. Tak lama, beberapa anggota lain datang, tapi belum dengan dirimu. Kutatap langit dan memohon supaya tidak tumpah, setidaknya sebelum kau menampakkan diri di mukaku. Bahkan langit tak mengindahkan permohonanku. Gerimis, tak lama kemudian bersambut hujan yang cukup rapat, aku sendiri tak yakin bisa menghindarinya.

Kucoba menanyakan keberadaanmu. Sudah di depan restoran cepat saji di perempatan, katamu. Tak lama kulihat dirimu yang berlari memecah hujan dan mengundang riak pada genangan. Pundakku turun, tak menyangka aku yang memaksamu. Setelah masuk dan duduk berdampingan denganmu, aku harap aku masih punya kebiasaan untuk membawa saputangan ke mana pun aku pergi. Ku hilangkan jejak hujan dari lenganmu dengan tanganku sendiri. Dingin. Ku tatap dirimu. Aku mencintaimu, namun tak cukup bernyali untuk menyuarakannya di telingamu. Salahkah aku memintamu di sisiku saat itu?

Selama pemutaran, tak lagi kurasakan dinginnya atmosfer membelenggu. Jemarimu memeluk jemariku. Kupererat genggamanku, takut kau beranjak dan pergi. Tidak sampai 50% fokusku tercurahkan pada layar infocus. Itu hanya sisa dari fokus yang sepenuhnya ada dalam genggamanku. Aku menyesal tidak menggenggammu jauh lebih lama. Aku lupa rasanya saat jemariku melepaskan rindu kepada jemarimu.

Pemutaran selesai, mau tak mau aku membiarkanmu menarik tanganmu. Aku mengatur napasku yang tak beraturan. Sesak.

Hujan telah berjarak, hanya menimbulkan riak kecil. Kita semua segera memeluk udara sore selepas hujan di halaman Tambud. Berjalan kecil ke kantin dengan niat membasahi tenggorokan. Ternyata hujan masih ingin memeluk bumi. Deras. Semua berlomba melebihi ritme titik hujan, berharap bisa sampai teras samping lebih dulu. Kejutan kecil menghampiri salah satu anggota. Tepung, kopi, telur. Entah sejak kapan membuat anak manusia bertransformasi menjadi adonan kue menjadi tradisi. Hujan masih menyelimuti kita saat kita tertawa melihat serangan balik yang terjadi. Aku selalu berada dibalik pundakmu, menjadikan dirimu sebagai tameng, bersembunyi dari terjangan spontan.

Waktu tak pernah mau melambat saat aku menikmati detik bersamamu. Senja telah mencumbu cakrawala. Kau menyuruhku pulang. Setelah menunda sebentar, akhirnya aku pulang. Kubawa serta jejak jemarimu saat aku menyalamimu seperti biasa. Hangat.

Maaf, kalau aku masih mengenang.

Friday, December 28, 2012

Be Proud of Being A Reader

Just found this quote in someone's profile on Goodreads, and I was like "wow".
“You should date a girl who reads.Date a girl who reads. Date a girl who spends her money on books instead of clothes, who has problems with closet space because she has too many books. Date a girl who has a list of books she wants to read, who has had a library card since she was twelve.

Find a girl who reads. You’ll know that she does because she will always have an unread book in her bag. She’s the one lovingly looking over the shelves in the bookstore, the one who quietly cries out when she has found the book she wants. You see that weird chick sniffing the pages of an old book in a secondhand book shop? That’s the reader. They can never resist smelling the pages, especially when they are yellow and worn. 

She’s the girl reading while waiting in that coffee shop down the street. If you take a peek at her mug, the non-dairy creamer is floating on top because she’s kind of engrossed already. Lost in a world of the author’s making. Sit down. She might give you a glare, as most girls who read do not like to be interrupted. Ask her if she likes the book. 

Buy her another cup of coffee. 

Let her know what you really think of Murakami. See if she got through the first chapter of Fellowship. Understand that if she says she understood James Joyce’s Ulysses she’s just saying that to sound intelligent. Ask her if she loves Alice or she would like to be Alice. 

It’s easy to date a girl who reads. Give her books for her birthday, for Christmas, for anniversaries. Give her the gift of words, in poetry and in song. Give her Neruda, Pound, Sexton, Cummings. Let her know that you understand that words are love. Understand that she knows the difference between books and reality but by god, she’s going to try to make her life a little like her favorite book. It will never be your fault if she does. 

She has to give it a shot somehow. 

Lie to her. If she understands syntax, she will understand your need to lie. Behind words are other things: motivation, value, nuance, dialogue. It will not be the end of the world. 

Fail her. Because a girl who reads knows that failure always leads up to the climax. Because girls who read understand that all things must come to end, but that you can always write a sequel. That you can begin again and again and still be the hero. That life is meant to have a villain or two. 

Why be frightened of everything that you are not? Girls who read understand that people, like characters, develop. Except in the Twilight series. 

If you find a girl who reads, keep her close. When you find her up at 2 AM clutching a book to her chest and weeping, make her a cup of tea and hold her. You may lose her for a couple of hours but she will always come back to you. She’ll talk as if the characters in the book are real, because for a while, they always are. 

You will propose on a hot air balloon. Or during a rock concert. Or very casually next time she’s sick. Over Skype. 

You will smile so hard you will wonder why your heart hasn’t burst and bled out all over your chest yet. You will write the story of your lives, have kids with strange names and even stranger tastes. She will introduce your children to the Cat in the Hat and Aslan, maybe in the same day. You will walk the winters of your old age together and she will recite Keats under her breath while you shake the snow off your boots. 

Date a girl who reads because you deserve it. You deserve a girl who can give you the most colorful life imaginable. If you can only give her monotony, and stale hours and half-baked proposals, then you’re better off alone. If you want the world and the worlds beyond it, date a girl who reads. 

Or better yet, date a girl who writes.” 
  Rosemarie Urquico

So, I'm a reader and also am an amateur writer, will you date me, eh?

Wednesday, December 26, 2012

Kamar dan Kenangan

Masih diruangan yang sama, kamar sederhana berlapiskan cat krem muda. Saksi bisu semua tangisan tengah malam yang terjadi. Tempat di mana imajinasiku membludak dan menggila. Satu-satunya tempat yang membuatku membiarkan waktu bergulir begitu saja, sedangkan aku dengan tenangnya berlari bersama kenangan yang seharusnya kutinggalkan berkarat termakan usia, nyatanya aku malah meninggalkan masa-masa yang harusnya kulewati dengan wajah secerah mentari. Tak jarang aku memutar kunci saat semuanya terasa berat di pundakku. Saat aku merasa tak akan ada hari yang lebih buruk dari hari itu. Tempat inilah bioskopku, membuatku lebih mengenal diriku sendiri, tempat yang menerimaku sebagai aku tanpa ada cibiran saat aku berlalu. Lebih mudah untuk berbicara pada onggokan benda mati ini karena kau tidak perlu menjelaskan macam-macam.

Aku kembali tertarik pada tembok kremku ini. Kutatap ia lama, membayangkan tembok itu menatapku dengan wajah datar seraya memutar kedua bola matanya, seakan sudah hapal benar dengan momen seperti ini. Tembok ini jarang menjalarkan rasa hangat saat aku menyentuhnya, selalu dingin, tapi ia tak pernah jauh. Dia dingin, tapi aku selalu kembali. Dia tak punya telinga, bukan berarti dia tidak mendengarkan. Dia tak punya mata, bukan berarti dia tak melihat. Dia diam, tak bergerak, selalu mengabaikanku, tapi aku tetap membutuhkannya. Aku selalu berusaha mencengkramnya saat aku merasa geram pada diriku sendiri. Aku tak pernah menemukan alasan yang memuaskan.

Tembok itu selalu mendengar celotehku tentang apa pun. Satu malam aku pernah bercerita sambil tersedu-sedu menatap kertas lecek yang berisi sketsa yang jauh dari kata mirip dari wujud nyatanya. Aku mereka ulang dari titik awal perkenalan sampai titik akhir perpisahan. Sempurna, aku mengingatnya dari awal sampai akhir dalam satu malam tanpa celah, sedangkan aku harus mati-matian menghapal persamaan termokimia dan laju reaksi semalaman dan melupakannya begitu saja saat matahari sudah tinggi. Tapi, aku tidak menyesal berbicara dengan kertas lecek itu, aku lega. Rasanya seperti berbicara langsung kepada sasaran, bedanya tidak ada tanggapan.

Menangis adalah obat tidur paling manjur sepanjang masa. Aku selalu mengantuk kelelahan setiap selesai mencuci kedua korneaku. Sekarang, aku sadar, aku terlalu sering dan terlalu lama bermain-main dalam ruang yang harusnya kutinggalkan. Aku melupakan waktu yang tetap bergerak dengan menutup telingaku menghindari suara detak jarumnya, menutup mataku menhindari gerakan jarumnya. Aku terlena akan semua kenangan yang masih tertinggal. Kenangan yang hanya bisa aku tonton saja, kenangan yang selalu kubawa ke alam bawah sadarku, kenangan yang kurengkuh saat pagi mendepak malam. Aku menabur garam pada luka yang masih menganga lebar.

Mana yang lebih baik, ditinggalkan dengan kenangan atau tanpa kenangan sama sekali? Dengan kenangan ada dua kemungkinan; bersyukur atau menyesal, tapi selalu ada pelajaran. Tanpa kenangan juga ada dua kemungkinan; lebih baik atau bahkan lebih menyakitkan, tapi bukankah lebih mudah untuk berlalu?

Laman profil itu sudah menjadi most visited site. Dalam beberapa waktu aku sering membongkarnya hingga berbulan-bulan yang lalu, mungkin masih ada kenangan lain yang tersisa. Aku berulang kali mengaminkan doa-doa yang masih terpampang di sana, doa saat semuanya terasa sempurna. Berhasil atau tidak, aku tak pernah tau. Apa salahnya mencoba? Iya, percobaan yang konyol saat semuanya tak lagi bisa disusun. Kepingannya sudah tertiup angin ke antah berantah dan tanganku tak cukup panjang untuk meraihnya. Membanting kepala ke bantal adalah hal terbaik yang bisa kulakukan setelahnya.

Aku tidak berbakat dalam hal bangkit-dari-keterpurukan atau yang semacam itu. Selalu gagal di tengah jalan. Wajar saja kalau aku tak pernah maju.

Tembok krem ini tak sedingin kemarin. Tapi, dia masih diam.

26 Desember 2012, 7.35 pm
Medan, tanpa hujan


TS

Tuesday, December 18, 2012

Aku masih cinta. Amat sangat. Tapi, aku telah kalah. Kalah telak.

Sunday, December 16, 2012

Konspirasi Alam Semesta

Seperti malam sebelumnya, mataku terpaku pada timelineku, siapa tau ada kejutan.
Benar. Sebuah foto muncul melalui twit follower yang kau retweet, tampak dirimu berdiri dengan senyum melekat di wajahmu. Senyummu masih tampak seperti dulu, menawan. Lama kutatap potretmu, mataku basah, maaf, tak kuasa kubendung kerinduan yang memberontak. Baru kusadari mp3 yang kuatur dalam mode shuffle melantunkan suara khas Pierre, ah, I Miss You-nya Simple Plan. Semakin menjadilah air mataku berlari mengikuti lekuk wajahku.

"You do something to me that I can't explain, and would I'd be out of line, if I said I miss you?"
Jemariku bergerak ragu, mencoba mencapai layar notebookku, takut kalau-kalau potretmu akan menjauh, sama seperti dirimu. Perlahan namun pasti jemariku "menyentuhmu". Mp3 ini pun tak mau kalah memojokkanku, Pretend-nya Secondhand Serenade mengalun di udara. Sempat terlintas di kepalaku untuk sekedar mengirim pesan singkat, "Kangen, kang". Kuurungkan niatku. Mana mungkin aku mengusikmu lagi, sudah cukup aku mengganggumu selama 5 bulan.

"It's hard to be all alone, I never got through your disguise, I guess I'll just go and face all my fears. So please let me be free from you, I can face the truth."
Mataku masih basah, namun potretmu masih tampak jelas di korneaku. Wajah itu, yang sejak Februari lalu kukenal dekat, yang sejak Mei lalu tak kutakuti kehilangannya,  yang sejak November lalu tak lagi mampu ku bayangkan kenyataan menatapnya. Senyum di sana yang memabukkan, yang membuatku mau tak mau menarik sudut bibirku, turut membentuk seulas senyum, namun aku menikmatinya. Jemari yang dahulu masih bisa kurasakan hangatnya di jemariku sendiri, di genggamanku sendiri, sampai sekarang bisa kurasakan jejaknnya di tanganku.

Kali ini giliran Copeland yang menghantamku dengan You Are My Sunshine, lagu anak-anak memang, namun versinya kali ini cukup menyayat. Tak perlu pikir panjang, aku tau pasti siapa "Sunshine"-ku. Kenapa kusebut-sebut dirimu matahari? Karena namamu memang begitu, tidak persis matahari, namun begitulah dikenal. Kau penyedia oksigenku, bintang terbesarku, pusat orbitku. Setidaknya dulu.

"The other night, Dear, as I lay sleeping, I dreamt I held you in my arms. When I awoke, Dear, I was mistaken. So I hung my head and I cried."
Aku selalu membayangkan keberadaanmu belakangan ini. Aku ingat semua tentangmu. Menyakitkan, namun menyenangkan. Kalau sudah rindu mau bagaimana lagi? Ah, Firasat-nya Marcell menggelitik batinku. Ingat lagu itu? Aku pernah berhasil memaksamu menyanyikan sebuah lagu, dan kemudian memintamu berdendang lagi. Lagu ini salah satu dari dua lagu yang kau nyanyikan untukku. Kau tidak tau kan, kalau saat itu aku menitikkan air mata karena terharu. Menyenangkan sekali, karena kau yang memilih lagunya. Waktu itu sudah larut, tapi aku belum mau beranjak tidur, mungkin kalau aku tidur lebih cepat aku tidak sempat mendengarmu bernyanyi via telepon yang untungnya bersahabat malam itu. Terima kasih untuk lagunya.

"Kupercaya alam pun berbahasa, ada makna di balik semua pertanda. Firasat ini rasa rindukah atau kah hanya bayang?"
Aku pikir itu lagu terakhir untuk membuatku semakin terpojok, tapi ternyata masih ada satu hantaman lagi. I'm Gonna Find Another You-nya John Mayer membuatku bungkam sejenak. Potretmu tampak buram lagi, oh, ternyata mataku yang basah. Tidak, aku masih belum bisa melepasmu. Melihatmu bahagia ternyata jauh lebih menyiksa, ternyata kau jauh lebih baik tanpaku. Bagaimana rasanya bebas dari celoteh anak kecil? Pasti menyenangkan untukmu.

"It's really over, you made your stand. You got me crying as your plan. But, when my loneliness is through, I'm gonna find another you."
Mungkin hari ini semesta kembali berkonspirasi untuk menghajarku dan memaksaku untuk sesegera mungkin melepasmu dan mengikhlaskanmu untuk yang lebih baik dariku. Kita lihat saja nanti.

Sekarang ini hujan mengguyur kotaku. Aku masih ingat tentangmu. Aku masih rindu padamu.

Saturday, December 15, 2012

Ah, Rindu

Hm, hai. Aku tidak pandai berbasa-basi. Aku rindu.

Malam ini adalah klimaks kerinduanku, setelah sebelumnya kusimpan dan akhirnya terpaksa kutelan bulat-bulat, sekarang kembali menyeruak ke permukaan, menerjangku tepat di hati. Aku teringat semuanya, benar-benar semuanya. Masa-masa berbatu, masa penantian dengan iming-iming sebuah kepastian. Jatuh bangun yang menggores luka, yang harus kusembuhkan sendiri. Masa-masa saat kepastian itu benar-benar pasti, mengganti luka dengan tinta berwarna, tak pernah lagi hariku kelam, cerah sepanjang waktu karena aku memiliki Matahariku sendiri, milikku sepenuhnya dan begitu pula sebaliknya. Masa-masa saat semua mimpi terpatahkan, Matahari bergerak menjauh alih-alih bersinar, saat aku benar-benar mengenal jauhnya jarak realita yang tersembunyi dibalik fatamorgana remaja yang dimabuk rasa. Aku ingat semuanya. Semuanya dalam saat yang bersamaan. Jangan tanya bagaimana menyiksanya. Aku hanya rindu.

Tak pernah kuduga kerinduan yang membuncah seperti ini. Kukira aku sudah berhasil membunuhnya satu bulan ini, aku kira aku berhasil mengelabuinya sehingga tak lagi mengusikku. Ternyata malah aku yang dibunuh, aku yang dikelabui. Rindu yang tadinya berusaha "kita" kuasai kini malah balik menyerangku, aku tidak tau denganmu, mungkin tidak.

Aku terlalu takut untuk sekedar menggapai telepon genggamku dan mengirimkan pesan singkat kepadamu. Aku takut kalau-kalau aku malah jatuh lebih dalam. Aku takut kalau ternyata aku malah menggarami lukaku sendiri. Aku takut kalau kerinduanku hanya memperparah jarak yang sudah jelas jauhnya. Aku takut untuk mengutarakannya langsung.

Mungkin hanya dengan rangkaian abjad yang kualiri dengan rindu ini aku menyampaikannya. Entah kau membacanya atau tidak, itu lain soal, setidaknya aku tidak melemparkannya langsung ke sasaran. Kalaupun kau membacanya, biarlah kau menebak-nebak dahulu hendak kulemparkan kepada siapa omong kosong ini.

Salam,

Sekalipun kau bukan lagi matahariku, aku masih ingin menikmati sinar yang kau bagikan kepada dunia.

Saturday, December 8, 2012

Aku terlalu pusing memikirkan judulnya

Kepada, yang hatinya tak lagi mampu kurengkuh.

Apa kabar? Ini adalah surat yang entah keberapa yang kuperuntukkan kepadamu. Maaf, kalau dengan semua surat, kata demi kata yang kuutarakan membuatmu memandangku dengan pandangan ingin menendangku keluar dari muka bumi, mungkin kau muak. Tapi, tak apa, kau tidak sendirian dalam hal itu, aku juga muak pada diriku sendiri.

Sudah satu bulan berlalu, tapi aku masih sama dan baru kusadari sekarang, kalau kau memang telah lama diam-diam mengambil kembali hatimu, menata ulangnya kembali sebelum keputusan itu terlontarkan. Jangan tanya maksudku apa, aku sendiri tidak mengerti. Ah, iya, aku masih terus mencoba, bahkan sampai sekarang. Nihil. Semakin mencoba, semakin sulit. Paru-paruku nyeri, terlalu sakit kalau kupaksa menarik napas panjang.

Setelah semua ini, aku selalu mencuri setiap celah yang mampu kutemukan, aku berpura-pura kalau suatu saat nanti celah-celah itu akan membentuk sebuah titik terang, oh, bukan hanya setitik, tapi, banyak titik, sampai akhirnya menjadi satu potongan utuh. Memulai semuanya dari awal. Tidak akan menjadi masalah kan, kalau sekedar berpura-pura?

Menyenangkan sekali kembali meringkuk di sudut kamar, memandang tembok, melayangkan pikiranku pada khayalan yang dulu ada, menyaksikan reka ulang di dalam bioskopku sendiri. Aku menikmati dunia yang dulu pernah kubagi bersamamu. Tak apalah kali ini aku menikmatinya sendiri, tapi kau akan melewatkan bagian paling menarik! Coba tebak. Tawa renyah yang menggema, menertawakan semua khayalan yang terangkai. Aku selalu suka bagian itu.

Aku mau berbagi sedikit rahasia, aku sedikit takut menggunakan kata "kita" lagi. Padahal, "kita"-nya tak lagi sama, seharusnya lebih ringan. Tapi, aku belum cukup bernyali. Kalaupun aku menggunakannya, kau tidak tau seberapa pertimbangan yang aku lakukan. Ku harap, kau tidak keberatan dengan itu. Hah, tentu saja tidak, bagaimana mungkin kau keberatan dengan hal yang bahkan tidak kau ketahui, benarkan?

Yasudahlah, kurasa sudah cukup aku merecokimu hari ini. Semoga harimu menyenangkan!

Salam,
Aku menunggu hujan, tapi tak kunjung datang juga, mungkin karena ini untuk Matahari.

Friday, December 7, 2012

Proses?

Sesaknya masih ada, tapi tidak sedahsyat dulu. Entah karena ini bagian dari proses atau karena sudah terbiasa seperti ini. Susah mendeskripsikan getaran yang menggelitik batin, ingin marah, tapi tak punya alasan untuk meluapkannya. Ingin protes, tapi tak punya predikat apa-apa. Ingin menangis, tapi merasa terlalu bodoh untuk melakukannya. Jadi, ya aku diam saja.

Segurat senyum getir terukir jelas pada wajah yang terlihat di cermin. Ah, dia masih berusaha berdiri ternyata. Tampak ia menahan tawa dalam balutan wajah lusuhnya. Dalam kepalanya dia terpingkal-pingkal setengah mati melihat kenyataan yang terhampar di depan hidungnya. Seakan dunia berkonspirasi untuk membuatnya kalah telak. Tak perlulah berburuk sangka, toh kalaupun dia kalah telak untuk saat ini, dia sudah mengenal ranjau-ranjau yang ditebar di seluruh kesempatan dan pilihan yang disodorkan. Setidaknya dia berusaha menjadi tameng untuk dirinya sendiri. Sekalipun dia sempat berharap "ditamengi" orang lain, dia tau, cepat atau lambat, tamengnya itu akan bosan dan mencari makhluk lain yang jauh lebih mudah untuk ditamengi tanpa banyak protes.

Dia mencoba ikhlas dan kembali berdiri, tapi langkahnya selalu terhenti tatkala kenangan mengetuk hatinya. Dia malah dengan senang hati menjamu tamu yang diam-diam menenggelamkannya. Dia sibuk bermonolog sembari memproyeksikan si tamu, tanpa melewatkan setiap detail yang masih tersimpan dalam memorinya. Akhirnya dia sadar, sia-sialah dia berusaha melupakan kalau dia terus mengingat apa yang harus dia lupakan.

Dia masih orang yang sama. Masih aku yang sama. Alasan yang selama ini kupertanyakan, kini terkuak sudah. Dari awal aku sangat menyayangkan ketidakjujuran yang kau ciptakan sendiri.

Tenang saja, kudoakan kebahagiaanmu.

Thursday, December 6, 2012

WHOAAA

HUHA!
Hari ke 3 ujian setelah satu hari diliburkan! Ini jauh lebih suram selama 16 tahun napak di bumi. Kapasitas otak yang tidak seberapa ini diharuskan mencerna belasan rumus tak menentu. Heran, hidup kok dibuat ribet. Lain kalimat, lain lagi rumusnya. MasyaAllah. Iya, iya, memang salah dari 6 bulan yang lalu, udah tau gak bakalan sanggup, malah nekat masuk jurusan yang begini. InsyaAllah masih ada 18 bulan lagi yang harus dilewati bersama rumus-rumus yang akan terus mempebanyak diri. Berbahagialah para ilmuan yang menciptakannya, mereka tidak perlu merasakan denyut di kepala saat harus mengingat semuanya.

***

Jawa. Tujuannya ke situ. Dengan bekal yang begini, apa bisa? Hah, susah untuk optimis kalau tau kemampuannya seperti apa. Apa jadinya nanti ya? Pontang-panting nerima pelajaran yang entahlah bagaimana jadinya.

 Mama, maafkanlah anak perempuanmu yang tidak seberapa ini.

Sunday, December 2, 2012

Antara Pendidikan dan Manusia Di Sana.

Aku kembali memikirkan keputusanku untuk keluar dari sangkar. Menuntut ilmu ke Jawa yang populasinya nyaris meledak (atau sudah meledak?). Terbesit ragu yang sangat mengganggu. Sebenarnya, apa tujuanku ke sana? Aku bukan tipikal perempuan mandiri. Aku cengeng. Apa jadinya kalau sendirian di sana? Aku mengangguk yakin waktu itu, ya karena ada yang kukejar. Aku tidak pernah memikirkan yang seperti ini. Pernah sih, tapi tidak sampai terlalu jauh. Belakangan ini, kalau orang bertanya mau dilanjutkan kemana pendidikanku, tanpa pikir panjang aku langsung menyebutkan tempat yang juga menjadi tujuanmu. Bahkan, kau sudah di sana. Entahlah, aku hanya ragu.

Ah, lagipula, kalaupun kesana, aku ingin menuntut ilmu, bukan yang lain. Walaupun bukan itu tujuan pertamanya. Mengejar, kalau kata Mama. Ya, memang. Lah, sekarang? Ragunya luar biasa. Apalagi kemampuan belajar yang tidak memungkinkan. Jangankan untuk kesana, memikirkan bagaimana bisa tuntas untuk semua mata pelajaran yang diujiankan besok saja sudah tidak tau bagaimana nasibnya. Selalu berusaha untuk fokus, tapi hasilnya nihil. Cabang pikirannya sudah terlalu banyak. Padahal, pengen buat Mama sama Papa bangga waktu pembagian rapor. Tapi, ya itu. Entah emang banyak godaannya atau dasar akunya yang gapunya kekuatan buat positif jadi kebanggaan.

Kalaupun aku menyusulmu, aku terlalu takut melihatmu lagi. Tidak mungkin kau belum menemukan yang lain. Pasti sudah. Nah, kalau lagi aku melihatmu bersama yang lain, aku harus apa? Terlalu menyesakkan untuk sekarang ini.

Yasudahlah, kudoakan saja semua yang terbaik untukmu.
Doakan saja aku tidak keburu mati sebelum melingkari jawaban di LJK sangking mumetnya memikirkan segala kemungkinan negatif yang bisa terjadi.