Sabtu dengan awan hitam menggantung. Tidak, bukan Sabtu sekarang, tapi beberapa bulan yang lalu.
Seragam pramuka sesegera mungkin ku tanggalkan, berganti baju 'wajib' saat kuterima pesan singkat yang ternyata adalah balasan darimu kembali menanyakan kepastian untuk hari itu. Aku menghirup napas panjang sebelum membalas, terserah saja, begitulah kira-kira yang berhasil kukirim. Kuhempaskan tubuhku ke kursi kayu yang menimbulkan sedikit nyeri saat beradu dengan tulang punggungku. Geram. Yasudah, kurang lebih seperti itu balasanmu, aku lupa.
Kutelusuri jalanan sampai persimpangan, menghentikan angkutan umum dengan nomor yang sesuai. Awan makin menghitam, jarum jam pun terasa bergerak lebih cepat. Kukabari dirimu kalau aku terjebak macet di Glugur, daerah yang langganan macet saat waktu telah lewat dari jam 12 siang. Sekali lagi aku menghirup udara beracun sedalam mungkin. Kembali memikirkan balasan terakhir darimu. Seharusnya aku tidak memaksamu, aku hanya ingin bersamamu.
Kuteriaki supirnya supaya berhenti tepat di depan Taman Budaya. Belum tampak seorang pun. Sepertinya kebiasaan mengulur waktu sudah mendarah daging bagi manusia Indonesia. 2 lembar tiket masuk yang kubeli di depan pintu masuk sudah di tangan, tinggal menunggu. Tak lama, beberapa anggota lain datang, tapi belum dengan dirimu. Kutatap langit dan memohon supaya tidak tumpah, setidaknya sebelum kau menampakkan diri di mukaku. Bahkan langit tak mengindahkan permohonanku. Gerimis, tak lama kemudian bersambut hujan yang cukup rapat, aku sendiri tak yakin bisa menghindarinya.
Kucoba menanyakan keberadaanmu. Sudah di depan restoran cepat saji di perempatan, katamu. Tak lama kulihat dirimu yang berlari memecah hujan dan mengundang riak pada genangan. Pundakku turun, tak menyangka aku yang memaksamu. Setelah masuk dan duduk berdampingan denganmu, aku harap aku masih punya kebiasaan untuk membawa saputangan ke mana pun aku pergi. Ku hilangkan jejak hujan dari lenganmu dengan tanganku sendiri. Dingin. Ku tatap dirimu. Aku mencintaimu, namun tak cukup bernyali untuk menyuarakannya di telingamu. Salahkah aku memintamu di sisiku saat itu?
Selama pemutaran, tak lagi kurasakan dinginnya atmosfer membelenggu. Jemarimu memeluk jemariku. Kupererat genggamanku, takut kau beranjak dan pergi. Tidak sampai 50% fokusku tercurahkan pada layar infocus. Itu hanya sisa dari fokus yang sepenuhnya ada dalam genggamanku. Aku menyesal tidak menggenggammu jauh lebih lama. Aku lupa rasanya saat jemariku melepaskan rindu kepada jemarimu.
Pemutaran selesai, mau tak mau aku membiarkanmu menarik tanganmu. Aku mengatur napasku yang tak beraturan. Sesak.
Hujan telah berjarak, hanya menimbulkan riak kecil. Kita semua segera memeluk udara sore selepas hujan di halaman Tambud. Berjalan kecil ke kantin dengan niat membasahi tenggorokan. Ternyata hujan masih ingin memeluk bumi. Deras. Semua berlomba melebihi ritme titik hujan, berharap bisa sampai teras samping lebih dulu. Kejutan kecil menghampiri salah satu anggota. Tepung, kopi, telur. Entah sejak kapan membuat anak manusia bertransformasi menjadi adonan kue menjadi tradisi. Hujan masih menyelimuti kita saat kita tertawa melihat serangan balik yang terjadi. Aku selalu berada dibalik pundakmu, menjadikan dirimu sebagai tameng, bersembunyi dari terjangan spontan.
Waktu tak pernah mau melambat saat aku menikmati detik bersamamu. Senja telah mencumbu cakrawala. Kau menyuruhku pulang. Setelah menunda sebentar, akhirnya aku pulang. Kubawa serta jejak jemarimu saat aku menyalamimu seperti biasa. Hangat.
Maaf, kalau aku masih mengenang.
No comments:
Post a Comment