"Kau tau kenapa aku mencintainya? Tingkahnya lucu. Terkadang tampak sangat polos, di saat lain dia bisa terlihat konyol. Tapi, itu yang membuatnya menarik. Aku mencintainya. Kau tau kenapa aku mengatakan ini? Karena dia juga mengatakan hal yang sama kepada teman-temannya di sana."
Benarkah? Kotak imajinasi yang biasanya kubuka bersamamu kemudian membuka sendiri dan memproyeksikan berbagai gambaran ekspresimu ketika menceritakan hal sama kepada komplotanmu. Entah kenapa aku meragukannya, walaupun dalam benakku sendiri aku mengaminkannya. Apakah aku bisa percaya kalau kau melakukannya? Apa aku punya alasan untuk percaya?
Apa yang akan kau ceritakan pada temanmu? Bagaimana caramu mendeskripsikan tingkahku? Bagaimana caramu mengutarakan perasaanmu? Bagaimana kau merindukanku setiap harinya?
Kalender di kamarku masih menampangkan tanggal pada bulan Januari dan Februari, belum berubah sejak pertama kali aku menerima kalender sekolah itu. Jujur saja, aku enggan melihat tanggal-tanggal yang terpampang di baliknya. Entah itu pada bulan Maret maupun September seperti sekarang ini. Aku tidak tau kenapa aku menuliskan ini, tapi menurutmu, apakah ada artinya aku rutin membolak-balik kalender kalau realitanya aku tidak menikmati nikmat Tuhan yang disodorkan padaku setiap detik? Sama saja artinya aku mengolok-ngolok bayangan yang terpantul di cermin datar itu. September terasa sama saja. Bukan sama menyenangkannya. Sama memilukannya. Bulan di mana seharusnya puncak kebahagiaan masa remajaku berada. Tapi, apalah daya, manusia hanyalah gabungan dari senyawa dan beberapa zat lain kemudian ditiupkan ruh ke dalamnya yang hanya bisa merencanakan dengan apik. Selanjutnya, Tuhan yang memegang kuasa. Keluar dari jalur yang dibayangkan. Jauh dari kata nyaris. Bahkan, aku tidak tau percayanya aku padamu akan merubah garis yang ditentukan. Kalau bisa satu hari itu berlangsung selama berminggu-minggu, aku ingin melihat, apakah ada perbedaan? Mungkin kau akan ingat.
Kau ingat bagaimana kita mengeluh tentang waktu? Satu komponen itu musuh terbesar kita kalau rindu sudah berada pada puncaknya, tapi tidak bisa menggapai satu sama lain. Kita terus mengimajinasikan diri kita berada dalam ruang dan waktu yang sama. Merapalkan kata-kata "kalau bisa" ibaratkan bernafas, entah bagaimana caranya berhenti, tapi terus dilakukan berdasarkan hukum alam. Menyiksa, tapi itulah cara kita bertahan. Dan, aku ingin bertanya, kalau bisa kau memberikanku alasan untuk percaya, alasan seperti apa yang akan kau sodorkan?
Malam kian larut, entah ada atau tidak benda langit hasil bentukan awan molekul yang sering dilafaskan sebagai bintang di sana. Satu lagi hari yang terlewati begitu saja. Masih saja belum bisa menemukan sudut pandang positifnya. Mungkin aku berdiri pada sumbu yang salah, atau mungkin hanya halusinasi remaja. Yang jelas, aku tidak menyukai berbagai hal negatif yang aku tangkap dengan korneaku.
Sepertinya aku semakin melantur, melenceng jauh dari paragraf pertama. Intinya tetap sama, aku masih terus merindukanmu.
No comments:
Post a Comment