“Pi, ekskul apa?”
“Ntah. Abangku nyuruh Temuga aja.”
“Terus?”
“Yaudahlah, coba aja dulu. Kau Temuga aja
udah.”
“Ng... Okelah.”
***
“Hilda, nanti mau daftar ekskul apa?”
“Temuga. Tias?”
“Eh, sama.”
“Iya? Ntar ngasih formulirnya bareng, ya.”
“Sip.”
***
“Perkenalkan, nama saya Tias Septilia,
panggilan Tias. Kelas X-2. Mirip artis, Indah D P. Motivasi masuk Temuga, ikut
temen.”
***
Suasana
sekolah yang saat itu sudah riuh akibat MOS, bertambah riuh perihal promosi
ekstrakurikuler. Yang saya ingat, waktu itu ada satu ekskul yang langsung
membuat saya tertarik. Temuga. Tau apa yang membuatnya tampak menarik? Baju
seragamnya. Kaos lengan panjang berwarna hitam. Desainnya pada waktu itu,
terdapat logo Temuga yang setidaknya memakan lebih dari setengah bidang depan
baju, tulisan TEMUGA di kanan lengan, tulisan angkatan serta slogan AKAKIS
tercetak di belakang baju. Kali pertama melihatnya, langsung terbayang tampang
saya saat mengenakannya. Tidak buruk.
Selepas MOS
sekolah, senior dari berbagai ekskul sibuk menjajakan formulir pendaftaran
ekskul yang mereka geluti. Saling berteriak tak mau kalah. Dapat saya rasakan
gulungan kertas HVS berwarna di genggaman saya. Formulir Temuga. Hanya perlu
mengisi biodata, kemudian kembalikan kepada senior di ekskul tersebut.
Masalahnya, niat. Antara ogah-ogahan dan tidak sabar untuk mengembalikan
formulirnya. Terus berusaha mencari teman, lantas berani mengembalikan
formulir.
Pada saat
itu, atau mungkin sampai saat ini, MOS Temuga bukanlah hal yang paling ingin
kuikuti. Adu mulut pun kulakukan karena kepalang tersulut emosi. Bisa kurasakan
mataku menikam orang-orang yang berada di sekitarku saat itu. Sampai akhirnya
ketika saya di posisi mereka, saya paham, beginilah cara mereka menyalurkan
rasa kekeluargaan. Beginilah cara mereka mengajarkan untuk berani mengambil
langkah.
Bermula dari
kegiatan MOS Temuga, kami yang disebut sebagai angkatan 13 mulai berusaha untuk
merajut persaudaraan. Awalnya, kata “saudara” hanya sebuah formalitas dalam
forum. Semakin lama, saudara tak sekedar formalitas, tapi tersimpan di hati
kami. Tanpa pandang gender, suku, maupun sifat kami mulai berjalan bersisian.
Menjadi anak bungsu tak pernah mudah. Acap kali hanya di pandang sekilas sudah
menjadi makanan sehari-hari. Seiring dengan itu, mental kami terus tertempah.
Tak lagi menjadi anak manja yang cengeng, saling merangkul untuk bisa berdiri
tegak. Kami mungkin tampak acuh, berisik, bahkan tidak tau malu, tapi kami
ditempah untuk menjadi pribadi yang berani, tidak kalah dengan diri sendiri,
dan tanggap akan situasi.
Masa
penempahan ini sendiri adalah masa seleksi. Kami menyebutnya seleksi alam.
Hanya tersisa 23 orang dari kami yang bertahan. Entah pasrah atau bebal, kami
tidak pernah tau. Apakah ada laki-laki? Ada, 5 orang. Merekalah yang kemudian
menjadi saudara laki-laki yang tidak pernah saya miliki, menjadi pilar bagi
kami, sedang sisanya, menjadi saudara perempuan yang tidak kenal ampun. Selama
3 tahun kami mengklaim bahwa kami adalah saudara bagaimana pun ceritanya, kami
tau hal-hal terburuk setiap anggota. Bukan berarti kami akan membiarkan setiap
ada yang berulah. Kami berusaha untuk saling mengingatkan, oh, tanpa kata-kata
pemanis tentunya. Sebagian besar dari kami memiliki kebiasaan untuk langsung
berbicara pada inti permasalahan, entah itu menyakitkan atau tidak, sudah bukan
menjadi hal yang kami pikirkan. Karena terkadang, memang yang seperti itulah
yang kami butuhkan untuk bisa menjadi diri kami sekarang ini. Sebagai tambahan,
mereka bukan tipikal orang yang menggaunggkan kepedulian. Dengan cara yang
berbeda, mereka mampu menunjukkan rasa sayang di antara kami.
Mereka adalah
sekumpulan orang-orang yang tidak pernah lupa dan tidak pernah lelah untuk
tertawa. Kekalahan sekalipun tidak berhasil merenggut tawa dalam jiwa mereka. Dan
saya merasa nyaman dengan itu.
Dari semua
hal yang saya lewati, ada momen di mana terdapat sebuah perasaan yang mengalir
dan tidak tergantikan saat kami membentuk lingkaran dengan tangan saling
terkait satu sama lain—menyalurkan kekuatan serta keberanian, untuk kemudian
melantangkan slogan yang seolah menjadi pengikat bagi kami. Aku Kami Kita Satu.
No comments:
Post a Comment