Bukan masalah pemimpi yang meratapi dan pemimpi yang merancang, tapi ke mana pikiran kita bermuara, mana yang kita pilih sebagai tujuan. Apakah kesalahan-kesalahan yang kita harap bukan berasal dari iblis dalam diri kita sendiri, kesempatan-kesempatan kecil yang kita harap tidak pernah kita acuhkan keberadaannya, retakan-retakan yang baru kita rasakan kerusakan yang ditimbulkannya, semua yang kita lihat tanpa pernah bisa kita sentuh lagi karena sudah terjadi? Atau pembenahan untuk tidak kembali berbelok pada arah yang salah, mencari-cari kesempatan yang luput dari penglihatan, menghindari kerusakan dengan merasakan retakan kecil yang bercabang, merajut mimpi yang masih bisa kita rengkuh dan menjadikannya nyata?
Pemimpi yang realistis, yang menyadari di mana dia berpijak setelah berbagai cerita telah dia bekukan dalam ingatannya yang memiliki lubang-lubang kesalahan yang ia raba keberadaannya untuk dia waspadai saat berjalan menengadah pada impiannya. Hanya menoleh untuk sekedar bernostalgia dan menyaring pelajaran yang tersimpan. Bukankah hidup bukan hanya tentang satu hal?
Untuk bergerak atau bahkan melangkah menimbulkan keraguan dan pemikiran seperti "gimana kalo pas aku udah maju, dia tiba-tiba dateng terus nyuruh putar balik dengan iming-iming ingin memperbaiki semuanya?". Kita kan yang membuat "momen" itu ada?
Iya, postingan ini nggak ada hubungannya sama project isengku, tapi bukankah bergerak salah satu dari hal yang berkesan?
No comments:
Post a Comment