Pages

Friday, April 6, 2012

Pasca-Ending


Mencoba untuk menjadi seseorang yang siap siaga layaknya tentara perang untuk orang yang kau sayangi walaupun kau tau dia sudah mempunyai orang lain yang jauh lebih pantas untuk tempat dia berlari bukanlah satu hal yang ingin kau coba dan akan kau senangi ketika kau merasakannya. Coba kau pikirkan, itu sama saja dengan upaya membunuh dirimu sendiri secara perlahan-lahan. Bukankah kau juga harus memikirkan ada sosok lain disana, yang bisa saja mencekikmu dengan tuduhan kau merebut pangeran berkuda putihnya? Yang benar saja! Cara bunuh diri yang buruk. Mungkin kau berpikir, kalau seandainya dia tidak bisa bersamamu sepajang waktu yang dia punya, setidaknya kau akan selalu ada untuknya kapanpun dia membutuhkanmu. Tapi, bukannkah itu menyakitkan? Kau hanya bisa bersamanya saat dia berada di masa-masa terburuknya, bukan setiap saat. Sedangkan saat kau terseok-seok mencoba bangkit dan berbalik arah kembali ke kehidupanmu sebelum mengenalnya, dia bahkan tidak menoleh untuk mencegahmu beranjak dari tempat yang kau pijak sekarang. Kau rela menyakiti dirimu sendiri hanya karena kau ingin menjadi orang yang dia cari saat dia jatuh. Kenapa aku berbicara seperti ini? Karena, ya, aku merasakannya. Menjengkelkan saat tau aku harus berjuang sendiri. Kau? Lihat yang ada di sampingmu. Kau tau? Ini tidak mudah. Aku tau pertahananku sangat lemah.

Aku baru sadar, kau menikamku secara perlahan dengan kata-katamu. Aku tidak sedang berusaha untuk menggambarkanmu sebagai orang yang mengenakan setelan hitam bak mafia yang sering muncul di telivisi. Aku tidak sedang membuatmu dipandang sebagai orang yang jahat. Mungkin kau tidak menyadari akan apa yang kau lakukan. Tapi, kau telah mengukir luka baru. Aku tidak bisa membencimu. Kau terlalu...yah, berarti. Aku berusaha untuk mengurangi kemungkinan aku berpapasan denganmu. Ternyata tidak lebih baik. Aku harus berupaya setengah mati untuk tidak berlari menghampirimu dan berbicara seperti dulu. Aku harus menahan rindu yang mencoba mendobrak pertahanan yang sedang kubangun sebelum akhirnya membludak keluar dan membuat keadaan menjadi semakin kacau. Dan kalau memang secara tidak sengaja aku berpapasan atau bahkan bertemu denganmu, aku tetap tidak bisa bersikap seperti apa yang dulu aku lakukan.

Diam-diam aku mencuri kenangan yang mungkin masih bisa kusimpan untuk kukenang selama kau berjalan di jalan yang kau pilih. Aku mencoba memproyeksikannya dengan mata tertutup, mencoba membayangkan aku kembali ke masa saat semuanya berjalan sempurna. Anehnya semua terasa asing. Tidak pernah menyangka akan terlihat buram sedemikian cepatnya. Merasa konyol, merasa sedang mengkhayalkan mimpi yang mustahil bisa terjadi. Semuanya terasa tidak nyata. Atau, memang begitu? Tidak mungkin begitu. Aku yakin kau bukan hanya sekedar potongan mimpi yang melayang entah kemana. Kau benar-benar hadir, kau bahkan meninggalkan jejak yang jelas di jalan setapak yang kutempuh.

Sejauh yang kuingat, semua berawal hanya dari lelucon sederhana. Siapa sangka kata-kata itu melahirkan sesuatu yang bahkan kata-kata pun tak mampu menggambarkannya secara spesifik? Menyedihkan. Aku hanya bisa mengingatnya sekarang, bukan merasakan gejolak yang ditimbulkan dari kata-kata yang keluar dari mulutmu. Berakhir secara tragis bukan hal yang baru yang layak digunakan untuk mengakhiri cerita dalam buku dongengku. Tidak ada yang pernah menduga kalau semuanya bisa menjadi serumit ini. Ibarat kata, kau memasukkan seutas kabel yang telah kau atur sedemikian rupa kedalam sakumu agar memudahkanmu ketika kau ingin memakainya, dan ketika kau mengeluarkannya, yang kau temukan adalah gulungan kabel yang tak beraturan. Aku rasa seperi itu. Tidak ada yang menduga kalau kesempurnaan yang terjadi di garis awal akan berakhir serumit ini. Aku juga tidak mau berada di posisi menyulitkan ini. Semua yang ku pilih seolah tak pernah benar, seolah tak akan pernah berakhir baik. Yang terbaik yang aku rasa untuk saat ini adalah ya seperti yang sedang kau dan aku usahakan. Membuat jarak, membuat jurang securam mungkin sampai tidak ada yang mau mengambil resiko terjatuh dengan melangkah mendekat satu sama lain. Ini sulit, mengingat apa yang kurasakan terhadapmu. Sempat terbesit gagasan di kepalaku, kenapa tidak mengambil peran antagonis saja? Seperti yang ada di film-film itu, yang pengambilan gambarnya di close-up dan suara hati yang bisa didengar oleh seluruh makhluk di muka bumi. Tapi, itu tindakan yang sangat...kekanak-kanakan mungkin. Kau bukan barang yang bisa kurebut sesuka hatiku. Kau menghirup udara yang sama denganku, bahkan untuk saat ini, saat aku melihatmu meniti pilihan yang kau ambil. Kau bergerak di bumi yang sama dengan yang aku pijak, bahkan untuk saat ini, saat kau tidak bergerak mendekat.

Aku merasa nafas yang ku ambil terasa semakin berat di setiap tarikannya saat aku melihatmu tertawa seakan-akan semuanya baik-baik saja. Aku merasa tidak terima. Apa kau tidak merasakan sedikitpun apa yang aku bimbangkan? Apa kau akan diam saja kalau aku memutuskan untuk pergi? Apa kau benar-benar telah memilih? Oke. Itu pertanyaan konyol. Lupakan.

Aku hanya merindukan penyebab aku bangun pagi dan selalu mengecek pesan yang masuk ke telepon genggamku. Kau.

No comments:

Post a Comment