Aku kembali tertarik pada tembok kremku ini. Kutatap ia lama, membayangkan tembok itu menatapku dengan wajah datar seraya memutar kedua bola matanya, seakan sudah hapal benar dengan momen seperti ini. Tembok ini jarang menjalarkan rasa hangat saat aku menyentuhnya, selalu dingin, tapi ia tak pernah jauh. Dia dingin, tapi aku selalu kembali. Dia tak punya telinga, bukan berarti dia tidak mendengarkan. Dia tak punya mata, bukan berarti dia tak melihat. Dia diam, tak bergerak, selalu mengabaikanku, tapi aku tetap membutuhkannya. Aku selalu berusaha mencengkramnya saat aku merasa geram pada diriku sendiri. Aku tak pernah menemukan alasan yang memuaskan.
Tembok itu selalu mendengar celotehku tentang apa pun. Satu malam aku pernah bercerita sambil tersedu-sedu menatap kertas lecek yang berisi sketsa yang jauh dari kata mirip dari wujud nyatanya. Aku mereka ulang dari titik awal perkenalan sampai titik akhir perpisahan. Sempurna, aku mengingatnya dari awal sampai akhir dalam satu malam tanpa celah, sedangkan aku harus mati-matian menghapal persamaan termokimia dan laju reaksi semalaman dan melupakannya begitu saja saat matahari sudah tinggi. Tapi, aku tidak menyesal berbicara dengan kertas lecek itu, aku lega. Rasanya seperti berbicara langsung kepada sasaran, bedanya tidak ada tanggapan.
Menangis adalah obat tidur paling manjur sepanjang masa. Aku selalu mengantuk kelelahan setiap selesai mencuci kedua korneaku. Sekarang, aku sadar, aku terlalu sering dan terlalu lama bermain-main dalam ruang yang harusnya kutinggalkan. Aku melupakan waktu yang tetap bergerak dengan menutup telingaku menghindari suara detak jarumnya, menutup mataku menhindari gerakan jarumnya. Aku terlena akan semua kenangan yang masih tertinggal. Kenangan yang hanya bisa aku tonton saja, kenangan yang selalu kubawa ke alam bawah sadarku, kenangan yang kurengkuh saat pagi mendepak malam. Aku menabur garam pada luka yang masih menganga lebar.
Mana yang lebih baik, ditinggalkan dengan kenangan atau tanpa kenangan sama sekali? Dengan kenangan ada dua kemungkinan; bersyukur atau menyesal, tapi selalu ada pelajaran. Tanpa kenangan juga ada dua kemungkinan; lebih baik atau bahkan lebih menyakitkan, tapi bukankah lebih mudah untuk berlalu?
Laman profil itu sudah menjadi most visited site. Dalam beberapa waktu aku sering membongkarnya hingga berbulan-bulan yang lalu, mungkin masih ada kenangan lain yang tersisa. Aku berulang kali mengaminkan doa-doa yang masih terpampang di sana, doa saat semuanya terasa sempurna. Berhasil atau tidak, aku tak pernah tau. Apa salahnya mencoba? Iya, percobaan yang konyol saat semuanya tak lagi bisa disusun. Kepingannya sudah tertiup angin ke antah berantah dan tanganku tak cukup panjang untuk meraihnya. Membanting kepala ke bantal adalah hal terbaik yang bisa kulakukan setelahnya.
Aku tidak berbakat dalam hal bangkit-dari-keterpurukan atau yang semacam itu. Selalu gagal di tengah jalan. Wajar saja kalau aku tak pernah maju.
Tembok krem ini tak sedingin kemarin. Tapi, dia masih diam.
26 Desember 2012, 7.35 pm
Medan, tanpa hujan
TS
No comments:
Post a Comment