Kalau ada orang yang harus saya kagumi karena kepintarannya,
maka Tamara akan menjadi salah seorang di antaranya. Sejak saya mengenalnya
kurang lebih 8 tahun yang lalu, dia selalu hadir dengan prestasi akademis yang
membanggakan. Nilainya selalu cemerlang, terlebih kemampuan berbahasa asingnya
yang tidak perlu diragukan lagi.
Kali pertama saya
mengenal sosok dengan otak brilian ini sewaktu saya duduk di sekolah
dasar, kebetulan kami berada di bimbingan belajar yang sama. Di luar itu, kami
tidak pernah bertemu sekalipun kami satu sekolah. Saat itu, tidak pernah
terlintas di kepala saya kami akan menjalin pertemanan sejauh ini.
Ketika akhirnya seragam saya tak lagi rok lipit merah, saya
tahu Tamara memasuki sekolah yang sama, tapi tidak duduk di kelas yang sama. Saat
memasuki tahun kedualah, saya kembali bertemu dengan Tamara dalam satu ruang
kelas. Dialah yang menjadi teman sebangku Asha selama 2 tahun. Mereka tampak
seperti duo pintar yang tidak berusaha untuk terlihat pintar. Dan beruntungnya,
mereka mau berteman dengan saya yang biasa-biasa saja.
Di antara kami bertiga, saya dan Tamara acap kali berbeda
jalan. Tak jarang kami tidak saling menegur sapa karena ego masing-masing.
Semua perang dingin itu untungnya selalu berakhir secara damai. Tapi, hal itu
justru menumbuhkan rasa pengertian dalam diri kami. Saya tidak pernah menyesali
adanya pertengkaran-pertengkaran itu, bukan berarti saya menginginkannya lagi. Hanya
saja, saya puas, pertemanan kami tidak semudah itu, yang justru menjadikannya
berharga.