Pages

Monday, August 10, 2015

Selalu Ada Surat yang Menunggu untuk Dibaca

Sumber: Goodreads.com
Judul Buku         : Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya
Penulis                : Dewi Kharisma Michellia
Penerbit              : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan              : I, Juni 2013
Tebal                  : 240 hal
Rate                    : 5/5



Buku dengan judul yang cukup panjang ini sebenarnya sudah pernah saya baca. Review ini saya tulis ketika saya membaca untuk yang kesekian kalinya, namun sedikit lebih seksama.

Ini merupakan setumpuk surat yang tak pernah sampai. Dari seorang wanita yang terlalu terpaku pada Tuan Alien—sahabatnya, berdua mereka menolak dunia, mengklaim bahwa mereka tidak sama dengan “manusia” lain di bumi. Segala tentang mereka amat mirip, mulai dari bentuk fisik hingga kesukaan. Sampai terucaplah sebuah janji, mereka akan melawan dunia bersama, dalam lingkaran pernikahan.

Wush!

Bak tertiup angin, Tuan Alien menghilang tanpa kabar hingga puluhan tahun. Entah melajang atau tidak “Aku” tak pernah tahu, yang “Aku” tahu, dia tidak ingin siapapun kecuali sahabatnya, Tuan Alien yang menerimanya dan mengerti dirinya. Terlepas dari itu, “Aku” memang tidak memiliki siapa-siapa. Kepada tuan pemilik toko buku langganannya, “Aku” menceritakan semua tentang satu-satunya sahabat yang ia miliki sejak kecil, yang kini bahkan tak ia ketahui keberadaanya. Sampai suatu saat sahabat sekaligus cintanya itu hadir dalam bentuk sebuah undangan pernikahan. Tuan Alien tak lagi menjadi alien-nya. Dari situlah, “Aku” mengawali berpuluh surat-suratnya.

Buku yang menjadi Pemenang Unggulan Dewan Kesenian Jakarta 2012 ini ditulis dalam bentuk surat-surat tak beralamat. Dalam surat-surat itu tak hanya bercerita tentang Tuan Alien, namun juga kehidupan “Aku”. Ia bercerita tentang peliknya menjadi anggota pers pada era Orde Baru, tentang sistem patrilineal dalam keluarganya, tentang ia yang ragu kalau ia bahkan memiliki keluarga, tentang cinta yang selalu kandas, dan tentang kesendiriannya hidup di Ibu Kota. Hidup sendiri membentuk pola pikirnya yang realistis.

Tak hanya itu, dalam beberapa surat muncul pertanyaan-pertanyaan random yang menggelitik, seperti, Dari mana semesta ini bermula dan kemana semesta ini berakhir? Mungkinkah kini aku sedang menempati dunia mimpi? Apakah mungkin salah seorang yang kutemui di jalan adalah orang-orang yang sedang bermimpi? Pertanyaan yang mempertanyakan eksistensinya sebagai “manusia”.

Kita benar-benar layaknya membaca tumpukan surat yang seperti suara hati “Aku” yang ditujukan kepada orang lain. Pemilihan diksinya mampu menahan saya untuk tetap membaca sampai akhir. Perasaannya tersampaikan dengan baik, bahkan saya bisa membayangkan bagaimana ia sendirian sepanjang hidupnya, kehilangan satu-satunya sahabat yang dipercayanya.  Bahkan, penggambaran mimpi-mimpi buruknya pun terasa amat menyakitkan.

Lewat buku ini, Mbak Dewi mengingatkan, bahwa setiap pilihan yang kita ambil, baik spontan atau tidak, tetaplah memiliki konsekuensinya sendiri.

“Pada akhirnya, setiap konsekuensi dari pilihanku harus kutanggung sendiri dan seberapa mampu aku dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah yang menentukan kedewasaanku.”—pg. 98

Kisahnya yang seolah monoton, tak terasa dengan gaya bercerita yang sederhana dan topik yang bervariasi. Sepanjang halaman, tidak akan ditemui sepotong dialog pun. Bahkan, tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya dibuat anonim.

“Bahwa segala hal, sekalipun seolah-olah repetitif, tak akan terulang persis.”—pg. 135

Ada satu surat yang menjadi favorit saya, surat ke-14. Saat ia akhirnya bertemu dengan pria Seniman. Ia tergambarkan amat bahagia, terlebih cara pria itu menyatakan cintanya. Bisa saya bayangkan suasana yang tercipta di sekitar mereka. Saya menyukainya. Saya menyukai mereka berdua, bahkan saya turut merasa bahagia karena “Aku” menemukan orang yang sesuai dengan dirinya.

Surat ini berakhir pada angka 37, dengan surat terakhir yang tidak selesai, karena “Aku” harus bergegas pulang.


Ada satu-dua kesalahan tulisan yang tidak terlalu mengganggu keseluruhan cerita. Selebihnya, saya rasa pantas untuk diberi 5 bintang.

Medan, T.

No comments:

Post a Comment