Pages

Tuesday, September 1, 2015

Satu Tahun (Penghujung Abu-Abu III)

Satu tahun lagi terlewati dengan aman sentosa.

***

Genap setahun saya menanggalkan seragam putih abu-abu. Dalam jangka waktu itu pula saya menyandang status sebagai mahasiswi. Tidak lagi berbagi meja dengan Hilda, tidak lagi menelan mata pelajaran yang mengulas semua bidang sains. Sekarang saya di sini, mengambil jalan yang telah saya pilih beberapa hari tepat sebelum angket pemilihan jurusan dikembalikan ke bidang kurikulum sekolah.

Tahun ketiga saya sebagai siswi sekolah menengah atas terbilang santai. Di saat orang lain menyibukkan diri dengan bimbingan belajar dengan dalih mempersiapkan diri untuk ujian masuk universitas, saya memilih untuk mempersiapkan sendiri—dengan bantuan teman saya yang juga mengikuti bimbingan belajar. Saya hanya mengikuti bimbingan untuk memperdalam ilmu Kimia saya, entah kenapa, itupun hanya satu semester. Selebihnya, saya terus merecoki teman saya itu.

Tak banyak perubahan dalam pergaulan saya di kelas. Sedikit banyak, saya mulai membuka diri namun tetap membuat jarak. Saya lebih banyak menolak ketimbang mengiyakan ajakan mereka untuk sekedar makan bersama. Entah kenapa saya masih merasa asing. Tapi, tetap, bukan berarti saya membenci mereka. Saya hanya merasa...berbeda.

Tahun ketiga juga berarti melepas jabatan yang saya sandang di ekstrakulikuler yang saya geluti. Bagian ini yang paling berat sebenarnya. Selama 3 tahun kami berusaha untuk saling menerima, bukan sedikit waktu yang saya bagi bersama mereka. Sampai bosan rasanya. Ritual serah-jabatan bukanlah agenda yang saya sambut secara suka cita. Dengan melepas jabatan seolah menjadi lampu kuning—kami akan segera meninggalkan kelompok ini. Sekali lagi kami berdiri di hadapan adik-adik yang kelak akan memegang kendali yang telah setahun kami pegang, menghujani mereka dengan petuah-petuah dan harapan kami kedepannya. Kami terlalu menyayangi persaudaraan ini. Tapi, toh kami tetap harus bergerak maju.

Sebelumnya saya mengatakan bahwa saya memutuskan pendidikan saya yang selajutnya pada hari-hari terakhir. Rasanya saya benar-benar berpikir saat hendak menuliskan pilihan jurusan saya. Saya mencari pilihan yang sesuai dengan minat saya, tak sekedar bicara gengsi. Pilihan saya kerap berubah setiap saya memikirkan kelas yang saya tempati saat itu. Tidak banyak pilihan yang sesuai dengan minat dan kelas saya mengingat saya menempati kelas yang dominan membahas ilmu eksakta. Pilihan apa yang saya miliki? Sebisa mungkin saya menahan diri untuk “lintas-jalur”, karena saya pribadi—tanpa bermaksud meyinggung, akan merasa seperti merampas jalur orang lain. Jadilah, saya menuliskan jurusan saya sekarang ini dengan mantap, karena memang ini satu-satunya pilihan yang sesuai, dan saya tidak menyesal.

Selesai memikirkan masa depan, saya kembali dihadapi dengan kenyataan saya harus berpisah dengan orang-orang yang membuat masa SMA saya bergelombang. Kami akan mengambil jalan yang berbeda, dengan mimpi-mimpi yang berbeda, dan mungkin kelak kami akan menjadi orang yang berbeda. Saya tidak berani berharap terlalu jauh. Toh mereka akan menemui orang lain dengan paradigma yang jelas-jelas berbeda, tentunya akan berpengaruh pada mereka.

3 tahun berkeliaran dengan seragam putih abu-abu memberi saya banyak pelajaran. Saya tidak ingin menyesali semua yang terjadi, baik atau buruk. Saya hanya perlu memilah mana yang ingin saya ingat dan tidak, kan? Dan saya harap memang semudah itu.

Saya lulus dengan baik, saya juga diterima di jurusan yang saya pilih melalui jalur undangan, saya resmi melepaskan label “anak sekolahan”. Orang-orang di sekitar saya juga tak kalah membanggakannya. Lihat, kami sedang mengejar mimpi. Berharap akan kembali bertemu pada satu titik, saat kami tak lagi menadahkan tangan pada orang lain.


Satu fase telah saya lewati, menunggu satu fase lagi untuk ditaklukkan. Mari bergegas!


Di sudut kota,

T

No comments:

Post a Comment