Pages

Friday, June 20, 2014

Penghujung Abu-Abu (II)

Beruntungnya saya, tahun pertama SMA bisa saya lewati tanpa kurang apapun.


***

Akhirnya saya terlepas dari tahun sebagai junior. Selama satu tahun saya menjadi siswa yang tidak terlalu aktif di kelas, namun saya imbangi di ekskul, walaupun harus banyak-banyak makan hati. Tahun pertama sebagai senior di SMA dan di Temuga, saya berusaha untuk tidak menjadi senior yang dibenci. Sebisa mungkin saya membangun hubungan kakak-adik yang baik. Kami mencoba mendidik mereka menjadi pribadi yang baik, yang tidak menyalurkan dendam mereka kepada adik kelas mereka nantinya. Saya dan yang lainnya juga berusaha untuk membangun komunikasi dengan Bunda, bertukar cerita dan meminta pendapat atas masalah yang kami hadapi. Banyak yang saya pelajari dari Bunda. Mulai dari menjadi murid yang baik, menjadi kakak kelas yang patut dijadikan contoh, bahkan menjadi seorang remaja yang tidak gegabah dalam memilih berbagai pilihan untuk dijalani. Kami juga semakin sering bertukar pikiran tentang apa saja.

Lain di ekskul, lain pula di kelas. Tahun kedua waktu itu saya merasa seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Saya bingung saat di tempatkan di kelas XI IPA 3, entah apa yang saya bingungkan waktu itu. Kebingungan saya sejenak menguap saat tahu saya kembali satu kelas dengan Hilda, dan juga saya sangat bersyukur satu kelas dengan 3 orang dari Temuga yang lainnya.

Sunday, June 8, 2014

Penghujung Abu-Abu (I)

Assalamualaikum.

Baru bulan lalu saya resmi dinyatakan lulus sekolah menengah atas, menanggalkan seragam sekolah saya untuk seterusnya. Jadilah saya bukan siswa, belum pula mahasiswa walaupun saya sudah tahu di mana saya akan melanjutkan pendidikan saya. Saya ingin bercerita bagaimana tiga tahun saya tumbuh dalam warna abu-abu.

Mungkin waktu itu bulan Juni atau Juli 2 tahun lalu, saya lupa, rok seragam saya abu-abu alih-alih biru. Bukan lagi seragam pendek, melainkan panjang. Saya masuk dengan pemikiran masa orientasi yang akan saya hadapi waktu itu adalah salah satu dari pembodohan yang akan saya temui. Saya bukannya menentang masa orientasi, saya hanya kesal dengan ulah kakak kelas saya yang terkesan mencari-cari alasan untuk marah-marah selama masa orientasi tersebut. Saya dulu saya termasuk orang yang sewot terhadap senioritas yang berlebihan, bahkan mungkin sampai saat ini saya merasa begitu. Kalau boleh jujur dan tidak bermaksud berburuk sangka, saya selalu merasa beberapa kakak kelas saya ingin membuat juniornya merasakan apa yang dulu mereka rasakan saat ada di posisi kami saat itu. Saya tidak pernah pulang dengan hati yang berbunga-bunga selama 3 hari itu. Selalu ada umpatan yang saya sumbangkan setiap sore untuk tingkah mereka. Tapi, tidak semua kakak kelas seperti itu. Selalu ada kakak kelas yang lebih menghargai juniornya tanpa membuatnya dilupakan sebagai senior. Saya senang dengan orang-orang yang tahu kapan harus memasang sikap sebagai senior dan kapan tidak. Karena percayalah, kalian akan lebih senang jika disegani daripada ditakuti.

Friday, May 16, 2014

Mengarungi Pelaruga

Assalamualaikum, hai, semua!

Jadi, beberapa minggu yang lalu. Saya dan kelima teman saya sepakat untuk mengisi waktu libur kami yang panjang ini dengan tracking di Pelaruga. Tempat wisata yang tergolong baru ini sudah memasuki wilayah Langkat. Ada banyak spot jungle track yang bisa dijumpai di sini, antara lain Sungai Abadi dan Teroh-Teroh yang menjadi tujuan kami.

A moment before an adventure
Kami berangkat dari Medan sekitar pukul 08.00 WIB dengan menggunakan sepeda motor. Tidak, kami tidak konvoi yang merugikan pengguna jalan. Kami hanya enam remaja yang sedang menikmati masa liburan yang nyaris membosankan. Perjalanan yang ditempuh cukup jauh. Kurang lebih membutuhkan waktu 3 jam untuk sampai ke tujuan. Bisa dibayangkan rasanya naik motor selama 3 jam non stop? Kebas bukan main. Tapi, perjalanan 3 jam belum seberapa dengan medan yang akan kami tempuh nantinya.

Saturday, April 19, 2014

Karena Menjadi Kreatif Itu Sederhana

Judul Buku      : Sila Ke-6: Kreatif Sampai Mati
Penulis             : Wahyu Aditya
Penerbit           : Bentang, Yogyakarta
Cetakan           : I, Januari 2013
                          II, Februari 2013
                          III, Mei 2013
Tebal               : xviii + 302 hlm

Sinopsis lihat di sini.



“Jadilah seperti anak kecil, hilangkan prasangka agar tercipta karya-karya kreatif.”
 – Thomas Huxley

Kenapa harus takut menjadi kreatif? Sedang kreatif bisa merubah ketakutan menjadi kekuatan untuk menjadi orang yang produktif. Contohnya saja, kita bisa membuat gambar atau bentuk binatang yang paling kita takuti, beri sedikit sentuhan imajinasi menarik, kemudian aplikasikan di beberapa media, dan mungkin bisa menjadi barang yang memiliki nilai jual. Hasil yang akan kita dapat tergantung dengan bagaimana kita menggunakan otak kanan kita untuk menuangkan kreatifitas kita dalam wadah kosong. Bukan soal bila karya yang kita hasilkan berlabel masterpiece atau tidak, karena tidak ada karya yang bagus atau tidak bagus, yang ada hanyalah suka atau tidak suka. Begitulah yang diungkapakan oleh Wahyu Aditya atau yang biasa disapa Mas Wadit dalam bukunya yang berjudul “Sila Ke-6: Kreatif Sampai Mati”.

Mimpi Melanggar "Teritori"

Katanya, hidup berawal dari sebuah mimpi. Banyak persepsi tentang mimpi itu sendiri. Beberapa orang mengatakan, “Jangan bermimpi terlampau tinggi, kelak jatuh akan mendalam sakitnya.”, beberapa ada pula yang seolah menjawab pemikiran pertama, “Bagaimana kita tau bangkit, jika tak pernah jatuh sebelumnya?”, beberapa lagi malah mengatakan, “Gantungkanlah mimpimu setinggi-tingginya, karena percayalah kamu tidak akan jatuh sedalam-dalamnya.”. Atau yang lebih menggelikan, mereka yang menghadang mimpi orang lain, entah itu dengan kata, maupun tindakan.

Terkadang saya merasa lucu sekaligus prihatin melihat orang yang menertawai mimpi orang lain hanya karena mimpi itu berada di luar lingkarannya. Layaknya sebuah lelucon yang mustahil dan tidak masuk akal, mereka tertawa atas mimpi yang setinggi langit itu. Katakanlah mereka yang tertawa itu adalah orang yang merasa dirinya mampu atas segala hal, pun mimpi orang lain dia yang mengatur. Apa mereka harus bertindak sekejam itu? Bukankah mimpi itu harusnya indah dan tanpa beban? Kita bebas untuk menggantung mimpi di bentangan langit, di samping itu, yang perlu kita lakukan hanyalah mengusahakan agar mimpi itu tidak menjadi sekedar mimpi. Mereka yang tertawa sesungguhnya telah menghilangkan estetika sebuah mimpi. Membuatnya menjadi buram, tampak jauh di atas, sehingga si empunya mimpi tak mampu meraihnya. Seharusnya mereka yang tertawa itu mengasihani diri mereka sendiri karena tidak mampu bermimpi setinggi orang yang bermimpi di luar batas.

Saturday, April 12, 2014

Detik-Detik Sebelum Hari Senin

Assalamualaikum!

Hai, dua hari lagi sudah harus membayar 1080 hari di SMA dengan 3 hari UN. Gak nyangka, ya, saya sudah setua ini. *tertawa miris*

Yah, mungkin buat yang baca ini mikirnya, "Ini anak mau ujian bukannya belajar malah nge-blog, emangnya ntar keluar pas UN?", atau hipotesis lainnya. Ya, jujur aja saya sih mumet belajar, mau ngurangin beban di otak lewat nonton tv, malah makin stress, jadilah saya lari ke sini, itung-itung ada temen ngobrol walaupun satu arah. *ngeringkuk di pojokan*

Monday, March 17, 2014

Sebuah Cerita dari Balik Dinding

Menyenangkan rasanya ternggelam dalam rengkuhan yang kuciptakan sendiri. Menjalari hangat yang menyelinap di antara sergapan dinginnya tembok di sekelilingku. Butir-butir rasa nyaman yang kupungut satu per satu di jalan yang mulai terlupakan. Entah aku yang terlalu sensitif atau memang aku yang selalu di belakang.

Aku merasa terlampau monoton, terlampau konsisten dalam arti yang tidak menyenangkan, aku nyaris bisa menebak kemana angin akan membawa kisah yang kuhadapi. Aku tidak menyalahi apa-apa, atau siapa-siapa. Aku hanya...mungkin aku hanya lelah. Sangking lelahnya, aku buta arah, tak lagi tahu kemana harus berlari, tak lagi tahu kemana harus pulang.

Sunday, March 2, 2014

Karena untuk sejenak saja, saya terlena karena merasa begitu penting bagi orang lain. Dan untuk kesekian kalinya, saya merasa begitu menyedihkan, karena harus kembali tertipu. Karena, kemana pun saya berlari, sepertinya akan menemukan hal yang sama. Saya lemah akan iming-iming kata-kata manis. Saya lemah akan segala tindak pencitraan-ala-caleg. Untuk yang entah ke berapa, saya tertipu.