Sesaknya masih ada, tapi tidak sedahsyat dulu. Entah karena ini bagian dari proses atau karena sudah terbiasa seperti ini. Susah mendeskripsikan getaran yang menggelitik batin, ingin marah, tapi tak punya alasan untuk meluapkannya. Ingin protes, tapi tak punya predikat apa-apa. Ingin menangis, tapi merasa terlalu bodoh untuk melakukannya. Jadi, ya aku diam saja.
Segurat senyum getir terukir jelas pada wajah yang terlihat di cermin. Ah, dia masih berusaha berdiri ternyata. Tampak ia menahan tawa dalam balutan wajah lusuhnya. Dalam kepalanya dia terpingkal-pingkal setengah mati melihat kenyataan yang terhampar di depan hidungnya. Seakan dunia berkonspirasi untuk membuatnya kalah telak. Tak perlulah berburuk sangka, toh kalaupun dia kalah telak untuk saat ini, dia sudah mengenal ranjau-ranjau yang ditebar di seluruh kesempatan dan pilihan yang disodorkan. Setidaknya dia berusaha menjadi tameng untuk dirinya sendiri. Sekalipun dia sempat berharap "ditamengi" orang lain, dia tau, cepat atau lambat, tamengnya itu akan bosan dan mencari makhluk lain yang jauh lebih mudah untuk ditamengi tanpa banyak protes.
Dia mencoba ikhlas dan kembali berdiri, tapi langkahnya selalu terhenti tatkala kenangan mengetuk hatinya. Dia malah dengan senang hati menjamu tamu yang diam-diam menenggelamkannya. Dia sibuk bermonolog sembari memproyeksikan si tamu, tanpa melewatkan setiap detail yang masih tersimpan dalam memorinya. Akhirnya dia sadar, sia-sialah dia berusaha melupakan kalau dia terus mengingat apa yang harus dia lupakan.
Dia masih orang yang sama. Masih aku yang sama. Alasan yang selama ini kupertanyakan, kini terkuak sudah. Dari awal aku sangat menyayangkan ketidakjujuran yang kau ciptakan sendiri.
Tenang saja, kudoakan kebahagiaanmu.
No comments:
Post a Comment