Pages

Monday, February 9, 2015

Antara Realistis dan Eskapisme


Satu semester berlalu dengan ketenangan yang—sebenarnya sedikit—dipaksakan. Waktu seolah menggelinding begitu saja, tahu-tahu sudah pukul sekian, sudah minggu ke sekian. Saya sendiri seperti orang linglung karena kesulitan mengingat hari. Saya ingat pernah meminta biar tahun ini bergulir saja dengan cepat, tapi saya tidak pernah menyangka akan secepat ini. Masih gamang kalau menelisik beberapa langkah ke belakang, takjub pada apa yang telah saya lewati, ternyata sekeras itu saya tertempah 2 tahun yang lalu, yang bisa saya rasakan dampaknya sekarang ini.

Tidak ada lagi wajah-wajah menyebalkan yang sangat familier bagi mata saya selama 3 tahun yang lewat. Wajah baru yang berusaha saya kenali 6 bulan belakangan inilah yang berlalu lalang hampir tiap hari. Orang-orang yang akan mengumpat bersama saya ke depannya. Orang-orang yang mungkin akan melihat saya jatuh untuk kemudian bangkit kembali. Saya sama sekali tidak punya gambaran akan seperti apa saya menjalani tahun-tahun ke depan. Menerka pun tidak berani, takut dikecewakan mimpi.

Tapi, saya menolak belama-lama terjebak dalam kenyamanan masa SMA. Saya menolak menganggap semuanya masih sama. Karena, semuanya tidak lagi sama, just to be realistic. Pola pikir yang terbentuk jelas-jelas berbeda. Tidak lagi bisa melulu mengeluh, sudah saatnya untuk menerima dan menjalani, suka atau tidak suka saya sudah berada di lingkup yang berbeda.

Saya menyukai hal baru, sekaligus ngeri. Saya masih terlalu takut untuk tertampar, memikirkan kemungkinan hal itu terjadi pun enggan. Terjun ke dunia yang sama sekali baru merupakan teka-teki yang harus saya pecahkan sendiri. Jujur saja, cerita orang lain tidak pernah terdengar memuaskan. Begitu banyak hal baru yang ingin saya lakukan. Lag-lagi, saya hanya diam di garis awal, tanpa pernah mengambil langkah pertama di saat orang lain entah sudah melayang kemana.

6 bulan saya menjadi mahasiswi. Kalau boleh jujur, saya geram dengan kegiatan di kampus yang itu-itu saja. Datang, kuliah, seliweran kesana-kemari, menyelesaikan tugas, pulang. Saya rindu berkarya. Rindu beraktivitas di luar kegiatan akademis. Rindu melalang buana untuk berkesenian. Tapi, kembali saya bertanya, mau kemana saya lampiaskan rindu saya ini? Sebut saja saya banyak maunya, tidak mau bergabung dengan yang ini karena saya merasa tidak cocok dengan orang-orang di dalamnya. Tidak mau bergabung dengan yang itu, karena saya tidak mau bergantung lebih jauh dengan orang yang sama, saya ingin mencoba mandiri, berkarya dengan orang yang berbeda. Tidak mau dengan yang di sana, karena saya merasa akan mengkhianati yang satunya. Tidak mau dengan yang satunya, karena saya merasa sendiri. Begitu banyak yang tidak saya inginkan, ujung-ujungnya, terombang-ambing di putar waktu. Berpuluh putaran berlalu dengan sia-sia. Bahkan saya tidak tahu apa yang benar-benar saya inginkan.

Mungkin sebenarnya sederhana saja kalau saya lebih membuka diri. Akan jauh lebih mudah kalau saya seorang yang spontan. Berani menceburkan diri lantas memikirkan resikonya setelah hanyut. Terlalu banyak menerka dan menimbang malah mengulur waktu dan menyisakan sedikit untuk bernafas. Waktu saya habis untuk berpikir secara berlebihan. Belakangan, selalu saya niatkan dalam hati untuk lebih mantap melangkah. Bukan berarti saya meninggalkan kebiasaan untuk merencanakan skenario pribadi di pikiran saya sendiri. Saya masih tetap memikirkan semua kemungkinan.

It's just like I lost me.

Salam,

Suara-suara di kepala

No comments:

Post a Comment