Pages

Wednesday, October 17, 2012

Gadis di Balik Cermin

Gadis di balik cermin itu tersenyum, tampak air mata telah kering di sudut korneanya. Matanya sayu, sembab, menyiratkan ia terlalu lelah menangis, tidak kuasa lagi untuk sekedar membiarkan air mata berlari riang di pipinya. Pandangannya menerawang, jauh mengintip dirinya yang dulu. Tak jarang rasa iri menggelitik batinnya. Dia iri pada dirinya sendiri. Pundaknya turun, seakan bebannya terasa nyata di bahunya. Nafasnya berat, sesekali dia berusaha menyesap oksigen dengan seluruh jiwanya, namun tak juga mampu menenangkan hatinya.

Dia diam, namun jutaan pertanyaan menggaung di kepalanya. Dia mencoba ikhlas, menerima segala keputusan yang harus menamparnya sekali lagi. Dia tetap tersenyum, berusaha untuk tetap berdiri di atas kakinya sendiri. Dia tertawa, mencoba terlihat bahagia dengan menertawakan air matanya yang tumpah. Dia menengadah ke angkasa, menunggu hujan bersedia meluruhkan sakitnya, menghapuskan tangisnya, menghanyutkan lelahnya. Dia di sana, menunggu sang waktu berbaik hati membuktikan padanya bahwa dia memang pantas bahagia.

Dia terlalu lelah menanggung rindu yang harus ditelannya sendiri. Dia terlalu mencintai lelaki di seberang Selat Sunda sana. Tapi, dia bersedia menunggu. Dia menunggu, tetap menunggu, memperhatikan detik yang seakan melambat saat dia memintanya bergerak lebih cepat. Terlukis jelas di matanya kelelahan hatinya. Tampak sesekali dia menelan ludah, peluh kegelisahan membasahi pelipisnya. Banyak yang ingin dia sampaikan, tapi tak juga dia temukan kosa kata yang tepat. Dia memilih untuk tetap diam. Membiarkan semuanya terjadi atas kehendak yang Maha Kuasa. Dia lebih memilih menikmati rasa sakit yang didapatnya. Dia lebih memilih tertawa demi mencegah air matanya terjun bebas di lekukan wajahnya.

Dia menarik nafas sedalam mungkin untuk yang kesekian kalinya. Rasa sesak yang mengikat paru-parunya tak kunjung hilang. Dia mencoba terlihat baik-baik saja, tapi dia lupa bagaimana cara bahagia. Dia lupa bagaimana caranya kembali ke dirinya yang dulu. Dia lupa bagaimana rasa nyaman yang menghangatkan mimpinya. Dia sudah terlalu jauh dan buta. Pikirannya sudah terlalu kompleks untuk gadis seumurannya, yang mestinya tertawa lepas menikmati hidup. Dia hanya ingin dibutuhkan, walaupun hanya diingat sedetik, itu terasa amat cukup baginya.

Kenalkan, dia itu aku. Aku mencintaimu.

No comments:

Post a Comment