Pages

Saturday, June 20, 2015

Halo, 13

“Pi, ekskul apa?”
“Ntah. Abangku nyuruh Temuga aja.”
“Terus?”
“Yaudahlah, coba aja dulu. Kau Temuga aja udah.”
“Ng... Okelah.”
***
 “Hilda, nanti mau daftar ekskul apa?”
“Temuga. Tias?”
“Eh, sama.”
“Iya? Ntar ngasih formulirnya bareng, ya.”
“Sip.”
***
“Perkenalkan, nama saya Tias Septilia, panggilan Tias. Kelas X-2. Mirip artis, Indah D P. Motivasi masuk Temuga, ikut temen.”
***
Suasana sekolah yang saat itu sudah riuh akibat MOS, bertambah riuh perihal promosi ekstrakurikuler. Yang saya ingat, waktu itu ada satu ekskul yang langsung membuat saya tertarik. Temuga. Tau apa yang membuatnya tampak menarik? Baju seragamnya. Kaos lengan panjang berwarna hitam. Desainnya pada waktu itu, terdapat logo Temuga yang setidaknya memakan lebih dari setengah bidang depan baju, tulisan TEMUGA di kanan lengan, tulisan angkatan serta slogan AKAKIS tercetak di belakang baju. Kali pertama melihatnya, langsung terbayang tampang saya saat mengenakannya. Tidak buruk.
Selepas MOS sekolah, senior dari berbagai ekskul sibuk menjajakan formulir pendaftaran ekskul yang mereka geluti. Saling berteriak tak mau kalah. Dapat saya rasakan gulungan kertas HVS berwarna di genggaman saya. Formulir Temuga. Hanya perlu mengisi biodata, kemudian kembalikan kepada senior di ekskul tersebut. Masalahnya, niat. Antara ogah-ogahan dan tidak sabar untuk mengembalikan formulirnya. Terus berusaha mencari teman, lantas berani mengembalikan formulir.
Pada saat itu, atau mungkin sampai saat ini, MOS Temuga bukanlah hal yang paling ingin kuikuti. Adu mulut pun kulakukan karena kepalang tersulut emosi. Bisa kurasakan mataku menikam orang-orang yang berada di sekitarku saat itu. Sampai akhirnya ketika saya di posisi mereka, saya paham, beginilah cara mereka menyalurkan rasa kekeluargaan. Beginilah cara mereka mengajarkan untuk berani mengambil langkah.
Bermula dari kegiatan MOS Temuga, kami yang disebut sebagai angkatan 13 mulai berusaha untuk merajut persaudaraan. Awalnya, kata “saudara” hanya sebuah formalitas dalam forum. Semakin lama, saudara tak sekedar formalitas, tapi tersimpan di hati kami. Tanpa pandang gender, suku, maupun sifat kami mulai berjalan bersisian. Menjadi anak bungsu tak pernah mudah. Acap kali hanya di pandang sekilas sudah menjadi makanan sehari-hari. Seiring dengan itu, mental kami terus tertempah. Tak lagi menjadi anak manja yang cengeng, saling merangkul untuk bisa berdiri tegak. Kami mungkin tampak acuh, berisik, bahkan tidak tau malu, tapi kami ditempah untuk menjadi pribadi yang berani, tidak kalah dengan diri sendiri, dan tanggap akan situasi.
Masa penempahan ini sendiri adalah masa seleksi. Kami menyebutnya seleksi alam. Hanya tersisa 23 orang dari kami yang bertahan. Entah pasrah atau bebal, kami tidak pernah tau. Apakah ada laki-laki? Ada, 5 orang. Merekalah yang kemudian menjadi saudara laki-laki yang tidak pernah saya miliki, menjadi pilar bagi kami, sedang sisanya, menjadi saudara perempuan yang tidak kenal ampun. Selama 3 tahun kami mengklaim bahwa kami adalah saudara bagaimana pun ceritanya, kami tau hal-hal terburuk setiap anggota. Bukan berarti kami akan membiarkan setiap ada yang berulah. Kami berusaha untuk saling mengingatkan, oh, tanpa kata-kata pemanis tentunya. Sebagian besar dari kami memiliki kebiasaan untuk langsung berbicara pada inti permasalahan, entah itu menyakitkan atau tidak, sudah bukan menjadi hal yang kami pikirkan. Karena terkadang, memang yang seperti itulah yang kami butuhkan untuk bisa menjadi diri kami sekarang ini. Sebagai tambahan, mereka bukan tipikal orang yang menggaunggkan kepedulian. Dengan cara yang berbeda, mereka mampu menunjukkan rasa sayang di antara kami.
Mereka adalah sekumpulan orang-orang yang tidak pernah lupa dan tidak pernah lelah untuk tertawa. Kekalahan sekalipun tidak berhasil merenggut tawa dalam jiwa mereka. Dan saya merasa nyaman dengan itu.
Dari semua hal yang saya lewati, ada momen di mana terdapat sebuah perasaan yang mengalir dan tidak tergantikan saat kami membentuk lingkaran dengan tangan saling terkait satu sama lain—menyalurkan kekuatan serta keberanian, untuk kemudian melantangkan slogan yang seolah menjadi pengikat bagi kami. Aku Kami Kita Satu.

No comments:

Post a Comment