Sumber: Goodreads.com |
Judul Buku : Surat Panjang Tentang Jarak Kita
yang Jutaan Tahun Cahaya
Penulis :
Dewi Kharisma Michellia
Penerbit :
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan :
I, Juni 2013
Tebal : 240 hal
Rate : 5/5
Buku dengan judul yang cukup panjang ini
sebenarnya sudah pernah saya baca. Review ini saya tulis ketika saya membaca
untuk yang kesekian kalinya, namun sedikit lebih seksama.
Ini merupakan setumpuk surat yang tak pernah
sampai. Dari seorang wanita yang terlalu terpaku pada Tuan Alien—sahabatnya,
berdua mereka menolak dunia, mengklaim bahwa mereka tidak sama dengan “manusia”
lain di bumi. Segala tentang mereka amat mirip, mulai dari bentuk fisik hingga
kesukaan. Sampai terucaplah sebuah janji, mereka akan melawan dunia bersama,
dalam lingkaran pernikahan.
Wush!
Bak tertiup angin, Tuan Alien menghilang tanpa
kabar hingga puluhan tahun. Entah melajang atau tidak “Aku” tak pernah tahu,
yang “Aku” tahu, dia tidak ingin siapapun kecuali sahabatnya, Tuan Alien yang
menerimanya dan mengerti dirinya. Terlepas dari itu, “Aku” memang tidak
memiliki siapa-siapa. Kepada tuan pemilik toko buku langganannya, “Aku”
menceritakan semua tentang satu-satunya sahabat yang ia miliki sejak kecil,
yang kini bahkan tak ia ketahui keberadaanya. Sampai suatu saat sahabat
sekaligus cintanya itu hadir dalam bentuk sebuah undangan pernikahan. Tuan
Alien tak lagi menjadi alien-nya. Dari situlah, “Aku” mengawali berpuluh
surat-suratnya.
Buku yang menjadi Pemenang Unggulan Dewan
Kesenian Jakarta 2012 ini ditulis dalam bentuk surat-surat tak beralamat. Dalam
surat-surat itu tak hanya bercerita tentang Tuan Alien, namun juga kehidupan “Aku”.
Ia bercerita tentang peliknya menjadi anggota pers pada era Orde Baru, tentang sistem
patrilineal dalam keluarganya, tentang ia yang ragu kalau ia bahkan memiliki
keluarga, tentang cinta yang selalu kandas, dan tentang kesendiriannya hidup di
Ibu Kota. Hidup sendiri membentuk pola pikirnya yang realistis.
Tak hanya itu, dalam beberapa surat muncul pertanyaan-pertanyaan
random yang menggelitik, seperti, Dari mana semesta ini bermula dan kemana
semesta ini berakhir? Mungkinkah kini aku sedang menempati dunia mimpi? Apakah
mungkin salah seorang yang kutemui di jalan adalah orang-orang yang sedang
bermimpi? Pertanyaan yang mempertanyakan eksistensinya sebagai “manusia”.
Kita benar-benar
layaknya membaca tumpukan surat yang seperti suara hati “Aku” yang ditujukan
kepada orang lain. Pemilihan diksinya mampu menahan saya untuk tetap membaca
sampai akhir. Perasaannya tersampaikan dengan baik, bahkan saya bisa
membayangkan bagaimana ia sendirian sepanjang hidupnya, kehilangan satu-satunya
sahabat yang dipercayanya. Bahkan,
penggambaran mimpi-mimpi buruknya pun terasa amat menyakitkan.
Lewat buku
ini, Mbak Dewi mengingatkan, bahwa setiap pilihan yang kita ambil, baik spontan
atau tidak, tetaplah memiliki konsekuensinya sendiri.
“Pada akhirnya, setiap
konsekuensi dari pilihanku harus kutanggung sendiri dan seberapa mampu aku
dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah yang menentukan kedewasaanku.”—pg.
98
Kisahnya yang seolah monoton, tak terasa dengan
gaya bercerita yang sederhana dan topik yang bervariasi. Sepanjang halaman, tidak
akan ditemui sepotong dialog pun. Bahkan, tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya
dibuat anonim.
“Bahwa segala hal,
sekalipun seolah-olah repetitif, tak akan terulang persis.”—pg. 135
Ada satu surat yang menjadi favorit saya, surat
ke-14. Saat ia akhirnya bertemu dengan pria Seniman. Ia tergambarkan amat
bahagia, terlebih cara pria itu menyatakan cintanya. Bisa saya bayangkan
suasana yang tercipta di sekitar mereka. Saya menyukainya. Saya menyukai mereka
berdua, bahkan saya turut merasa bahagia karena “Aku” menemukan orang yang sesuai
dengan dirinya.
Surat ini berakhir pada angka 37, dengan surat
terakhir yang tidak selesai, karena “Aku” harus bergegas pulang.
Ada satu-dua
kesalahan tulisan yang tidak terlalu mengganggu keseluruhan cerita. Selebihnya,
saya rasa pantas untuk diberi 5 bintang.
Medan, T.
No comments:
Post a Comment