Satu
semester berlalu dengan ketenangan yang—sebenarnya sedikit—dipaksakan. Waktu
seolah menggelinding begitu saja, tahu-tahu sudah pukul sekian, sudah minggu ke
sekian. Saya sendiri seperti orang linglung karena kesulitan mengingat hari.
Saya ingat pernah meminta biar tahun ini bergulir saja dengan cepat, tapi saya
tidak pernah menyangka akan secepat ini. Masih gamang kalau menelisik beberapa
langkah ke belakang, takjub pada apa yang telah saya lewati, ternyata sekeras
itu saya tertempah 2 tahun yang lalu, yang bisa saya rasakan dampaknya sekarang
ini.
Tidak ada
lagi wajah-wajah menyebalkan yang sangat familier bagi mata saya selama 3 tahun
yang lewat. Wajah baru yang berusaha saya kenali 6 bulan belakangan inilah yang
berlalu lalang hampir tiap hari. Orang-orang yang akan mengumpat bersama saya
ke depannya. Orang-orang yang mungkin akan melihat saya jatuh untuk kemudian
bangkit kembali. Saya sama sekali tidak punya gambaran akan seperti apa saya
menjalani tahun-tahun ke depan. Menerka pun tidak berani, takut dikecewakan
mimpi.
Tapi, saya menolak belama-lama terjebak dalam kenyamanan masa SMA. Saya menolak menganggap semuanya masih sama. Karena, semuanya tidak lagi sama, just to be realistic. Pola pikir yang terbentuk jelas-jelas berbeda. Tidak lagi bisa melulu mengeluh, sudah saatnya untuk menerima dan menjalani, suka atau tidak suka saya sudah berada di lingkup yang berbeda.
Saya menyukai
hal baru, sekaligus ngeri. Saya masih terlalu takut untuk tertampar,
memikirkan kemungkinan hal itu terjadi pun enggan. Terjun ke dunia yang sama
sekali baru merupakan teka-teki yang harus saya pecahkan sendiri. Jujur saja,
cerita orang lain tidak pernah terdengar memuaskan. Begitu banyak hal baru yang
ingin saya lakukan. Lag-lagi, saya hanya diam di garis awal, tanpa pernah
mengambil langkah pertama di saat orang lain entah sudah melayang kemana.
6 bulan
saya menjadi mahasiswi. Kalau boleh jujur, saya geram dengan kegiatan di kampus
yang itu-itu saja. Datang, kuliah, seliweran kesana-kemari, menyelesaikan
tugas, pulang. Saya rindu berkarya. Rindu beraktivitas di luar kegiatan
akademis. Rindu melalang buana untuk berkesenian. Tapi, kembali saya bertanya,
mau kemana saya lampiaskan rindu saya ini? Sebut saja saya banyak maunya, tidak
mau bergabung dengan yang ini karena saya merasa tidak cocok dengan orang-orang
di dalamnya. Tidak mau bergabung dengan yang itu, karena saya tidak mau
bergantung lebih jauh dengan orang yang sama, saya ingin mencoba mandiri,
berkarya dengan orang yang berbeda. Tidak mau dengan yang di sana, karena saya
merasa akan mengkhianati yang satunya. Tidak mau dengan yang satunya, karena
saya merasa sendiri. Begitu banyak yang tidak saya inginkan, ujung-ujungnya,
terombang-ambing di putar waktu. Berpuluh putaran berlalu dengan sia-sia.
Bahkan saya tidak tahu apa yang benar-benar saya inginkan.
Mungkin
sebenarnya sederhana saja kalau saya lebih membuka diri. Akan jauh lebih mudah
kalau saya seorang yang spontan. Berani menceburkan diri lantas memikirkan
resikonya setelah hanyut. Terlalu banyak menerka dan menimbang malah mengulur
waktu dan menyisakan sedikit untuk bernafas. Waktu saya habis untuk berpikir
secara berlebihan. Belakangan, selalu saya niatkan dalam hati untuk lebih
mantap melangkah. Bukan berarti saya meninggalkan kebiasaan untuk merencanakan skenario
pribadi di pikiran saya sendiri. Saya masih tetap memikirkan semua kemungkinan.
It's just like I lost me.
Salam,
Suara-suara di kepala
No comments:
Post a Comment