Katanya, kalau sebuah kegiatan telah menjadi kebiasaan, lambat laun kita lupa alasan awal kita melakukannya. Seperti halnya bangun pagi. Kita hanya tau kalau kita harus bangun pagi. Kalau alasan anak sekolah, supaya bisa tepat waktu ke sekolah. Kalau alasan Mama mungkin beda. Beliau harus masak, beresin meja makan, bangunin anak dan suaminya. Setelah itu lanjut beres-beres rumah.
Jadi, setiap pagi selama nyaris 17 tahun ini, Mama adalah perempuan multi-talented, kalau bisa dikatakan begitu. Mungkin aneh, cupu, atau apalah, kalau anak kelas 2 SMA masih dibangunin emaknye. Tapi, bukankah ada rasa syukur waktu bangun tidur, yang pertama kita lihat adalah perempuan terhebat sepanjang masa?
Rutinitas yang sama setiap harinya. Bangun pagi, lihat tampilan muka di cermin sebentar, mandi, ganti baju, sarapan, pergi sekolah, pulang sekolah, mandi, tidur, bangun lagi, dan begitu seterusnya, dengan selipan ibadah wajib 5 waktu (walaupun lebih sering bolong). Mungkin dengan berjalannya waktu, akan ada bunga-bunga penghias di beberapa perhentian. Bunga-bunga yang mungkin akan kita sadari saat sudah berada cukup jauh. Atau bunga-bunga yang memiliki duri yang menusuk sampai ke ulu hati.
Nah, sebenernya, yang jadi pembahasan kali ini adalah perjalanan pergi. Bagaimana sebuah pagi menjadi judul baru atau bahkan bab baru. Terpaan sinarnya menjadi tinta segar yang melukiskan pelajaran. Bagaimana perjalanan 20 menit menuju sekolah membuat kita sejenak berpikir tentang apa yang harus dilakukan, tentang apa yang sebaiknya diucapkan, tentang penyelesaian alternatif saat sebuah situasi tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tentang orang-orang yang akan kujumpai hari itu. Tentang pelajaran yang harus kutaklukkan hari itu, tentang tugas yang terlambat kuserahkan. Tentang jadi apa aku setelah kutanggalkan seragam SMA-ku. Tentang sebuah harapan yang pertumbuhannya ada ditanganku, dalam keyakinanku, dalam keoptimisanku menjaganya. Tentang sebuah kisah yang kuharapkan permulaannya. Tentang pertemanan yang sedang kuusahakan selama hampir setahun berjalan. Tentang aku yang kemarin. Semuanya dalam 20 menit.
Perjalanan yang merupakan sebuah awal untuk menjadi seseorang yang lebih baik. Seseorang yang mampu menerima dirinya sendiri dengan lingkungan lain. Perjalanan untuk lebih mengerti apa yang harus dan tidak boleh. Tentang pilihan juga. Perjalanan yang menyimpan banyak persimpangan. Perjalanan yang memberikan waktu untuk sejenak berpikir akan jadi apa aku kelak. Perjalanan yang tak terduga ujungnya, apakah sebuah ladang hijau dengan matahari tersenyum di sudut kanannya, atau jurang curam tiada berdasar?
Perjalanan yang awalnya kita tentukan sendiri. Akankah kita bahagia hari itu, atau hanya sekedar melanjutkan rutinitas biasa tanpa menanam benih bunga di setiap persimpangan? Karena Tuhan yang Maha Menentukan, tergantung kita menanggapinya dengan cara apa. Apakah bersyukur, atau mengeluh sepanjang perjalanan sampai lupa untuk memperhatikan nikmat terkecil yang diberikan?
Karena bahagia itu sederhana.
Medan, sudut kamar
Yas.
No comments:
Post a Comment