Pages

Sunday, March 24, 2013

Daun Kering Bulan Maret

Bukan pertama kalinya aku menapakkan kaki di lapangan kampus ini. Ini sudah yang entah ke berapa. Ekskul yang kugeluti mau tak mau mengharuskanku lebih sering melewati bidang tanah yang cukup luas tersebut. Lapangan hijau luas yang memiliki mungkin dua pasang gawang. Di sekelilingnya ada tanah yang lebih rendah dengan pohon berjejer sepanjang jalan. Dalam beberapa waktu, aku pernah berdiri di atas pijakan di tepi lapangan. Mataku menyapu segala penjuru, badanku menikmati semilir angin yang menggelitik, paru-paruku menyesap oksigen yang tersedia. Rasanya menyenangkan sekaligus konyol untuk berdiri diam di tepi lapangan tanpa melakukan kegiatan yang berarti.

Untuk hari ini, langit kelabu menggantung sepanjang siang, menciptakan suasana teduh di lapangan yang biasanya panas kalau matahari sedang terik-teriknya. Kebetulan ada latihan, jadi beberapa anggota memakai lapangan sebagai panggung, dengan kami berada di tanah yang lebih rendah sebagai penonton. Tempat yang kami gunakan ini memiliki pohon yang sudah menguning daunnya. Semilir angin menerbangkan daun-daun kering sampai menutupi bagian lapangan.

Daun yang jatuh tampak meliuk-liuk anggun di udara bebas. Lucu melihat mereka yang latihan di bawah "hujan" daun kering seperti itu. Tapi, memang indah. Kontrasnya warna daun yang kuning kecoklatan berpadu dengan hijaunya rumput lapangan. Saat-saat seperti itu, aku lebih memilih tenggelam dalam pikiranku sendiri. Memikirkan segala kemungkinan yang masih bisa terjadi. Memikirkan sedang apa aku pada tanggal yang sama tahun lalu.

Maret tahun lalu bukan bulan yang mudah. Aku jatuh bangun dalam hal yang ku rasa sekarang,  sangat bodoh. Tapi, bukan berarti aku menyesal itu terjadi. Toh, aku jadi tau kalau tidak selamanya akhir akan benar-benar menjadi akhir. Ada masanya di mana akhir tadi menciptakan sekuelnya.

Aku mengingat semua hal yang terjadi pada Maret tahun lalu. Menyenangkan sekaligus menyedihkan kembali berenang sendirian dalam nostalgia. Apa yang dulu terasa manis, menjadi hambar seiring berjalannya waktu. Apa yang terlihat menyedihkan, malah terlihat lucu setelah semua perjalanan terlewati. Yang aku tanyakan, mungkinkah kejadian yang sama terulang?

“Life can only be understood backwards; but it must be lived forwards.” 
 Søren Kierkegaard
Medan, naungan cuaca tidak konstinten 
Love,
T

No comments:

Post a Comment