Demam, badan nyeri semua, padahal ada mentas. Terpaksa mendem dirumah dulu sementara, gataunya harus nampil pagi itu juga, keter ganti baju pergi kesekolah dengan kepala yang pusingnya gak ketulungan. Selesai nampil, istirahat di aula, ketawa-ketawa kayak biasa. Gak lama, datang juga. Debar gak karuan, apalagi ngingat janji yang udah dibuat beberapa hari sebelumnya. Gak nyangka aja. Ini suaranya. Ini ketawanya. Ini senyumnya. Ini dia. —
Jum'at sore.
Ekskul rutin. Debarnya makin berasa, tapi nyoba buat ngontrol diri. Makin sore langitnya makin gelap, udah mulai turun rintik-rintik transparannya, gaklama, byur! Jebol, ujan deras. Ngungsi ke aula, duduk diem merhatiin materi yang dikasih. Monolog. Ngomong sendiri dengan backsound suara hujan yang beradu sama tanah. Udah lewat dari batas waktu yang ditentukan untuk tetap ngerem di sekolah. Salam teater dilapangan. Janjinya. Kayak kesetrum kecil. Semuanya terasa sangat nyata. Pengen rasanya nyabut batrai jam yang ada di setiap sudut. Biar jarumnya gak bergerak lagi. Oke, konyol, gak ngaruh sama sekali. Di satu sisi gamau ngelepas pergi, tapi di sisi lain, tau kalo ini salah. Maaf untuk itu.
***
Sabtu siang.
Ada pementasan teater, yang main mantan pelatih dulu. Semua berjalan sempurna. Nyampe sangat tepat pada waktunya, ngumpul dihalaman taman budaya. Jam 3, ngantri masuk, ngasih tiket ke mbak-mbak yang jaga di depan. Jujur, sedikit tersentuh. Mungkin karna memang tidak pernah diperlakukan seperti itu. Tertawalah selagi aku tidak bisa meraih kepalamu. Nyari tempat duduk. Janjinya. Ritme detaknya mulai kacau, harus bisa nahan otot muka yang langsung refleks buat senyum, malu. Kayaknya langit tau kapan situasi yang salah. Hujan deras lagi. Pementasan ditunda beberapa menit nunggu hujan sedikit mereda. Pementasan selesai, masih gerimis, mendung, seolah-olah ngasih pertanda negatif tentang hari ini. Perutpun mulai minta diisi, oke, makan dulu sebelum pulang. Untuk yang kedua kalinya, merasa tersentuh, dan ya, memang ini yang pertama. Sekali lagi, pengen rasanya ngancurin mesin yang ada disetiap jam di muka bumi. Gak rela kalo harus selesai hari itu juga. Tapi, ini udah salah, sangat salah. Matahari bersembuyi di barat, langit udah gelap, waktunya pulang.—
Merasa jadi orang yang teramat sangat jahat. Tau ini salah, tapi tetap kekeuh dijalanin, bukankah itu jahat? Kalo emang mau jadi jahat beneran sebenernya sih bisa aja. Jalanin aja, gausah dipikirinlah, bodo amat, kenal juga nggak. Tapi, aku baru datang sekarang, cuma orang baru. Aku juga masih memakai otak, aku juga punya hati. Kalau diminta jujur, sebelumnya memang sudah timbul niat kalau dua hari kemarin adalah yang terakhir, ibaratnya salam perpisahan. Cukup sampe sini aja, gaboleh lebih jauh lagi, kalo nggak makin sakitlah yang lagi nunggu disana. Ternyata memang beneran sampe sini aja. Sadar kalau memang tidak lebih dari seorang anak kecil. Gimana pun caranya harus bisa nahan diri. Mungkin pertahan yang selama ini dipakai memang lemah. Sangat lemah. Sudah terbiasa dengan ini, menyambut kedatangan dan melepas kepergian. Seharusnya ini bukan jadi hal yang sulit, dan seharusnya tidak ada lagi alasan yang bisa digunakan untuk tetap menahanmu disini. Membiarkanmu memilih jalan yang terbaik untuk dirimu sendiri mungkin yang terbaik untukku dan untuk dia yang menunggumu. Kau menyayanginya. Aku tau. Tidak seharusnya aku mengusik kalian. Tidak mungkin bisa bermanis-manis seperti sebelum kau menceritakan semuanya. Tidak mungkin bisa mengingatkanmu untuk mengisi perutmu dengan makanan. Tidak akan pernah sama lagi. Masalah sakit, jelas sakit. Tapi, itu seharusnya bukan masalah untukmu, dia yang lebih dulu disampingmu. Aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Dia terluka, kau juga turut terluka. Melihatmu seperti itu karena orang lain, apa tidak ada yang lebih menyakitkan? Hanya merasa......dibodohi mungkin. Tidak, aku tidak menyalahkanmu. Tidak ada yang bisa disalahkan. Bukan kau, bukan aku, bukan dia, juga bukan yang menentukan ini semua. Ini bukan yang pertama. Tapi, tidak pernah semenyakitkan ini. Belum pernah serumit ini. Kau tau, aku tidak pernah meminta untuk dipertemukan sekarang, kemarin atau kapanpun. Aku hanya menjalani apa yang sudah ditentukan. Kau salah kalau kau bilang semua ini karena kau mengenalnya terlebih dahulu. Aku juga bisa seperti itu kalau kau mau. Tapi, tidak. Ya sudahlah, ini tidak akan merubah apapun. Baik kenangan atau pun mimpi semuanya terasa sama. Garis tipis pemisah antara keduanya sudah membaur tanpa jejak. Sedikit kesulitan untuk mengingat sebuah kenangan, entah kenapa tiba-tiba itu terasa seperti mimpi. Mencoba untuk menarik kepingan yang mungkin masih bisa kucuri dan kubawa lari sebelum akhirnya terkubur oleh air mata. Nihil. Semuanya buram.
Setidaknya terima kasih atas salam perpisahan yang kau berikan, kau mengakhiri bulan Maret sekaligus apa yang kupertahankan dengan baik. Semoga sukses atas pilihanmu.
Tahan 21 hari, maka akan tahan selamanya.
Kita sama-sama berjuang. Selamat berjuang!
No comments:
Post a Comment